Catatan Perjalanan Naik Bus Sugeng Rahayu dari Bandung Menuju Yogyakarta

Sugeng Rahayu dan Sumber Kencono Sering Kecelakaan MOJOK.CO

Sugeng Rahayu dan Sumber Kencono Sering Kecelakaan MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Sebuah panduan ketika Anda naik bus Sugeng Rahayu. Supaya perjalanan tetap nyaman dan tak njempalik ketika menerjang aspal nggronjal.”

Sebenarnya saya sudah lama ngidam naik bus trayek Surabaya – Bandung (PP) ini. Seringnya naik jurusan Yogyakarta arah Surabaya, atau Solo arah Semarang dengan PO (Perusahaan Otobis) yang sama. Sekali-kali ingin menjajal sensasi perjalanan dari arah barat menunggangi bus dengan karakter pelari.

Sugeng Rahayu, merupakan metamorfosis dari Sumber Kencono. Sumber Kencono sekarang dikenal dengan nama Sumber Group yang menaungi Sumber Selamat dan Sugeng Rahayu. Sumber Selamat bermain di kelas ATB, AC tarif biasa atau kelas ekonomi AC.

Sementara itu, Sugeng Rahayu bermain di ATB dan PATAS Cepat. Sudah tidak asing dengan nama-nama bus itu, kan? Mereka masih saudara sepergarasian. Banyak yang mencaci, tapi banyak juga yang memuji. Mengaspal di atas cacian, juga pujian.

Oke, tapi saya sudah bosan membahas soal yang begituan, bosan membahas perihal kecepatan bus pelari ini. Menurut saya, sudah standar kalau bus itu harus cepat. Ngebut dan ugal-ugalan itu relatif dan tergantung perspektif.

Setelah tinggal sebulan di Cirebon, sebenarnya tujuan utamanya langsung pulang ke Yogyakarta. Pikiran berkata lain untuk singgah ke Bandung dulu karena ingat Sugeng Rahayu trayek Bandung-Surabaya.

Pagi hari saat di Bandung, saya menelepon agen yang ada di Terminal Cicaheum untuk cek kursi. Katanya masih banyak yang kosong. “Wah, aman. Bisa dapat hot seat,” batinku.

Bus terakhir dijadwalkan berangkat jam 18:30. Sebelum Magrib jam 17:00, saya sudah tiba di terminal, datang ke agen untuk cek pemesanan. Ketika diperlihatkan denah kursi, ternyata kursinya  hampir penuh. Salah saya, saat pagi nelpon agen tidak langsung pesan kursi. Wah, rasido hot seat, alias bangku depan buat nonton live action supir beraksi.

Ya sudah, saya langsung nebus kursi yang masih kosong ini dengan mahar Rp115 ribu plus dapat bukti pemesanan yang nanti ditukar dengan karcis coret kepada kondektur bus. Dapat kursi nomor dua dari belakang, dekat toilet!

Sugeng Rahayu terlambat tiba di terminal Cicaheum. Menurut agen, terlambat karena ada kemacetan di daerah Cibiru soalnya hari itu adalah hari pertama di tahun 2018.

Sugeng Rahayu masuk terminal kurang lebih pukul 19.00. Calon penumpang langsung menggruduk semacam mau rebutan naik. Padahal sudah ada jatah kursi masing-masing. Tapi sayang, yang datang bukan Sugeng Rahayu sesuai ekspektasi. Saya berharap dapat Sugeng Rahayu dengan karoseri bikinan Laksana, Legacy SR 2 HD Prime. Masih penasaran sama body ini.

Sugeng Rahayu yang tiba di terminal menggunakan chassis Hino RK8-R260 (J08E-UF) 260 PS, Diesel 4 Stroke, 6 silinder inline turbocharger intercooler dengan balutan body Jetbus 2+ SHD, bikinan karoseri Adi Putro, dan istimewanya, ini suspensi udara!

