Honda Beat Memang Lambang Kemiskinan dan Saksi Bisu Diputusin Pacar

Honda Beat MOJOK.CO

Honda Beat MOJOK.CO

MOJOK.COTeman saya, yang sudah kadung punya Honda Beat, gagal masuk ke lingkaran pertemanan. Sudah gitu, diputusin pacar lagi karena profesinya sebagai ojek pangkalan.

Akhir Mei yang lalu, saya membaca artikel di Terminal Mojok. Judulnya: “Apa iya Orang yang Pakai Kartu 3, Honda Beat, dan HP Xiaomi itu Miskin?

Untuk bagian “Honda Beat”, saya ingin menegaskan bahwa jawabannya adalah “Iya”. Motor satu itu, sudah kadung dijadikan “lambang orang miskin”. Bahkan kerena Honda Beat juga, ada orang yang sampai diputusin pacar. Adalah Sholeh, teman saya, yang menjadi semacam korban dari “stigma” itu beberapa tahun yang lalu.

Sholeh, bukan nama sebenarnya, adalah teman yang sederhana dan memang agak polos. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarganya, dia rajin banget membantu ibunya berjualan makanan di sebuah warung tenda. Mirip kayak angkringan. Uang hasil membantu ibunya ditabung untuk membeli sebuah motor. Dan Honda Beat adalah pilihannya, meski agak terpaksa.

Untuk menambah tabungan, Sholeh “nyambi” menjadi ojek. Bukan ojek online, tapi ojek pangkalan di dekat pasar. Selama ini, dia menyewa motor. Beberapa persen pemasukan disisihkan untuk membayar sewa per hari dan sisanya ditabung. Dia pengin punya motor sendiri biar irit. Selain itu, tujuannya adalah buat nyenengin pacar.

Suatu ketika uangnya sudah cukup untuk membeli motor secara tunai. Hebat, ya. Menabung sampai bisa beli motor secara tunai. Selain itu, Sholeh memang patuh sama ajaran agama. Dia takut riba kalau beli motor secara kredit. Ketika sedang membaca brosur motor, ibunya jatuh cinta ke sebuah motor, yaitu Honda Beat. Sholeh yang agak enggan, akhirnya manut saja karena nggak berani membantah ibunya.

“Kenapa suka Honda Beat, to Bu?”

“Bagasinya besar, Leh. Bisa muat 11 liter. Tuh ditulis di situ. Bisa buat bawa-bawa barang buat warung, to.”

Sholeh cuma diam saja. Saya tahu sebetulnya dia pengin beli motor lakik. Ya semacam Honda Tiger, lah. Seken nggak papa, asal nggak kredit, kata dia suatu ketika. Tapi, yah, mau gimana lagi. Dia lalu sibuk menyimak lagi spesifikasi Honda Beat seri Street eSP PGMF1 itu. Katanya, sih, motor ini irit, jadi Sholeh mau ikut permintaan ibunya.

“Lagian, bagian stang e wis lanang banget, to Mbak,” kata Sholeh kepada saya.

Kata dia, bagian stang Honda Beat seri Street eSP PGMF1 itu udah seperti “motor lakik”. Hmmm…kalau diperhatikan lagi, Beat yang ini memang bentuk stang-nya berbeda kalau dibandingkan bebek metik lainnya. Mirip, sih, kayak motor lakik. Yasudah, saya iya-iya saja.

Singkat kata, beberapa hari kemudian, Sholeh membeli Honda Beat itu. Harganya Rp17 juta kurang dikit. Dapat helm sama jaket Honda. Katanya: “Jaketnya bisa dipakai ngojek, Mbak.” Iya, leh, Iya.

Bahagia, dong, punya motor baru. Iya, buat ibunya. Sholeh? Duh, kasihan juga, sih. Gini ya, kalau saya pribadi, Honda Beat itu keren, kok. Lagian harganya nggak “murah”, lho. Saya pernah mencoba motor Sholeh itu dan nggak ada masalah. Mungkin karena masih baru, sih, waktu itu. Intinya, motornya bukan motor murahan. Sayang, dunia berkata lain.

Saat itu, di desa saya, para pemudanya lagi senang semacam beradu gengsi beli “motor lakik”. Terutama RX King sama Kawasaki Ninja RR terus dimodifikasi. Diwarnai, bannya pakai yang kecil, kenalpotnya dipotong, diceperin, dan lain sebagainya, yang mana kalau buat saya malah agak wagu. Tapi soal selera ya sudah lah ya.

Sholeh nggak termasuk dunia kayak gitu, sih. Dia beli motor pun yang enak buat harian. Apalagi katanya yang enak buat kerja ngojek. Apa ya ngojek pakai Ninja RR yang bannya kayak ban sepeda BMX. Kalau bawa penumpang ibu-ibu dari pasar malah repot. Malah ditanya, “Pedal e endi, Mas? Malah kayak sepeda to iki.”

Karena “cuma” pakai Honda Beat, Sholeh dipandang “laki-laki biasa aja”. Nggak bisa masuk sirkel “pemuda kampung keren”, istilahnya. Saya lihat-lihat, di kumpulan pemuda itu ada yang pakai Satria FU. Kalau boleh milih, enak dibonceng Sholeh pakai motornya ketimbang Satria FU. Lha, joknya kecil begitu, rasanya kurang nyaman. Motornya kayak perosotan lagi.

Pada awalnya Sholeh nggak terlalu ambil pusing. Lagian dia menikmati pakai Honda Beat yang memang irit, sih. Namun, pada akhirnya dia “down” juga ketika diputusin sama pacar. Iya, pacar yang awalnya mau “disenengin” Sholeh pakai motor barunya.

Pacar, yang kini jadi mantan itu, sudah lama pengin putus. Pertama, karena profesi Sholeh sebagai tukang ojek pangkalan. Sista satu ini mungkin malu punya pacar “cuma ‘kang ojek”. Kedua, karena Honda Beat, Sholeh tidak bisa masuk ke sirkel teman-teman si sista itu. siapa teman-teman sista satu itu? Ya para pemuda desa yang pakai Satria “motor perosotan” FU itu.

Jadi, dianggap miskin karena cuma pakai Honda Beat itu memang terjadi, sista dan bro. huh, sayang sekali sista mantan Sholeh itu. Dia nggak tahu saja, ibunya Sholeh sudah mau buka cabang warung makan. Siapa tahu, ketika cabang warung makan ibunya Sholeh makin banyak, nggak cuma Honda Beat yang dibeli, tapi sekalian sama showroom-nya.

BACA JUGA Menggugat Anggapan Sesat Honda Beat sebagai Motor Sobat Missqueen atau ulasan kenangan lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version