Penderitaan Naik Bus di Kalimantan: Dari Ujung ke Ujung Ekuator Semuanya Serba Jauh

Penderitaan Naik Bus di Kalimantan Semuanya Serba Jauh MOJOK.CO

Ilustrasi Penderitaan Naik Bus di Kalimantan Semuanya Serba Jauh. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPerjalanan antarkota atau antarwilayah di Kalimantan itu sulit dalam banyak hal. Ya sulit transportasinya, ya sulit medannya. 

Terbang dari Juanda ke Pontianak, saya membawa imajinasi angkutan jalur darat di Kalimantan itu tidak jauh berbeda dengan Jawa Timur. Di sana ada semacam Sumber-nya juga, ada AKAS-nya, ada Sinar Mandiri-nya. 

Kalau mau bepergian, kita tinggal berdiri di tepi jalan. Sebelum habis setengah batang rokok di jepitan tangan, bus yang ditunggu bakal datang. Ternyata, begitu saya meninggalkan kedai kopi Asiang menuju ke Terminal Antar Lintas Batas Negara di Ambawang, aura dan suasana jalannya sudah terasa bakal jauh berbeda.

Berdasarkan informasi yang saya kulik beberapa hari sebelum hari keberangkatan, 11 Desember 2024, pemberangkatan bus di sana itu berkala. Bahkan terkadang hanya ada satu kali dalam sehari. 

Wah, gawat ini! Konon, ada rute DAMRI di Kaltim, dari Samarinda ke Tanjung Selor, yang jadwalnya bahkan tidak pasti setiap hari. Gambaran ini bukan penanda soal kemajuan dan ketidakmajuan. Ini semua karena, ya, karena ini adalah Kalimantan, salah satu pulau terbesar di dunia yang penduduknya hanya 24 juta. Masih jauh lebih banyak warga Jabodetabek yang mencapai 30 jutaan jiwa.

Pemandangan Kalimantan yang lengang

Kamu bisa melihat suasana kemelompongan lahan di sepanjang perjalanan. Apalagi kalau kamu berada di bagian tengah pulau Kalimantan. 

Misalnya kamu hendak pergi dari Pontianak menuju Pangkalanbun. Nah, SPBU pertama yang bakal kamu temukan itu baru ada setelah 90 menit perjalanan. Lampu merah pertama yang bakal kamu jumpai, berada di dekat Nanga Bulik. Itu setelah mobilmu menggelinding sejauh 526 kilometer. 

Perjalanan tanpa lampu merah ini serasa kamu masuk pintu tol Mojokerto dan keluar di pintu tol Kanci. Alam Borneo sangat cocok buat orang yang nggak sabaran di lampu merah.

Saya menjalani rute dari ujung ke ujung, titik khatulistiwa di barat, di Pontianak, ke titik tugu khatulistiwa di timur, di Bontang. Walhasil, perjalanan membutuhkan waktu 6 hari kerja. Saya sendiri bermalam di setiap kota besarnya (Pontianak, Nanga Bulik [hanya kota ini yang tidak terlalu ramai], Palangkaraya, Banjarmasin, Balikpapan, Bontang).

Jalur yang “masih baru” 

Jalur darat ini sebetulnya tergolong “baru kemarin lusa” dilintasi bus besar setelah banyak dilakukan perbaikan di sana-sini, di jalan Trans-Kalimantan. Sebelumnya, orang-orang di hulu tidak bisa bepergian ke mana pun kecuali harus melewati jalur sungai. Bahkan ada yang tetap begitu di hari ini. 

Orang-orang yang ada di pedalaman sana, di hulu sungai-sungai besarnya, seperti Kapuas, Mahakam, Barito, hanya bisa mengandalkan transportasi jalur air untuk angkutan orang dan terutama barang. Yang paling bikin saya heran, itu, lho, 2 toko swalayan yang selalu dibangun berdekatan, kok, ya masih sempat-sempatnya sampai ke tempat terpencil begitu tetap saingan.

Jalur air yang menggunakan perahu besar (mereka menyebutnya bus air—anggap saja ia nama perusahaan dirgantara pesaing Boeing; AirBus) sebagai alat transportasinya, hanya tersisa di jalur Muara Teweh ke Banjarmasin dan dari Long Bagun ke Samarinda. Sisanya hanyalah perahu klotok dan perahu cepat bermesin tempel yang disebut speed (terlalu panjang disebut speedboat). 

Akses jalur darat di daerah yang banyak sungainya bukan sekadar menghadapi masalah pondasi tanah bergambut. Masalahnya adalah besarnya biaya untuk membangun banyak jembatan. Di beberapa tempat di sungai-sungai Kalimantan banyak buayanya juga. Beda dengan di Jawa yang buayanya sudah pindah ke darat.