Kenapa istimewa? Nanti sodara saya kasih tahu. Eksterior memang tidak bisa dibilang jelek, tapi bagus juga tidak begitu bagus. Double glass pada wind shield menjadi tren bus beberapa tahun terakhir. Lampu-lampu LED menghiasi tepi-tepi lampu utama, memberi kesan sangar namun elegan. Body masih terkesan boxy dengan ornamen selendang.

Di kabin terdapat sekat yang memisahkan ruang kru dan penumpang. Di bagian sekat menghadap ke kursi penumpang ada dua buah TV LED ukuran besar.

Setelah naik melewati ruang kru dan melangkah masuk ke kabin penumpang, kesan pertama yang nampak, bagasi kabin mirip seperti bagasi kabin pesawat terbang. Ada pintu penutup bagasi agar barang bawaan tidak jatuh dan temumplak menimpa penumpang saat bus sedang bermanuver atau sedang melewati aspal yang nggronjal.

Terdapat colokan listrik di dalam bagasi kabin, yang bisa jadi menjadi sebab peperangan antar-penumpang, karena harus gantian menggunakannya. Soalnya tidak di setiap lubang bagasi ada colokan listriknya.

Setelah memastikan kursi, saya memutuskan melihat-lihat sekeliling. Ada toilet kecil di samping kiri saya, hanya terpisah lorong. Toilet ini hanya khusus untuk BAK, alias buang air kecil, dan hanya boleh digunakan saat bus berjalan. Kalau mau BAB, silakan ditahan dulu hingga bus ini berhenti di rest area yang ada di Kebumen. Modyar!

Di bagian paling belakang bus, di belakang toilet, dan di belakang kursi penumpang paling belakang, terdapat tirai, setelah saya buka ternyata di situ ruang untuk istirahat kru (sopir pengganti). Berisi matras agak tebal, dengan beberapa bantal dan selimut tetangga. Karena ini bus AKAP jarak jauh, satu sopir tidak cukup, dan sangat berisiko terhadap keselamatan perjalanan.

Sudah puas celingak-celinguk, akhirnya saya duduk di kursi yang sudah saya beli. Kursi ini nyaman, recleaning seat, sandaran bisa diturunkan, kursinya hampir sesuai dengan postur punggung, jadi tidak terlalu kaku. Lalu, leg room juga luas, tidak bikin khawatir dengkul mlocot karena berbenturan dengan kursi depannya. Sugeng Rahayu juga menyediakan selimut untuk menghadapi dingin yang bikin terlalu sering kebelet pipis.

Pukul 20:00 bus diberangkatkan, ini moment yang saya tunggu-tunggu. Merasakan guncangan Sugeng Rahayu saat di jalan raya. Kalau tidak berguncang, tidak akan tahu bus ini nyaman atau tidak.

Kondektur mulai mengecek bukti pemesanan dan menukarnya dengan karcis coret. Setelah selesai, bliyo membagikan sebotol air mineral kepada masing-masing penumpang. Kondektur selesai dengan tugasnya, kembali ke ruang kru, dan mematikan lampu kabin penumpang. Penerangan menjadi remang-remang. Duh, jadi ingat Bandungan. Ehh…

Selama hampir 2 jam perjalanan, Sugeng Rahayu masih berjalan tersendat dan perlahan karena padatnya kendaraan dan sempitnya jalan. Susah untuk blong-blongan. Setelah lepas Cileunyi, bus baru bisa menunjukkan naluri pelarinya. Sopir sudah mulai memacu bus dengan rpm tinggi. Mesin meraung dan sayup-sayup terdengan suara turbo yang mendesak udara melewati intercooler sebelum masuk ke ruang bakar.

Walaupun saya berada di kursi belakang dekat mesin, suara mesin memang masih terdengar, tapi tidak seberisik PO lain dengan karoseri yang lain pula. Untuk kesenyapan kabin, masih okelah. Hanya saja, saya sempat mencium bau semacam bau terbakar mirip logam yang bergesekan, bisa jadi dari kampas rem, atau kampas kopling. Bau dari luar masih bisa masuk ke dalam kabin.

