Saya pernah membersamai seorang teman yang mengejar-ngejar penyair Zawawi Imron untuk minta tanda tangan. Di depan mata, saya melihat sendiri seorang mahasiswi menjerit histeris ketika Sujiwo Tejo mengajaknya berduet menyanyi “Anyam Anyaman Nyaman”, dalam peluncuran buku Dalang Edan di kampus kami. Di waktu lain, di tengah pasang naiknya band pop Indonesia, seorang teman di Jakarta merengek membujuk saya agar membantunya mendapatkan nomor kontak Noe Letto hanya karena saya tinggal di Jogja. Saya, karena bakat pemalu yang agak sulit diketepikan sekaligus sikap angkuh yang jarang bisa ditundukkan, tak pernah begitu, dan tak ingin begitu. Tak akan!
Saya menyukai puisi-puisi Zawawi, sebagaimana kebanyakan orang, bahkan ketika saya tak mengerti apa maksudnya; judul-judul buku puisinya yang saya koleksi lebih banyak dibanding seluruh puisi para penyair Angkatan ‘66 dikumpulkan jadi satu. Tapi saya tak akan merelakan buku saya, buku-buku langka saya, ditandatangani orang lain, bahkan jika itu penulisnya sendiri—bahkan jika itu adalah penulis/penyair yang sangat saya hormati dan cintai. Dan mengejar-ngejar penyair? Cukup sekali itu saja.
Beberapa menit setelah membuat seorang mahasiswi histeris, dan menciptakan kerumunan besar tak lama setelahnya, saya mendekat ke Sujiwo Tejo dan mencoba berkontak mata, lalu menyapa dengan percaya diri: “Mas Tejo, saya Mahfud. Masih ingat saya?” Saya tak yakin ia ingat betulan atau tidak (bahwa saya adalah wartawan mahasiswa yang kurang dari sebulan sebelumnya mewawancarainya tentang para seniman lereng gunung yang pernah berkolaborasi dengannya), tapi Sujiwo Tejo tampaknya tahu apa alasan si mahasiswa dekil dan kecil itu menyapa dan mendekat. “Tentu saja,” katanya, berupaya ramah, meskipun kelihatan ia ingin segera pergi dari tempat para mahasiswi merubungnya. “Ini untukmu,” sambungnya sambil mengulurkan buku tebal bersampul hijau gelap yang baru saja diluncurkannya. Dan buku tersebut sudah ada tanda tangannya. Maka jadilah Dalang Edan sebagai salah satu dari sedikit buku yang (pernah) saya punya dan dibubuhi tanda tangan penulisnya. Tapi, jangan khawatir, saya baik-baik saja. Sesekali saya menunjukkan buku pemberian itu ke teman dengan bangga: bukan karena buku tersebut bertanda tangan penulisnya, melainkan karena buku tersebut saya dapatkan tanpa perlu membelinya.
Nomor Noe? Gampang. Saya punya banyak teman yang mengagumi bapaknya, yang ingin menghabiskan seharian mengobrol dan mendengar cerita-cerita hebatnya, dan karena itu menyimpan baik-baik nomor kontak orang yang lebih hebat dan lebih besar itu—orang yang suara baca puisinya menggetarkan jiwa remaja saya. Saya kontak si Bapak, mengaku sebagai anak Jombang yang mau bikin acara, dan segeralah saya mendapatkan nomor sang artis idaman. Ketika teman saya masih butuh meyakinkan diri apakah itu benar nomor sang idola dan benar-benar bisa dihubungi, saya mengirim pesan pendek yang agak sedikit panjang pada sang artis, bilang bahwa lagunya bagus, liriknya dalam, namun sintaksisnya rumpang di mana-mana. Tak menunggu lama, saya mendapatkan balasan pesan yang tak kurang panjangnya. Dan kami kemudian bertukar pesan beberapa kali. Teman Jakarta saya membelalak. “Kok bisa?” tanyanya, sulit percaya.
Ih, dasar anak Jakarta.
***
Beberapa penulis atau orang tenar, mungkin di beberapa kesempatan, akan saya tubruk dan cium tangannya jika saja saya tak gagal menekan rasa malu dan kikuk saya: Kuntowijoyo di peluncuran novel Wasripin dan Satinah, atau Rendra di sebuah pembacaan puisi yang langka di Magelang, atau Yanusa Nugroho di sebuah ajang penghargaan di Jakarta. Beberapa orang cukup saya lihat dari jauh, dan saya akan menyingkir jika terlalu banyak orang yang mengerumuninya. Beberapa orang lain akan menyenangkan jika bisa mengobrol, tapi syaratnya tentu saja mereka yang harus mulai. Beberapa yang lain akan saya abaikan, karena mereka memang idola orang lain.
