MOJOK.CO – “Waktu mereka tau Papa mau buang patung Loro Blonyo, sepertinya mereka buru-buru pindah ke lukisan penari Bali.” Hidup saya makin seru saja.
Kinanti, anak saya nomor dua, saat itu baru berusia sekitar 18 tahun, dan masih bersekolah di kelas 3 SMA. Sepanjang ingatan saya, sejak anak-anak hingga beranjak remaja, Kinanti tidak pernah mengalami hal yang aneh-aneh. Dalam arti, tidak pernah mengaku melihat atau mendengar sesuatu yang tak kasat mata. Namun, pada suatu malam, ketika saya baru saja pulang dari kantor, Kinanti tampak sangat ketakutan. Dia memohon agar saya mengizinkannya untuk tidur di kamar saya, karena tidak berani tidur sendirian di kamarnya.
Kinanti memang sudah terbiasa menunggu saya pulang kerja hingga larut malam. Dia baru masuk ke kamarnya setelah saya tiba di rumah dan setelah puas curhat tentang segala sesuatu yang dialaminya seharian, baik tentang hal-hal yang menggembirakan maupun menyedihkan. Dan, baru malam itu, curhat yang disampaikannya berisi ketakutan.
Kinanti bercerita bahwa sejak siang hari, dia sering mendengar suara-suara yang memanggil-manggil namanya. Suara-suara itu, katanya, terdengar seperti suara gadis seusianya. Ada dua jenis suara berlainan, sehingga berdasarkan perkiraannya, kemungkinan suara itu berasal dari dua orang gadis remaja yang tak terlihat wujudnya. Suara-suara itu terdengar lirih, nyaris seperti bisikan, dan selalu terdengar di mana pun dia berada.
“Kinanti… Kinanti….”
Begitu suara itu memanggil-manggil namanya, baik sewaktu dia berada di kamar makan, kamar mandi, kamar tidur, teras rumah, atau di dapur. Suara itu baru berhenti ketika mobil saya memasuki carport rumah.
“Kayaknya dia takut sama Papa, deh,” katanya.
Awal mula teror patung Loro Blonyo
Saya hanya bisa menyarankan untuk tetap tenang, tidak perlu takut, dan jangan pedulikan kalau mendengar lagi suara-suara panggilan itu. Terus terang, awalnya saya menganggap sepele cerita Kinanti. Saya menganggapnya hanya sekadar halusinasi karena pengaruh film horor yang suka ditontonnya. Saya juga tidak menduga kalau teror bisikan itu ternyata berasal dari patung Loro Blonyo.
“Cuekin aja, nanti juga hilang sendiri. Lawan aja dengan salat dan doa,” ujar saya.
Esoknya, ketika saya berada di kantor, Kinanti menelepon.
“Pa, aku takut nih. Tadi waktu aku pulang sekolah, aku denger lagi suara yang manggil-manggil aku di rumah. Si Mbak juga denger. Kalau nggak percaya, tanya dia deh,” katanya.
“Sekarang aku di rumah Kak Ita. Aku mau nginep di sini. Boleh kan, Pa? Semalem aja. Abis takut di rumah,” lanjutnya.
Yang disebut Kak Ita adalah kakak sepupu Kinanti yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah kami. Hanya berbeda kecamatan. Sedangkan yang disebut si Mbak, adalah asisten rumah tangga kami yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di atas usia Kinanti. Karena nyaris seumuran, si Mbak sudah dianggap sahabat dekat oleh anak saya.
“Mbak, bener Mbak sempet denger suara yang manggil-manggil Kinanti?” Tanya saya sewaktu bertemu si Mbak di rumah.
“Bener, Pak,” jawabnya dengan wajah serius.
“Sumpah?”
“Sumpah. Demi Allah, Pak. Biar disamber geledek kalau Mbak bohong,” kata si Mbak sedikit ngegas.
Seram juga sumpah si Mbak, pikir saya.
“Kamu sempet perhatiin nggak, dari mana asal suara yang manggil-manggil Kinanti itu,” tanya saya lagi kepada si Mbak.
