Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ketika Drama Panggung Voltaire Menghina Nabi Muhammad

Muhammad Iqbal oleh Muhammad Iqbal
1 Juni 2019
A A
Hikayat-2019 - Mojok.co
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Voltaire, si penulis naskah, memilih hanya memanggungkan agresivitas sang Nabi (Muhammad) dalam mencapai tujuan politiknya. Sebatas itu saja.

Drama pertama Islam yang dipentaskan di Amerika ditulis oleh Francois-Marie Arouet, yang lebih dikenal sebagai Voltaire (1694-1778).

Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophete, yang pura-puranya tentang era berdirinya Islam, perdana dipentaskan di Paris pada 1742, dua tahun sebelum munculnya sebuah produksi berbahasa Inggris di London. Titimangsa 1776, pementasan ulang drama itu menjadi kecoh di panggung London.

Selama masa Perang Revolusi, Mahomet akan dipentaskan di kedua belah pihak, pertama oleh pasukan Inggris pada 1780, dan untuk pasukan sekutu Amerika dan Prancis dua tahun berikutnya.

Di Prancis, Inggris, dan Amerika, drama ini sesuai sebagai sebuah pola untuk serangan agama dan politik terhadap berbagai musuh, asing dan domestik, yang semuanya Kristen.

Robert J. Allison dalam bukunya, The Crescent Obscured: The United States and the Muslim World, 1776-1815 (2000: 43-46), mendedahkan bahwa Voltaire memilih memanggungkan hanya agresivitas sang Nabi (Muhammad) dalam mencapai tujuan politiknya, sebuah karikatur seorang penipu agamais maupun seorang fanatik politis.

Melalui saringan tempo dulu Islam yang sudah terdistorsi, Voltaire bermaksud agar khalayak Prancis menerima pesan yang lebih umum perihal keburukan penganiayaan dan intoleransi agama.

Pada suatu masa ketika kekerasan Katolik terhadap Protestan merupakan kebijakan nasional, Voltaire menggunakan sebuah konteks Islam imajiner untuk menghindari kecaman langsung dari para gerejawan dan penguasa.

Akan tetapi, taktiknya ini suak untuk mengelabui sensor Katolik. Drama itu akan mendapat khalayak yang lebih reseptif jika ditafsirkan dalam konteks Inggris dan Amerika.

Pada konteks pertama, penambahan prolog baru, iklan-iklan surat kabar, dan pelbagai ulasan, drama yang pura-puranya ihwal Muhammad ini menjadi sarat dengan persoalan kebebasan agama dan politik. Amerika yang sedang berperang dengan Inggris akan menyesuaikan dalam mengadaptasi penjahat muslim dalam drama itu demi memenuhi tujuan-tujuan ideologis mereka.

Dalam Mahomet, Voltaire mengisahkan tentang berdirinya Islam sebagai sebuah kisah polemik tentang seorang penjahat tidak bermoral, yang nafsunya nan keji dan pengejarannya terhadap kekuasaan mengorbankan semua yang menghalanginya.

Sejak abad ke-18, umat Kristen telah menuduh bahwa pernikahan sang Nabi yang berkali-kali itu semata-mata menjadi bukti dari hasratnya yang tidak terkendali, dengan menekankan perbedaan yang kentara terhadap kehidupan selibat yang dijalani Yesus Kristus.

Kritik terhadap pernikahan sang Nabi telah menjadi sebuah landasan dari biografinya yang penuh polemik dalam sumber-sumber Katolik abad pertengahan, dan akan terulang dalam teks-teks Protestan abad ke-17 dan 18.

Sebagian besar karakter dalam Mahomet adalah kreasi Voltaire, tidak ada hubungannya dengan kenyataan sejarah. Alurnya membayangkan kembali bagaimana orang-orang pagan Mekkah yang berpendirian keras pada abad ke-7 dipaksa melalui kekerasan untuk menyerahkan keimanan dan kedaulatan mereka kepada Muhammad, nabi palsu dan bermuka dua.

Iklan

Faktanya, penyerahan diri orang-orang pagan Mekkah kepada pasukan monoteis sang Nabi pada 630 telah dirundingkan dalam sebuah perjanjian dua tahun sebelumnya. Ketika kota itu menyerah, hanya empat penduduknya yang benar-benar dibunuh (Jonathan A. C. Brown, Muhammad: A Very Short Introduction, 2011: 54).

Namun, pesan Voltaire tentang fanatisme agama tidak akan berguna dengan menceritakan kembali resolusi yang pada dasarnya damai ini. Dengan membayangkan pembunuhan kaum pagan, Voltaire justru mengecam bukannya merayakan kemenangan Islam sebagai agama monoteistik anyar.

Untuk lebih merangsang kemarahan terhadap muslim “penindas”, dia melukiskan kaum pagan Mekkah sebagai para martir sejati, jujur, dan heroik .

Sebaliknya, menurut Ahmad Gunny dalam Images of Islam in Eighteenth-Century Writings (1996: 156), Voltaire melukiskan Muhammad versinya sebagai predator cabul, yang berahi kepada seorang perempuan muda cantik bernama Palmira, sebuah nama yang diambil bukan dari bahasa Arab tetapi dari sebuah situs pra-Islam di Palmyra, Suriah.