Saya pernah berada persis di belakang sastrawan besar Danarto dalam sebuah antrean. Saya tentu ingin menjawil pundaknya dan mengucapkan salam, mungkin berbicara sedikit tentang Kadal dan Zat Asam dengannya. Tapi saya berhasil menahan tangan saya untuk tak bergerak, hanya karena ingat bahwa saya punya Adam Makrifat di rak buku di kamar kos dan belum membacanya.
Saya pernah mendapati diri tiba-tiba ada di dalam lingkaran duduk yang di pusatnya ada Goenawan Mohamad, penyair dan esais pujaan banyak teman dekat saya. Mungkin akan jauh lebih sastrawi jika saya mengobrolkan vokal “e” yang hilang pada judul buku puisinya, Pariksit, tapi pada 2004, saat pekerjaan memaksa saya ditimbun berita-berita politik dan pemilu, saya justru terdorong untuk bertanya, “Apa alasan Anda pernah mendukung Amien Rais membuat partai dan menjadi presiden?” Ketika saya mendapatkan jawaban, lebih tepatnya pertanyaan balik (“Memang saat itu siapa yang lebih tepat?”), saya merasa itu cukup, dan saya pergi. Dan saya merasa keren dengan bersikap biasa-biasa saja terhadapnya.
Tapi setidaknya saya gagal dengan satu penulis, seorang idola. Saya terkintil-kintil dibuatnya. Saya melupakan segala sikap sungkan, urat malu sepenuhnya kendor. Dan seluruh energi di badan saya mendorong saya untuk menghambur ke kakinya.
Ia adalah orang yang saat itu, dan sampai sekarang, bukunya paling banyak saya baca dan koleksi, yang teknik naratifnya saya tiru, yang caranya membuat dialog saya contek, yang beberapa diksi kesukaannya (“membetot”, “membobol”, “menggebrak”) saya pungut dan tinggal seterusnya bersama saya, yang kesenangannya membuat judul dengan satu kata bahkan masih bisa ditemukan tepat di sini, di kolom ini. Saya bisa, dan saya yakin bisa, mengobrol dengannya sehari semalam, dan itu sepenuhnya soal sastra. Saya memakai kredo keseniannya sebagai kredo saya, meski dengan pemaknaan yang sedikit berbeda. Saya tak mengerti saat membaca novelnya yang paling terkenal, dan saya melewatkan novel pertamanya, tapi saya percaya diri saya adalah salah satu sarjana sastra di Indonesia yang paling mengerti tentang karyanya, meskipun lulus dengan skripsi dari karya orang lain. Saya pernah menonton pentas teaternya di Jogja dan menyesali diri karena tak sempat menyapanya, maka saya tak mau melewatkannya ketika kesempatan itu kembali datang.
Saya menunggunya di depan gedung pertunjukan yang akan mementaskan karyanya, baru masuk setelah ia saya memastikan bahwa ia benar-benar datang, mencari tempat duduk yang paling mudah untuk melompat ke lantai kerumunan setelah pentas selesai—tapi terutama agar pandangan saya tak lepas dari gerak-geriknya, dan bisa berada sedekat mungkin dengannya di saat yang tepat. Dan saya akhirnya mendapatkan momen yang saya dambakan.
Ketika ia dikerumuni oleh bocah-bocah mahasiswa semester satu, yang bertanya tentang proses kreatif dan kiat-kiat menulis, saya yang hanya sedepa di sampingnya, beringsut mendekat, dan menembakkan pertanyaan—pertanyaan yang mungkin saja telah saya siapkan selama bertahun-tahun: “Pak Putu, kenapa tidak kembali menyutradarai film? Satu saja, saya ingin melihat Nyali di layar lebar, dan itu dari tangan Pak Putu sendiri.”
Semua orang yang mengerumuninya tentu saja menoleh ke saya, tapi yang terpenting adalah tolehannya. Moncong topi petnya yang terkenal itu menghadap ke arah saya. Tak ingin membuang kesempatan, saya menyembur: “Kropos adalah karakter paling kuat yang pernah Anda buat. Itu pasti akan menjadi film paling noir dalam sejarah sinema Indonesia!”
“Ah, betul, saya juga sangat ingin memfilmkan Nyali,” sahutnya.