“Dari situ,” ucap si Mbak sambil menunjuk ke arah patung keramik Loro Blonyo, yang diletakkan di atas meja kecil di sudut ruang tamu.
Pengakuan si Mbak
Si Mbak akhirnya mau bercerita bahwa patung keramik tersebut selalu berubah-ubah posisi setiap hari. Padahal dia yakin, tak ada seorang pun yang mengutak-atik posisinya, termasuk dirinya.
Wah, semakin seram saja cerita si Mbak ini. Dan, bertambah seram lagi dengan cerita si Mbak berikut ini:
“Saya juga sering nih, Pak. Kalau lagi sendirian di rumah dan Kinanti lagi sekolah, tau-tau ada yang manggil-manggil Kinanti dari luar pagar. Pas saya intip dari jendela, yang manggil-manggil itu dua anak cewek pake kebaya, tapi bukan temannya Kinanti yang saya kenal. Lagian aneh, kan sekarang bukan musim kartinian, kok pake kebaya.”
“Terus?” Potong saya gak sabaran.
“Terus saya bukain pintu. Eh, tau-tau udah nggak ada tuh anak.”
“Ke mana mereka?”
“Mana saya tau? Orang ngilang gitu aja.”
“Berapa kali kejadian seperti itu?”
“Beberapa kali, Pak. Mbak juga jadi takut di rumah.”
“Kok baru cerita sekarang?”
“Emang Bapak bakalan percaya sama saya kalau saya cerita kemaren-kemaren?”
“Kamu juga nggak cerita ke Kinanti?”
“Nggak Pak. Takut dia makin ketakutan. Sekarang aja dia takut banget.”
Melihat keseriusan si Mbak bercerita, saya mulai percaya bahwa yang dialami Kinanti dan si Mbak bukan halusinasi.
Patung Loro Blonyo yang dicurigai dihuni makhluk halus
Sudah lama saya ingin memiliki patung Loro Blonyo. Keinginan itu berawal ketika saya mengunjungi pameran keramik karya keramikus kawakan F. Widayanto di Gedung Bentara Budaya Gramedia Jakarta.
Ada beberapa seri patung Loro Blonyo yang diluncurkan F. Widayanto ke publik. Tapi, saya tidak “sampai hati” untuk membelinya. Soalnya, harganya tergolong mahal untuk ukuran dompet saya yang sering kembang-kempis. Jadi keinginan itu hanya tinggal keinginan. Hingga pada suatu hari menjelang tahun baru, saya mendapat kiriman parsel berisi patung keramik Loro Blonyo dari salah seorang teman yang tinggal di Cirebon.
“Terima kasih, Broer. Loro Blonyo-nya udah nyampe. Lu tau aja kesukaan gua.” Ucapan terima kasih itu saya sampaikan melalui sambungan telepon. Zaman itu belum populer panggilan Bro. Tapi Broer. Maklum, orang jadul.
“Iya. Mudah-mudahan lu suka, Broer. Meskipun bukan hasil karya F. Widayanto, tapi buatan pengrajin keramik di Cirebon, bentuknya tetep Loro Blonyo,” ujar sobat saya sambil tertawa.
Patung keramik Loro Blonyo buatan pengrajin di Cirebon itu saya letakkan di tempat terhormat. Saya sengaja membeli meja hias kayu yang tingginya sekitar satu meter untuk singgasana Loro Blonyo. Lalu, saya letakkan di salah satu sudut ruang tamu, dengan tampak muka patung menghadap pintu utama. Sehingga setiap tamu yang datang ke rumah saya akan disambut dengan tatapan patung sepasang pengantin tradisional Jawa bernama Loro Blonyo itu.
Patung yang posisinya bergeser
Sejak Loro Blonyo berada di rumah, kata si Mbak, patung itu selalu berubah-ubah posisinya setiap hari. Bila hari ini patung pengantin wanita berada di sebelah kiri patung pengantin pria, besoknya sudah berpindah ke sebelah kanan. Besoknya lagi kembali pindah ke sebelah kiri, dan begitu seterusnya setiap hari. Padahal dia merasa yakin tidak pernah mengubah-ubah posisi patung.