Ditangkap oleh Muhammad sewaktu masih anak-anak, Palmira tumbuh tanpa mengetahui bahwa ayahnya, Zopire, adalah pemimpin oposisi pagan Mekkah. Walaupun Palmira menghormati Muhammad sebagai telatah ayah, penguasa, dan seorang nabi, gadis itu tidak membalas kasih sayangnya.

Sebaliknya dia mencintai Seide, yang juga diambil sewaktu masih anak-anak, tetapi dia tidak tahu bahwa Seide adalah kakaknya.

Muhammad memerintahkan Seide untuk membunuh Zopire, ayahnya sendiri. Karena setia kepada Muhammad, Seide melaksanakan perintah, tapi Muhammad yang bermuka dua itu kemudian meracuni saingannya.

Pada adegan terakhir, Palmira terlambat menyadari bahwa ayah dan kakaknya meninggal dunia atas perintah dari orang fanatik itu. Sedih sampai sinting, ia bunuh diri, dengan membeberkan sifat asli Muhammad bersama napas terakhirnya:

Kau penipu berlumur darah … Algojo dari semua orang yang aku cintai … Nabi suci, raja yang aku layani, tuhan yang aku sembah! Monster yang rencana liciknya yang gila dan berbahaya telah membuat dua orang tak bersalah menjadi dua orang pembunuh! (Voltaire, Mahomet, 2013: 57)

Sementara khalayak turut merasakan penderitaan ini, Voltaire memperjelas visinya tentang Mahomet, yang sendirian di atas panggung, dengan mengakui bahwa dia seorang penipu yang durkarsa: “Pedang dan al-Quran di tanganku yang berlumur darah, akan membungkam seluruh umat manusia (?).

Tatkala aktor yang pertama kali dipilihnya untuk memerankan Muhammad mengundurkan diri, Voltaire menemukan aktor liyan yang menurutnya bahkan lebih baik tinimbang pilihan awalnya karena “penampilannya yang mirip kera”. Di atas panggung, karakter Muhammad dibayangkan oleh sang dramawan itu sebagai sosok yang lebih rendah dari manusia sekaligus tak berperikemanusiaan.

Namun, Voltaire memungkiri pengetahuannya tentang sejarah Islam dan doktrin agama yang sebenarnya. Menurut Denise A. Spellberg dalam bukunya, Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013: 35-36), pada 1738, Voltaire juga memiliki al-Quran terjemahan Inggris karya George Sale, yang menyertakan sebuah bagian penjelasan panjang ihwal sejarah dan agama.

Dengan mengabaikan informasi yang relatif akurat yang tersedia baginya, Voltaire mengkhianati sebuah keputusan yang disengaja dalam mendistorsi sejarah Islam sebagai sarana peringatan terhadap penganiayaan agama dan despotisme.

Walaupun kecaman Voltaire terhadap penganiyaan Katolik terhadap Protestan disampaikan secara tidak langsung, otoritas gereja mengenali analogi itu dan dengan cepat melarang drama itu pasca pementasan perdananya di Paris pada 1742 (Nicholas Cronk, The Cambridge Companion to Voltaire, 2009: 6-7).

Mereka benar dalam menuduh bahwa maksud Voltaire adalah menyerang agama Kristen bukannya Islam; beberapa bahkan berpendapat bahwa dia sedang memperkenalkan Deisme.

Voltaire membenci sensor Katolik terhadap dramanya, tetapi dia setuju bahwa duta besar Turki Utsmani di Paris pastinya punya alasan yang sah untuk keberatan. Dalam hal ini, dia mengakui, “Rasanya tidak akan patut untuk merendahkan sang Nabi sambil menghibur utusan itu.”

Akan tetapi, fitnah terhadap Islam itu terbukti terlalu bermanfaat untuk dibantah. Tahun 1745, berusaha agar larangan itu dicabut, Voltaire menulis surat langsung kepada Paus Benediktus XIV, memberi hormat kepadanya dalam bahasa Italia sebagai “kepala agama sejati” dan mengecap sang Nabi, secara tidak mengejutkan, sebagai “pendiri sekte palsu dan barbar”.

Namun strategi kepausan Voltaire suak, dan drama itu tidak akan dipentaskan lagi di Paris hingga 1751.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Terakhir diperbarui pada 1 Juni 2019 oleh

Tags: #hikayatamerikadramaMohametmuhammadVoltaire
Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal

Editor Marjin Kiri. Dosen IAIN Palangka Raya. Sejarahwan ngoyot.

Artikel Terkait

Perang Dunia 3 Bukti Manusia Adalah Bajingan Maniak Perang MOJOK.CO
Esai

Perang Dunia 3 Menjadi Bukti Manusia Adalah Bajingan Maniak Perang yang Tidak Belajar dari Kehancuran karena Perang Dunia

24 Juni 2025
Kopdar Jokowi dan Biden di Gedung Putih Menghasilkan Apa?
Luar Negeri

Kopdar Jokowi dan Biden di Gedung Putih Menghasilkan Apa?

14 November 2023
Aji Saka: Aksara Jawa dan Kisah Pertemuan dengan Nabi Muhammad
Video

Aji Saka: Aksara Jawa dan Kisah Pertemuan dengan Nabi Muhammad

12 Agustus 2023
Ketika Cina dan Kuba, 2 “Dedengkot” Komunisme, Membela Islam MOJOK.CO
Esai

Ketika Cina dan Kuba, 2 “Dedengkot” Komunisme, Membela Islam dan Mengutuk Keras Pembakaran Al-Qur.’an

19 Juli 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.