Gesits, Si Vario KW: Motor Listrik Impresif dan Ilusi Pahlawan Lingkungan yang Menyertainya

Si Vario KW bernama Gesits, ternyata motor listrik yang impresif. Saya sempat skeptis.

Gesits, Si Vario KW: Motor Listrik Impresif dan Ilusi Pahlawan Lingkungan yang Menyertainya MOJOK.CO

Gesits, Si Vario KW: Motor Listrik Impresif dan Ilusi Pahlawan Lingkungan yang Menyertainya MOJOK.CO

MOJOK.COAwalnya saya ragu sama motor listrik bernama Gesits, Si Vario KW yang bikin trauma itu. Namun, memang benar, cinta datang karena terbiasa.

Pengalaman saya bersama sepeda motor dalam negeri berlangsung selama separuh umur saya. Termasuk di dalamnya motor listrik Vario KW bernama Gesits. Sayangnya, saya tak bisa menyebutnya sebagai pengalaman yang menyenangkan.

Sepeda motor pertama yang Ayah miliki adalah Dayang DY 100. Dengan mahar sekitar Rp5 juta, hanya separuh dari harga Honda Supra generasi pertama yang dijiplaknya habis-habisan, Ayah sudah bisa membawa motor ini pulang dari dealer.

Tim riset Dayang berhasil mempelajari semua teknologi Honda, mengambil perintilan-perintilan menarik, lalu secara hati-hati menempatkan semua esensi yang menjadikan Honda sebagai pabrikan motor terbaik ke tong sampah. Dayang DY 100, pendeknya, adalah motor yang tidak cukup layak untuk dibicarakan.

Lelah dengan mesin Dayang yang selalu berulah, Ayah yang saat itu masih dibekap semangat patriotis, memutuskan membeli motor kedua: KTM Power Hit. Jangan salah sangka. Ini bukan pabrikan KTM Austria yang ikut MotoGP, melainkan pabrikan KTM yang menyewa Inul Daratista buat disuruh ngomong, “KTM dong, ah!”

Tidak ada yang menarik dari motor tersebut, tetapi Bapak rupanya belum lelah dikecewakan oleh motor lokal. Pada tahun-tahun berikutnya, datang Sanex dan Jialing, Tossa dan Viar. Kecenderungan patriotis tersebut baru berhenti ketika saya berkuliah dan berkata pada Ayah bahwa saya benar-benar butuh sepeda motor, bukan gelondongan besi yang ditempeli mesin.

Jupiter-Z memutus petualangan keluarga kami dengan motor lokal. Saat itu, saya pikir tidak bakal ada motor lokal lagi yang mampir di hidup saya. Namun, tentu saja, Tuhan selalu penuh kejutan.

Sepekan setelah menjual Daihatsu Ceria kami, Mas Bojo pulang dari kantornya dengan gelagat aneh: tidak ada derum suara motornya dari muka pagar. Saya berjalan menghampirinya dan mendapati dia berdiri di samping Vario, motor yang tak pernah dia sukai dengan alasan yang dibuat-buat.

“Punya siapa, Mas?” Tanya saya, sambil menunjuk Vario itu dengan dagu.

“Dikasih Pak Bos buat operasional. Bagus, ya,” sahut Mas Bojo.

“Bukannya kamu nggak suka Vario?” tanya saya dengan nada yang akan dipakai kekasih Cristiano Ronaldo ketika mendapati lelakinya itu menenggak wiski.

“Kata siapa ini Vario,” sahut Mas Bojo sembari menuding emblem besar di sayap motor tersebut. “Ini Gesits, Adinda.”

Saya tahu apa itu Gesits. Namun, di titik itu, saya sungguh tak tahu mana yang lebih membuat saya gelisah: kembali berurusan dengan pabrikan motor lokal, atau mesti kembali berbagi rumah dengan motor listrik, lokal pula.

Rasanya baru kemarin saya menjajal Viar Q1 milik sepupu, dan motor listrik tersebut berkelakuan seperti banteng ngamuk. Torsi badaknya yang instan nyaris menjungkalkan saya pada puntiran gas pertama.

Itulah sesuatu yang tak saya sukai dari motor listrik mana saja: torsi. Tak seperti motor bermesin pembakaran-dalam yang menyediakan torsi pada putaran mesin menengah, torsi pada motor listrik sudah tersedia sejak putaran rendah. Dan sebagaimana mesin listrik normal, besaran torsinya ada di level tak masuk akal.

Gesits ini juga demikian. Dari situs resminya, saya mendapati bahwa tenaga motor ini sepadan dengan mesin Supra Fit jadul: cuma enam hp. Namun, torsinya bisa bikin pemilik motor sport berkecil hati: 30 Nm! Itu jauh lebih besar ketimbang torsinya Ninja 250 empat silinder!

Ah, buat kamu yang tidak begitu paham perbedaan antara tenaga dan torsi, analogi ini mungkin bisa membantu: tenaga adalah sesuatu yang menentukan seberapa cepat kamu menghantam dinding di depanmu, sedangkan torsi adalah sesuatu yang menentukan seberapa jauh kamu menyeret puing dinding itu bersamamu.