Mungkin saja itu jawaban basa-basi seorang penulis terkenal yang rendah hati menghadapi seorang penggemar tak tahu diri, tapi saya tak peduli. Yang terpenting, bermenit-menit kemudian, puluhan menit bahkan, kami berbicara secara dalam dan panjang tentang sudut pandang pada novel Lho; bahwa, seperti yang saya duga, cerpen “Taksu” di Zig Zag bukanlah cerpen tapi memoar; bahwa ia sangat menyukai mengikuti lomba menulis terutama karena itu kesempatannya agar karyanya bisa dibaca orang-orang hebat seperti Kayam dan Subagio secara cuma-cuma; bahwa apa yang dikatakan Ignas Kleden tentang “senjata yang akan berdentum” akan terus dipakainya sampai seseorang mengatakan bahwa senjata itu sudah semakin rutin ditembakkan dan tak lagi mengejutkan. Dan bocah-bocah semester satu yang hanya ingin tahu kiat-kiat menulis itu saya biarkan duduk diam dan menyimak.
Malam itu, setelah menghabiskan jam-jam paling mengharu biru sebagai seorang fan, dan pergi dengan mengantongi kartu nama sang idola, saya keluar gedung dengan badan tak kalah bergetarnya dibanding seorang baladewa yang baru saja mendapatkan sehelai rambut terakhir Ahmad Dhani. Seluruh dunia ingin saya beri tahu bahwa, akhirnya, saya bisa jumpa dan mengobrol panjang dengan Putu Wijaya.
***
Seperti semua penulis pemula yang bertemu panutannya, tentu saja hal berikutnya yang dipikirkan adalah mengirimkan cerpen jeleknya, merengek minta dibaca, dan berharap mendapatkan pujian yang hebat-hebat. Itulah yang persis saya lakukan. Apalagi di perjumpaan terakhir saya merasa diberikan harapan dan kesempatan.
Saya memakan kesempatan itu sebagai penggemar yang girang, bukan pembaca yang mawas. Saya kemudian menulis salah satu email terpenting dalam hidup saya, sekaligus yang paling bodoh yang pernah saya tulis. Surat balasan yang ramah dan panjang, dan tak hanya sekali-dua, memabukkan saya, dan itu membuat saya tak sepenuhnya menangkap pesan intinya, sebuah teror mental dari masternya teror mental; saya masih ingin mengoceh dan didengar ketika saya seharusnya menunduk hikmat; saya tak berhenti ketika seharusnya berhenti.
Dan saya kena batunya. Tidak sekadar tersandung, tapi dihantamkan. Sangat keras, sejadi-jadinya. Dan inilah batu itu, batu besar itu, email terpenting dalam hidup saya itu; sebuah ijazah:
Salam
Tidak ada teror buat dia yang siap untuk diteror.
Ada penulis yang merasa dirinya bebas dan merdeka karenanya ia meletakkan harga diri di atas segala-galanya. Penulis seperti itu seringkali mengemis, ketika merasa tidak ada penonton, padahal tak ada sesaat pun hidup yang tanpa penonton.
Ada penulis yang merasa dirinya budak, pekerja paksa dan melacur karena ia selalu diinjak-injak oleh kemauan pembaca dan penerbit. Ia tidak berdaya dan tidak punya harga diri. Tapi kemudian ia mendapat hadiah nobel. Lalu para kritisi buru-buru menukar arti kata budak, pekerja paksa sebagai integritas dan menganggap pelacuran adalah sebagai tanda pengabdian yang luhur.
Kita, kau dan aku disembelih oleh kedua mata pisau itu. Kau tak bisa memilih karena kau ternyata sudah dipilihkan. Masing-masing kita diberikan bencana untuk dihadapi dan itu tak kurang dari rakhmat tanda kau masih dipercayai.
18-3-04
PW
Saya membaca surat di atas sepenuhnya sebagai penulis. Maka, saya berhenti berkirim cerpen kepadanya, juga kepada orang lain, terutama ketika tebersit niat untuk mendapatkan pengakuan dari orang yang dipandang hebat oleh orang lain. Dan saya memulai menulis novel pertama saya. Tak memedulikan apakah merdeka atau jadi budak, dan apakah pisau itu menyembelih leher atau menghunjam dada, saya menggulati bencana yang sekaligus rahmat yang dipercayakan kepada saya itu.
Enam tahun kemudian, saya mengirimkan satu eksemplar novel pertama saya ke alamat rumah di kartu nama yang masih saya simpan. Kali ini, bukan penggemar yang berkirim email kepada idolanya, melainkan seorang murid mengirimkan hasil kerjanya kepada gurunya.
Setidaknya saya harap begitu.
BACA JUGA Sempurna dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.