Cerita di Kapal Feri, dari Kecopetan hingga Dangdutan

ilustrasi Teori Film Titanic: Rose Bisa Jadi Tokoh Paling Toksik dan Licik yang Pernah Diciptakan mojok.co

MOJOK.COUntuk kamu yang merantau ke pulau yang berbeda, mungkin akan berteman akrab dengan transportasi laut. Kapal feri misalnya. Lalu pengalaman apa saja yang sudah kamu lalui bersamanya?

Karena berdomisili di Jogja, aktivitas menyeberangi Selat Sunda menggunakan kapal feri telah menjadi rutinitas tahunan saya sebagai anak kelahiran Lampung. Bagi yang belum tahu, kapal feri adalah sebutan untuk kapal transportasi jarak dekat. Bukan kapal milik juara AFI 1, yha (Oke, sebuah guyonan yang memperjelas umur saya).

Jarak Lampung-Jogja biasa saya tempuh dalam waktu 24 jam apabila memilih jalan darat. Ada banyak sekali pilihan bus cepat malam yang dapat mengakomodasi perjalanan ini. Durasi tersebut biasanya selalu membuat saya mengeluh tak henti-henti di dalam bus. Bukannya apa-apa, durasi 24 jam yang saya buang di perjalanan itu biasanya akan bertambah menjadi 36 jam karena sesampainya di tujuan, saya harus langsung istirahat mengingat badan yang astagfirullah pegelnya. Jangan tanya kenapa saya harus menambah 12 jam ya, tolong jangan usik jam tidur saya.

Tapi, mengingat cerita Mas Faizi tentang 202 jam perjalanannya menaiki bus lintas-sumatera, saya langsung merasa kecil. Apalah saya ini, yang ternyata memang manja lagi pengin dimanja. Sungkem dulu, Mas.

Kembali ke persoalan kapal feri, ada sangat banyak cerita yang mengelilingi hubungan saya dengan alat transportasi satu ini sejak 2011. Dimulai dari cerita kecopetan hingga cerita kemalingan (hadeh, ini kenapa kriminal semua?). Tapi disamping itu, ada beberapa cerita yang langsung teringat ketika harus mengenang masa-masa terapung di atas kapal ini. Setiap mengingatnya, saya selalu merasa takjub sendiri.

Penumpang yang Ketiduran

Mungkin ini sebuah cerita paling fenomenal yang pernah saya dengar. Saya taruh di urutan pertama sambil berharap dapat membuat pembaca greget. Jadi, sekitar tahun 2013 di perjalanan pulang saya ke Lampung, saya berbincang dengan salah satu awak kapal feri di sepanjang perjalanan. Wait, ini kenapa dia tidak bekerja dan justru mengobrol dengan saya? Entahlah. Mungkin karena dia petugas pengangkut jangkar. Namanya Mas Damar. Damar sang pengangkut jangkar.

“Jadi Boi, dulu ada penumpang kapal ini. Berangkat dari Merak tujuan Bakauheni.”

Boi memang sering dijadikan nama panggilan anak muda di Lampung: hal yang membuat saya berfikir Mas Damar berdomisili di sana. Saya khusyuk mendengar. Untuk informasi pembaca yang mungkin belum familiar, Pelabuhan Merak adalah pelabuhan di Cilegon, Banten, sedangkan Pelabuhan Bakauheni ada di Lampung Selatan. Kedua pelabuhan inilah yang menghubungkan Jawa dan Sumatera via laut.

“karena memang biasanya kapal cukup lama menunggu antrian untuk merapat, beberapa penumpang memilih tidur, termasuk si penumpang satu ini.” Mas Damar melanjutkan.

Untuk pengetahuan lagi, perjalanan Merak-Bakauheni mungkin hanya sekitar 2-3 jam. Saya bilang “hanya” karena proses berlabuhnya kapal di dermaga tetap harus menunggu antrian kapal lain. Ditotal, durasi kapal feri menyeberangi Selat Sunda bisa sampai 4-5 jam.