Torsi kelewat besar itulah yang membuat saya enggan menunggangi Gesits, si Vario KW, pada mulanya. Bersama sepeda Jemboly tua dan laba-laba, ia mendekam di garasi rumah kami selama berminggu-minggu, hanya dipakai Mas Bojo ketika merasa perlu membuat kesan positif pada bosnya. Intinya, kami tak menyukai motor ini dengan alasan yang berbeda.

Namun, saban menyapu garasi, Gesits ini seolah menatap saya dan berkata, “Ayolah, Kakak, tunggangi aku. Ajaklah aku bersamamu!”

Begitu terus setiap hari.

Ajakannya itu sedikit demi sedikit mengikis prasangka dan trauma saya. Pada minggu keenam, saya mengambil kunci kontaknya.

Meski tampangnya mirip Vario, panel indikator Gesits lebih mirip layar hape Android: cerah, penuh warna, informatif, dan beresolusi lumayan. Menariknya, ada semacam sensor cahaya yang bakal mengubah latar belakang panel menjadi hitam saat malam, mirip ambient light sensor pada hape kiwari. Dan lampu seinnya sudah sekuensial, persis kayak lampu sein mobil mahal.

Baru pada keesokan harinya, ketika hendak berbelanja ke warung, saya berani menunggangi Gesits. Warung tujuan saya itu cuma dekat gapura kampung, tapi saya berdandan seolah hendak touring ke Madagaskar. Saya memakai helm full face, pelindung siku dan dengkul, dan menyelipkan kotak P3K di tas belanja.

Kunci sudah saya puntir, tombol starter sudah saya tekan, dan segala doa sudah saya rapalkan. Gas sudah saya putar sedikit, dan… tidak terjadi kecelakaan! Gesits mengentak sehalus sepeda listrik, dan puntiran gasnya mudah diprediksi. Saya bersorak selantang pemenang togel dan memutuskan untuk melupakan urusan berbelanja. Gesits ini harus mengelilingi Cepu!

Ternyata ada tiga pilihan mode berkendara yang bisa saya tentukan tanpa harus berhenti: Eco, Urban, dan Sport. Mode berkendara itu akan membatasi respons gas dan kecepatan puncak. Di mode Eco, top speed yang bisa dicapai hanya 30an km/jam, Urban pada 50an km/jam, dan Sport pada 80-an km/jam.

Kecepatan puncaknya memang cuma segitu, tapi ingatlah bahwa tenaga Gesits hanya enam hp. Lagipula, ini motor listrik; tidak ada engine brake untuk membantu pengereman. Gesits bakal menggelinding seperti sepeda, yang membuat saya sudah merasa ngeri ketika kecepatannya baru mencapai 30 km/jam.

Sebagaimana motor listrik, Gesits sehening peserta upacara ketika mengheningkan cipta. Dan jujur saja, ini adalah bagian yang benar-benar mengerikan. Saya dipelototi bocah-bocah kampung karena berkali-kali nyaris menabraknya. Ketiadaan suara mesin membuat pengguna jalan lengah dalam mendeteksi keberadaan saya.

Baterai Gesits mampu bertahan hingga jarak kira-kira 50 kilometer. Tidak impresif, sih, tapi pengguna bisa menambah baterai lagi dan memasangnya pada slot yang sudah tersedia. Harga baterainya sekitar Rp7 juta, dan itu sepadan dengan kualitas pengerjaannya yang baik dan garansinya yang mencapai tiga tahun.

Kesimpulan awal saya mengenai Gesits adalah ini: dengan harganya yang berada di bawah Rp30 juta, Gesits adalah motor listrik terbaik saat ini. Suspensinya nyaman, fiturnya tumpah-tumpah, handling-nya mantap, dan ekonomis pula. Poin plus tambahan: ia motor karya anak bangsa, entah siapa anak bangsa yang dimaksud. Kapan lagi kita bisa beli motor sambil merasa sebagai patriot sejati?

Kekurangannya, andai bisa disebut kekurangan, cuma dua. Pertama, tidak ada yang tahu durabilitas Gesits. Ia baru diproduksi massal dua tahun lalu, dan strategi pemasarannya pun akan membuat marketing Suzuki terkesan. Sedikit orang yang punya Gesits, sehingga informasi mengenai durabilitas motor ini juga terbatas.

Kedua, Gesits dan motor listrik lainnya akan memberi sindrom bernama “ilusi pahlawan lingkungan” kepada penggunanya. Cuma pakai memakai Gesits saja, saya sudah merasa sudah berkontribusi besar terhadap pencegahan global warming dan semacamnya.

Padahal saya juga tahu bahwa selama pengisian baterainya memakai listrik PLN, yang notabene kebanyakan ditenagai oleh batu bara, saya sekadar memindahkan masalah dari hilir ke hulu.

Saya percaya bahwa mengganti mesin pembakaran-dalam ke mesin listrik adalah strategi naif untuk mengatasi pemanasan global. Bumi kian remuk bukan karena kendaraan kita menenggak bensin, bukannya token, melainkan karena tidak ada strategi pengintegrasian transportasi umum yang benar-benar masuk akal sehingga kebanyakan orang mau tak mau membeli kendaraan pribadi.

Begitulah kira-kira. Bismillah, menteri perhubungan.

BACA JUGA Kelebihan Sepeda Motor Suzuki yang Membunuh Bengkel Resminya Sendiri dan ulasan motor listrik lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version