Si Mbak juga sering mendengar bunyi mendesis dari kedua patung tersebut. Beberapa waktu kemudian bunyi desisan itu berubah menjadi suara berbisik. Semula bisikan itu tidak begitu jelas kata-katanya. Tapi lama-kelamaan bisikan itu terdengar semakin nyaring, yakni berupa panggilan Kinanti… Kinanti… Panggilan yang membuat anak saya ketakutan setengah mati. Panggilan yang selalu berpindah-pindah ke setiap bagian rumah, di tempat mana Kinanti berada.
Dalam hati, sebenarnya saya sempat bertanya-tanya. Apa mungkin ada spirit jahil yang masuk ke dalam patung Loro Blonyo. Menurut mitos, patung tersebut adalah patung berenergi positif.
Makna patung Loro Blonyo
Patung Loro Blonyo konon sudah mulai dikenal masyarakat Jawa sejak zaman Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung pada abad 15. Patung itu berupa patung sepasang pengantin yang mengenakan Baju Pengantin Jawa Basahan yang biasa disebut Dodot.
Pengantin laki-lakinya mengenakan kuluk kanigara atau mahkota raja berwarna hitam dengan garis-garis kuning atau putih yang disusun tegak dan melingkar, seperti mahkota yang biasa dipakai oleh raja-raja Jawa. Tubuhnya mengenakan sejenis kain batik dengan stagen melingkar. Duduk dengan posisi bersila, dan kedua telapak tangan diletakkan di paha.
Patung pengantin wanitanya menggunakan kemben dan paes di dahi seperti pengantin wanita Jawa pada umumnya. Rambut digelung, menggunakan sejenis hiasan yang disebut sunduk mentul. Duduk bersimpuh dengan posisi telapak tangan seperti patung pengantin pria.
Patung pengantin wanita adalah simbol Dewi Sri, Dewi Kesuburan. Sementara itu, patung pengantin pria merupakan simbol Dewa Wisnu, Dewa Kemakmuran. Menurut mitologi Jawa, Dewi Sri dan Dewa Wisnu dipertemukan dalam suatu peristiwa yang penuh konflik, dan kemudian menjadi pasangan suami-istri yang serasi.
Keserasian inilah yang mengilhami para seniman pembuat patung (perupa) untuk membuat patung pasangan pengantin Dewa Wisnu dan Dewi Sri, dengan nama patung Loro Blonyo. Semula, patung ini dibuat dari bahan kayu. Namun, dalam perkembangannya kemudian, patung Loro Blonyo juga dibuat dari bahan keramik (clay).
Patung Loro Blonyo dikenal sebagai simbol kemakmuran (Dewa Wisnu) dan simbol kesuburan (Dewi Sri). Oleh sebab itu, banyak yang percaya bahwa patung ini memiliki aura positif, yang akan memancar ke dalam lingkungan rumah atau keluarga yang memilikinya. Bahwa kemudian ada energi negatif berupa spirit-spirit jahil yang memasukinya, tentu saja bukan hal mustahil, karena makhluk-makhluk gaib, apapun jenis dan karakternya, memang sangat suka menghuni benda-benda berbentuk makhluk hidup (manusia dan hewan).
Gangguan yang saya alami
Kinanti masih terus dihantui suara-suara yang memanggil namanya selama berada di dalam rumah. Suara yang dicurigai berasal dari patung Loro Blonyo, seperti yang dituturkan si Mbak. Saya mulai berniat membuang patung tersebut ke sungai (kali) di dekat rumah, apalagi setelah Yoga, kakaknya Kinanti, yang saat itu masih kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, bercerita bahwa dia sering bermimpi bertemu dengan sepasang gadis berkebaya, yang datang ke rumah mencari-cari Kinanti.