Baca halaman selanjutnya: Di sini, semua serba jauh dan sulit.

Makna jarak di Kalimantan

Dari Ponti, ketika masuk Sekucing Labai, yakni ujung batas atas kabupaten Ketapang, saya teringat pesan saudara di rumah. Dia menganjurkan saya untuk singgah sejenak di rumah kerabat kami di Ketapang. Saya tidak mengiyakan, karena perjalanan ini sudah terkonsep, bukan luntang-lantung. 

Beruntung pula tidak saya iyakan. Pasalnya, baik dia maupun saya sama-sama belum tahu kalau pergi-pergi di Kalimantan tidak bisa seenaknya kayak di Indonesia, eh, kayak di Jawa. 

Dikira hendak pergi ke ibu kota kota Kabupaten Ketapang dari gapura batas itu sama mudahnya dengan saat kita mau pergi ke Madiun ketika sudah sampai di perbatasan Wilangan: jaraknya cuman ditempuh kurang dari 1 jam. Ini Kalimantan, Bro! Dari gapura perbatasan tersebut, kamu harus menjelajahi 280 kilometer lagi untuk tiba di pusat Kota Ketapang.

Mari saya beri gambaran. Perjalanan dari ujung barat titik ekuator ke ujung timurnya memang tidak sampai 1000 kilometer kalau kita pinjam penggaris milik Wikimapia. Namun, karena saya naik bus, bedalah ceritanya. 

Etape pertama saja, dari Pontianak ke Nanga Bulik, harus ditempuh selama 13,5 jam dan jarak tempuhnya sudah lebih dari 500 kilometer. Rute dan trayek bus di Kalimantan itu rata-rata jauh (tentu saja tidak sejauh PMTOH dan ALS). Setidaknya, rute yang saya jalani dengan jalur darat itulah buktinya. Seperti rute dari Simpang Runtu ke Palangkaraya yang harus menempuh perjalanan 10 jam dengan PO Yessoe. 

Sementara itu, dari Banjarmasin ke Balikpapan via Batulicin malah melahap durasi 20 jam dengan DAMRI. Padahal jaraknya cuman 600 kilometer saja. Yang paling singkat hanyalah rute dari Balikpapan ke Bontang (PO Samarinda Lestari kelas Patas) yaitu 5 jam 40 menit dipotong waktu istirahat 1 kali di Muara Badak.

Bus yang saya lihat di Borneo

Hanya 1 kali saya melihat penampakan sleeper bus, yaitu milik PO Logos kala sedang persiapan berangkat di Terminal WA Gara Palangkaraya. Adapun bus tingkat atau 2 lantai (double decker) belum tampak dan agaknya memang sulit mengejawantah. 

Lha, bagaimana mau pakai yang bertingkat kalau kontur jalannya tidak sepakat. Seperti pengalaman saya di Kalbar, naik DAMRI model Legacy saja atap dan pilar sampingnya masih sering bertatap ranting. Bagaimana jadinya jika tinggi busnya lebih 4 meter? Pasti dahan-dahan pun akan nyangkut, bisa jadi bahkan sama monyetnya.

Untuk kelas bus medium, di sini rupanya banyak yang modelnya sama dengan yang saya lihat di Gorontalo dan Bima. Model yang saya maksud adalah kepala monyong seperti lele. Bahkan ada yang tampangnya sangat memprihatinkan dengan kaca tegak tanpa lengkungan. 

Saya ragu kalau itu tempered glass, lebih curiga ia terbikin dari kaca jendela rumah. Memang, yang macam itu 2 kali saya lihat gentayangan di Kalimantan Barat namun tidak di tempat lain. Keduanya jurusan Pontianak-Sambas dan satunya Pontianak-Nanga Tayap.

DAMRI melayani rute jarak jauh di Kalimantan

Secara umum, rute jarak jauh itu dilayani oleh DAMRI. Misalnya dari Pontianak ke Palangkaraya (1.100 kilometer dengan durasi sekitar 25-26 jam), Pontianak-Putussibau yang jaraknya 570-an kilometer, juga trayek Banjarmasin ke Samarinda (via Batulicin) dengan jarak 750-an kilometer dan durasi 22 jam). Ada juga dari Samarinda ke Tanjung Selor (800-an). 