Saat melahap jalan aspal yang tidak begitu bagus, Sugeng Rahayu masih anteng-anteng saja, tidak gemlodak. Suspensinya menggunakan suspensi udara, ini adalah keistimewaannya.

Kenapa istimewa? Sebenarnya, seri Hino RK8 masih menggunakan suspensi daun/per daun, atau leaf spring sehingga terasa rigid, stiff, dan kurang nyaman kalau memakai suspensi aslinya. Suspensi udara ini hasil ubahan yang dilakukan oleh pihak karoseri, tentu saja menyesuaikan dengan keinginan pemesannya.

Hino, yang sudah menggunakan suspensi udara asli bawaan pabrik adalah seri RN-285 dan RM-380. Beberapa sopir yang mengemudikan Hino RN mengaku tarikannya lemot dan akselerasinya tidak begitu bagus. Untuk seri RM, saya belum tahu pengakuannya, belum pernah njajal. Sugeng Rahayu melakukan tindakan yang pas, mengombinasikan kekuatan RK8 dengan kenyamanan suspensi udara.

Selama dalam perjalanan dengan Sugeng Rahayu, masalah yang timbul sebenarnya masalah sederhana tapi bisa bikin basah.

Bagaiman tidak, setiap penumpang yang ke toilet ada dua masalah yang dihadapi. Pertama, banyak penumpang yang kesulitan membuka pintu toilet. Tuas pembukanya sebenarnya mudah, cukup diputar dan pintu akan terbuka. Namun, karena saat bus berjalan, penerangan remang-remang menjadi kendala saat harus membaca petunjuk manual membuka pintu toilet. Terpaksa saya menjadi “kondektur khusus pintu toilet”, bukain pintu toilet untuk penumpang.

Kedua, lampu toilet. Hampir semua penumpang yang ke toilet mengeluh gelap, termasuk saya. Berkali-kali saya mencari saklar lampu, saya gerayangi bagian dalam toilet tapi tidak ketemu. Di bagian luar dekat pintu toilet juga tidak ketemu. Masa iya lampunya rusak.

Saat kondektur mengecek penumpang hingga ke bagian belakang, saat itulah saya beranikan diri bertanya: “Pak, lampu toilete mati, tah?”

“Nggak mas, ini lho saklarnya”. Sang Kondektur membuka pintu toilet sambil memutar tuas pada posisi “kunci”.

“Gini lho mas, kalau sudah masuk, trus pintunya dikunci, tuasnya tarik ke atas gini untuk ngunci. Nanti lampunya otomatis nyala”. Saya cuma bisa bengong lalu mengucapkan terima kasih.

Untuk sodara-sodara yang menggunakan bus dengan fasilitas macem-macem, tidak ada salahnya untuk celingak-celinguk dulu dengan keadaan sekitar. Agar supaya perjalanan menjadi lebih nyaman. Nyaman karena sodara tahu apa yang harus sodara lakukan dengan fasilitasi itu. Jangan malu untuk bertanya kepada kru.

Kesimpulannya, bus ini enak, nyaman dengan suspensi udaranya, dapat pengalaman akselerasi dan kencang  dengan RK8-nya. Leg room jembar, kursi sesuai postur punggung, tidak gampang pegel.

Bandung menuju Yogyakarta cukup bayar karcis coret seharga Rp115 ribu belum termasuk servis makan. Relatif murah jika melihat fasilitas yang lumayan, meskipun belum mewah.

Sebenarnya ada servis makan, dan itu opsional. Kondektur akan menawari apakah mau makan atau tidak. Tambahan biaya makan Rp15 ribu saja.

Yang tidak enak dari bus ini adalah bau gosong kampas rem atau kampas kopling yang masuk ke kabin. Sosialisai soal pintu toilet seharusnya dilakukan kru sebelum bus berangkat agar tidak terjadi “bencana banjir di sekitar paha” dan tragedi njempalik di toilet kecil nan sempit itu.

Lain kali saya mau njajal pelari pantura kelompok Muriaan.

Exit mobile version