Sepasang gadis? Ya, seperti itulah yang menemui Yoga dalam mimpinya, dan seperti itu pula yang menjumpai si Mbak di siang bolong. Kalau spirit-spirit itu berasal dari patung keramik Loro Blonyo, seharusnya yang datang adalah sepasang pengantin, bukan sepasang gadis. Lalu, saya pun mengalami kejadian aneh.
Suatu malam, dalam kondisi antara tidur dan tidak, saya mendengar bunyi ketukan berkali-kali di pintu kamar saya. Ketika saya bukakan pintu, berkelebat dua sosok makhluk wanita remaja berkebaya warna putih memaksa masuk ke dalam kamar sambil mengucapkan kata-kata “E…rika…” secara bergantian, seperti memanggil nama seseorang.
Beberapa detik kemudian, kedua sosok makhluk itu menghilang dari pandangan saya digantikan tiupan angin yang sangat kencang. Seakan berputar-putar di kamar saya. Lalu senyap.
Kejadian aneh itu berulang esoknya dan esoknya lagi, selama tiga malam berturut-turut. Hanya waktunya saja yang berbeda-beda.
Malam pertama, saat menjelang tidur. Hari berikutnya, lepas tengah malam ketika saya sedang nyenyak, dibangunkan dengan ketukan pintu. Hari ketiga, saat saya mendusin (terbangun) menjelang subuh.
Makna yang terkuak
Pengalaman aneh ini saya ceritakan kepada seorang teman di kantor.
“Mungkin kedua hantu itu mencari temannya yang bernama Erika,” kata saya.
“Tunggu, tunggu. Coba lu ulang lagi seperti apa nadanya waktu dia menyebut Erika,” ujar teman saya.
“E… rika…,” ulang saya dengan memanjangkan huruf E dan memanjangkan huruf A yang terakhir dengan nada melengking.
“Dia bukan nyari Erika. Tapi nyari Elu,” kata sang teman.
“Kok bisa?”
Teman saya kemudian menjelaskan bahwa kata rika adalah panggilan untuk orang kedua yang kedudukannya lebih tinggi dari orang yang menyebutnya. Kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, rika kira-kira berarti ‘Anda’.
Kalau hantu itu mengatakan “E… rika…” mungkin saja maksudnya adalah “Eh… Anda” yang ditujukan kepada saya. Dengan kata lain, rika adalah sebutan Anda, dalam Bahasa Ngapak yang biasa digunakan masyarakat Cirebon, Indramayu, Purwokerto dan sekitarnya.
Saya bergidik mendengar penjelasan teman saya. Sekarang saya merasa yakin, bahwa spirit-spirit yang menghantui Kinanti, Yoga, si Mbak, dan saya, adalah spirit-spirit yang menghuni patung Loro Blonyo yang dibeli teman saya di Cirebon.
Berbekal keyakinan tersebut, saya menelepon Yoga, memintanya menemani saya membuang patung Loro Blonyo, di Kali Angke, di dekat perumahan Bintaro Jaya. Setelah itu saya merasa lega, berharap gangguan-gangguan spirit yang menghantui kami, terutama Kinanti, tidak akan terjadi lagi. Mudah-mudahan teman saya yang menghadiahi patung keramik Loro Blonyo tersebut tidak membaca tulisan ini, karena patung pemberiannya sudah saya larung di Kali Angke.
Teror di Ciater dan lukisan sepasang penari Bali yang lagi-lagi menghantui Kinanti
Untuk menghibur Kinanti agar melupakan pengalaman traumatis dihantui spirit-spirit “penghuni patung Loro Blonyo” saya mengajaknya berlibur ke kawasan wisata Ciater, yang terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Subang dan Bandung, Jawa Barat.
Kami juga mengajak Yoga, kakak Kinanti. Namun, Yoga memilih untuk menginap di rumah temannya di Bandung. Jadi hanya Kinanti dan saya yang akhirnya menginap di Ciater, di sebuah resort yang memiliki fasilitas pemandian air panas.
Semula Kinanti menikmati liburan ini. Ikut berendam di kolam pemandian air belerang yang dialirkan dari Gunung Tangkuban Perahu, dan menikmati sayur lodeh di restoran yang menyajikan masakan Sunda. Tapi malamnya, tiba-tiba Kinanti membangunkan saya.