Jika dari Tanjung Selor, kita hanya butuh naik speed untuk tiba di perbatasan Nunukan. Maka, dengan naik DAMRI Antarkota Antarnegara Pontianak sudah pasti harus melewati Serawak (Malaysia) lebih dulu untuk tiba di Bandar Seri Begawan. DAMRI juga melayani rute antar-negara ini di Pulau Timor: dari Kupang ke Timor Leste

Fakta lain yang menakjubkan adalah nyaris semua jalan utamanya bernama Jalan Ahmad Yani. Saya tidak tahu kok bisa begini, padahal beliau itu dari Purworejo. Awalnya, jalan terpanjang di Indonesia itu saya kira adalah Jalan Ir Soekarno-Hatta di MERR, Surabaya, yang ujung utaranya adalah Jalan Kenjeran dan ujung selatannya berbatasan dengan Jalan Tol Bandara Juanda, Sidoarjo. Eh, yang ini malah mengular antarprovinsi.

Adapun rute di sana mirip-mirip rute di Flores, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Jalanan di sana berisi tanjakan dan kelokan semua. Jokes di sana bunyinya gini: yang lurus itu hanyalah rambut. Itu saja yang sudah rebonding

Kontur jalan, terutama Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Selatan dan (konon juga) Kalimantan Utara, berkelok-kelok dengan kombinasi hutan dan kebun. Berbeda dengan trek Gorontalo-Palu-Palopo atau Larantuka-Ende-Aimere yang meskipun sama berkelok dan sama terjalnya tetapi ada kombinasi panorama lautnya.

Beratnya medan di sana

Teman duduk saya dalam perjalanan dari Pontianak ke Pangkalanbun sampai muntah berkali-kali. Sudah jalannya berkelok-kelok, naik-turunnya minta ampun. 

Saya memperhatikan, beberapa kali pak sopir sampai-sampai harus menggunakan gigi 1. Padahal, sejauh ini, saya belum pernah menemukan sopir bus yang mengubah persneling dari gigi 5 atau 6 dan langsung ke gigi 1. 

Mesin Mercy 1526 yang digunakan DAMRI ini tergolong lawas, tapi jelaslah ia sehat. Kalau tidak, wah, jangankan pakai gigi 1, bisa-bisa bahkan sampai mrongos pun gigi itu tidak bakalan kuat dibawa menanjak, terutama di spot perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Untuk mengurangi biaya perjalanan (karena saya tidak dibiayai oleh Dinas Perhubungan, melainkan biaya dari diri sendiri), saya selalu membawa kotak nasi dan botol air sendiri. Saya ingat pesan pepatah: “Tingginya ongkos dapat dikira, harga nasi siapa yang tahu.” 

Ongkos bus sudah diketahui sebelumnya, yaitu 440.000, 235.000, 165.000, 310.000, dan 175.000. Semuanya dalam rupiah. Tapi, siapa sangka, makan nasi sepiring dengan telur mata sapi dan sekerat tahu setipis tisu bisa kena tarif Rp25.000?!

Sulit dalam banyak hal

Kesimpulannya, perjalanan antarkota atau antarwilayah di Kalimantan itu sulit dalam banyak hal. Ya sulit transportasinya, ya sulit medannya. 

Mengapa tidak ada angkutan jarak meteran seperti di Jawa? Baiklah, mau bikin usaha angkutan meteran bagaimana jika perjalanan 30 menit saja belum tentu ketemu rumah. Rumah, lho, apalagi penumpang! 

Ada untungnya juga Orde Baru zaman dulu mengeluarkan kebijakan transmigrasi. Tidak terbayangkan andaikan penduduk pulau yang bentuknya mirip Bagong ini hanya dihuni oleh penduduk tempatan saja. Fatalnya, Orde Baru telah membangun apa-apa itu berporos di Jawa saja. Sampai-sampai kondisi infrastruktur di Kalimantan seakan menunjukkan kalau ia bukan bagian dari Indonesia.

Alhamdulillah, trip Kalimantan ini menjadi penutup catatan akhir saya untuk penulisan buku yang rencananya mau diberi tajuk “Melihat Indonesia dari Kabin Angkutan Umum”. 

Jarak dari ujung barat ke ujung timur, dengan melewati jalur resmi Trans Kalimantan, sudah mirip dengan perjalanan dari Paris (sebagai Pontianak-nya) ke Lausanne, Swiss (sebagai Pangkalanbun). 

Adapun dari Pangkalanbun ke Palangkaraya itu sama dengan rute dari Lausanne ke Zurich (Swiss). Dengan imajinasi perbandingan skala yang mirip meskipun bukan persis.

Maka, Banjarmasin menempati posisi Taman Nasional Parco dell Adamello (Italia) dan Bontang ada di titik České Budějovice (Republik Ceko).

Penulis: M Faizi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pandangan Baru Dunia setelah 202 Jam Naik Bis Lintas Sumatra-Jawa dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version