Sepupu dan keponakan sudah menunggu saya di Stasiun Arjosari. Salah satu keponakan mengajak saya untuk masuk ke Bus Handoyo. Katanya, sih, pengin ngadem dulu. Awalnya saya ikut saja ajakannya. Namun, karena overthinking, saya memutuskan untuk di luar saja dulu.
Untuk menghilangkan rasa cemas, saya memutuskan untuk menghubungi ibu. Saya memberi kabar kalau sudah sampai di Arjosari dan bus yang akan kami tumpangi sudah siap juga.
Nah, lagi ngobrol sama ibu, tiba-tiba pintu Bus Handoyo yang sekiranya mengantar saya ke Wonosobo tertutup. Perlahan, bus yang berhenti di antrean ketiga, bergerak. Agak panik, saya mengakhiri panggilan ke ibu. Saya bilang busnya sudah mau berangkat.
Maka jadi sudah, saya larian-larian mengejar Bus Handoyo yang bergerap perlahan itu. Saya membayangkan tertinggal bus tentu sangat memalukan. Apalagi saya sudah tepat berada di samping bus, ditambah saya punya hubungan yang kurang mesra dengan moda transportasi ini.
Saya semakin panik ketika bus itu nggak berhenti juga. Saya pukul-pukul pintu masuk, berharap bus berhenti, dan saya bisa naik. Nah, tepat pada saat itu, Bus Handoyo itu berhenti dan kondektur menjulurkan kepalanya keluar jendela kecil sambil berkata, “Hanya parkir lebih ke depan aja. Biar yang belakang bisa dipakai bus lain. Tenang, Mbak.”
SIALAN!!!
Drama di atas Bus Handoyo
Saya malu banget. Titik. Saya naik ke dalam bus dan saudara-saudara saya menyambut dengan tawa yang menjengkelkan. Yah, nggak sepenuhnya salah mereka juga.
Sebetulnya awal perjalanan berjalan lumayan. Ada adik-adik lucu yang terlihat repot sekali dengan cemilannya. Mereka juga suka sekali menyanyikan lagu “Abang Tukang Bakso”. Sementara itu, ada tiga pemuda lagi yang sedang asyik saling melempar lawakan. Saya sendiri harus sering ngemil. Setiap dua jam, saya harus makan nasi atau roti dan minum air putih. Tentu supaya GERD saya tidak kambuh.
Singkat kata, Bus Handoyo yang akan mengantar kami ke Wonosobo sampai di Yogyakarta. Tiga pemuda yang suka sekali melawak tadi sudah turun. Adik-adik lucu juga sudah tidak ada di dalam bus. Bus yang kami tumpangi mampir sejenak ke garasi untuk pergantian sopir. Dan, dimulailah drama itu.
Sopir baru ini suka sekali ngebut. Seakan-akan para penumpang yang akan ke Wonosobo ini pasien kritis.
Saat itu kondisi bus sepi karena semua tertidur. Saya jadi mulai paranoid. Saya jadi mulai dari banyak makan roti dan minum air putih. Sampai puncaknya saya memutar lagunya Noah sambil nyanyi dalam hati. Saya lantas memukul-mukul paha, mengkhayal sedang bermain drum.
Berhasil, saya nggak mabuk sampai tujuan. Tapi, hampir dua jam tiba di rumah saudara di Wonosobo, saya nggak bisa ngomong. Saya hanya duduk, lantas jalan mondar-mandiri. Rasanya pusing dan pengin muntah.
Drama di perjalanan pulang
Singkat cerita, acara sambang selesai, dan kami pulang ke Lumajang naik Bus Handoyo (lagi). Keluarga saya bisa dengan mudah mendapatkan bangku paling depan. Khusus untuk saya, si mabuk perjalanan paling hebat di dunia. Diantar menggunakan tiga motor bebek, kami menunggu tibanya bus di depan kantor Bank BRI Unit Selomerto.
Perjalanan dimulai. Baru melewati Terminal Kaliwiro, beberapa meter menuju Terminal Wonosobo, sebuah insiden terjadi. Sebelum berangkat, kami kehujanan. Kondektur bus, nggak mau menambah derajat AC bus. Hasilnya, pertahanan di lambung saya limbung. Byur! Saya muntah. Kena baju dan beberapa tercecer di lantai bus.
Saya nggak membawa banyak baju untuk sambang ke Wonosobo. Pakaian yang masih “layak pakai” tinggal hoodie berwarna merah muda dan celana training warna hitam. Maka jadi sudah, mengenakan training kumal, saya menempuh perjalanan pulang ke Lumajang dari Wonosobo naik Bus Handoyo. Perfect!
Penulis: Hendrini Esvi Wastiti
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sinar Jaya Bikin Jatuh Cinta pada Perjalanan Pertama dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.