“tapi Boy, pas penumpang ini terbangun, eh ternyata kapalnya sudah jalan balik lagi ke Pelabuhan Merak. Dia bingung banget, Boi. Kesian.” Ceritanya sambil tertawa.

Yaiyalah bingung, menurut elo?

Eskalator

Pengguna rutin kapal feri tentu paham bagaimana kondisi kapal yang digunakan di perjalanan selat sunda. Karatan, berisik, bau muntah, sampai sumpek karena terlalu penuh. Nah, selain kemalangan itu, barangkali pembaca juga pernah ketiban rezeki ketika mendapatkan kapal feri yang mevvvah. Sungguh, rasanya senang sekali.

Dari sekian banyak percobaan saya menaiki kapal feri, saya baru mendapat untung sekali saja. Ruangan bersih, sofa bagus, pendingin ruangan berfungsi dengan baik, dan kuantitas penumpang cukup membuat saya heran ketika menaiki kapal tersebut. Sampai-sampai karena tidak percaya, saya juga ingin memastikan keadaan toiletnya juga. Lah dalah, kok ya bersih juga!

Namun, satu hal yang membuat saya benar-benar takjub adalah keberadaan eskalator di dalam kapal! Wuelok! Ide siapa ini menaruh eskalator di dalam kapal yang hanya tiga tingkat? Kapal bersih dan nyaman saja sudah membuat saya kegirangan, lah ini ditambah eskalator pula. Saya membayangkan lima tahun lagi akan ada ciki-cikian di-display samping pegangan eskalator. Mall terapung, mantap!

Organ Tunggal

Biasanya kalau menaiki kapal feri, setiap orang akan dikenai harga mulai 15 ribu rupiah. Namun, tentu berbeda jika naik bus/mobil. Nah, di atas kapal ini pembagian kasta tetap akan terjadi. Kualitas ruangannya pun juga akan terbagi-bagi menjadi beberapa tingkatan lagi. Ada beberapa ruangan istirahat yang apabila Anda ingin menikmatinya, Anda akan dikenai biaya esktra.

Pernah satu kali saya iseng untuk membeli akses untuk masuk ke dalam ruangan yang paling mahal. Saya lupa besarannya, tapi kira-kira tidak lebih dari 50 ribu rupiah. Di dalam ruangan “VIP” ini, bangku duduknya mirip bangku pesawat/bus eksekutif yang tentu saja bisa dinaik-turunkan, pendinginnya cukup berfungsi, dan toiletnya lumayan bersih.

Ketakjuban saya muncul ketika fasilitas organ tunggal di ruangan ini mulai berbunyi. Hampir di setiap kapal feri yang saya tumpangi, pemain organ tunggalnya selalu memainkan setlist serupa: kalau bukan dangdut ya tembang kenangan. Tentu awalnya saya kira di kapal ini kejadian sama akan terjadi.

Saya masih ingat dandanan penyanyinya persis penyanyi dangdut: penuh akan renda-renda di pinggul untuk kepentingan goyangan penuh gemericik. Prejengan macam ini semakin menguatkan keyakinan bahwa saya akan mendengar lagu-lagu arus utama dangdut milik Rhoma Irama.

Namun untuk kali ini, perkiraan saya nyatanya salah. Lagu pertama yang dimainkan ternyata Pandangan Pertama milik RAN. Tidak terduga sama sekali. Kemudian lagu-lagu berikutnya adalah lagu-lagu semacam Demi Cinta milik Kerispatih dan I Will Fly milik Ten 2 Five.

Sungguh, betapa sempitnya pikiran saya dalam mengasosiasikan suatu tempat dan suatu cara berpakaian seseorang dengan suatu jenis musik tertentu. Sungkem, Mbak, terima kasih sudah disadarkan.

Hal yang kemudian semakin membuat saya takjub, lagu-lagu yang dimainkan oleh organ tunggal tersebut tetap dengan aransemen dangdut yang yahud itu.

Exit mobile version