“Pa, tolong dong jangan tidur. Temenin aku. Aku nggak bisa tidur,” katanya.
“Kenapa?” Tanya saya.
“Itu… yang manggil-manggil aku ada lagi. Mereka ikut ke sini.”
Awalnya saya tidak mendengar apa-apa, kecuali suara angin yang bertiup sangat kencang. Angin kemarau. Tapi di antara tiupan angin itu, sayup-sayup saya mendengar suara memanggil-manggil Kinanti.
“Tuh Pa. Papa denger, kan?”
“Iya.”
Aduh. Ternyata hantu itu tidak ikut larung bersama patung Loro Blonyo. Mereka malahan ikut ke Ciater.
“Pa,” kata Kinanti, “kayaknya hantu itu pindah-pindah.”
“Pindah-pindah gimana?’
“Waktu mereka tau Papa mau buang patung Loro Blonyo, sepertinya mereka buru-buru pindah ke lukisan penari Bali.”
“Kok kamu bisa tau?”
“Kemarin malam sebelum kita berangkat ke sini, aku sempet lihat penari Bali yang ada di lukisan itu bergerak-gerak kayak lagi menari beneran. Matanya juga jelalatan ke kiri dan ke kanan. Aku yang tadinya mau pipis ke kamar mandi, jadi balik lagi ke kamar. Takut ngeliatnya. Biasanya sih lukisan itu nggak kenapa-kenapa, sebelum papa buang patung Loro Blonyo,” tutur Kinanti.
Lukisan penari bali, lukisan kesayangan saya
Saya memang punya lukisan cat minyak yang menggambarkan sepasang penari Bali, dalam gaya realis, hasil karya seorang pelukis terkenal. Tidak. Saya tidak membelinya, karena harganya pasti mahal. Saya mendapatkannya langsung dari sang pelukis yang sudah menganggap saya sebagai adiknya sendiri, sebagai hadiah, ketika cat minyak di kanvas lukisan itu masih basah.
Tentu saja saya merasa sangat bangga dengan lukisan tersebut. Lukisan yang selalu saya pamerkan kepada teman-teman yang berkunjung ke rumah, seraya menjelaskan kepada mereka bahwa pelukisnya (yang terkenal itu) adalah kakak angkat saya. Lukisan itu saya pajang di dinding ruang keluarga. Oleh sebab itu, Kinanti akan selalu melihat lukisan itu ketika keluar dari kamar. Jadi wajar saja, jika dia sering memperhatikan lukisan tersebut.
“Pa.” Kinanti membuyarkan lamunan saya.
“Buang aja lukisannya,” kata Kinanti.
Hah? Buang? Saya sudah membuang patung Loro Blonyo kesukaan saya. Lalu sekarang saya harus membuang lukisan kebanggaan saya?
“Nggak usah dibuang,” ujar saya, “nanti lukisannya biar Papa kasih ke galeri teman Papa.
“Yaudah. Terserah Papa. Yang penting hantunya keluar dari rumah dan nggak ngikutin kita lagi.”
Singkat cerita, sekembalinya berlibur bersama Kinanti, saya menyempatkan diri membawa lukisan sepasang penari Bali itu ke galeri teman saya di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Saya menitipkan lukisan itu di sana. Saya juga menitip pesan supaya lukisan penari Bali itu jangan dijual, kecuali ada yang mau membelinya dengan harga tinggi.
Keseruan di masa depan
Sejak lukisan tersebut berpindah lokasi, gangguan-gangguan yang menghantui Kinanti dan si Mbak, tidak pernah terjadi lagi. Walaupun sampai saat ini, saya tetap tidak tahu persis, yang mana “tersangka hantu” yang sebenarnya. Patung keramik Loro Blonyo atau lukisan cat minyak sepasang penari Bali? Atau kedua-duanya?
Yang jelas, saya tidak berani lagi memelihara patung berbentuk manusia atau binatang, dan memajang lukisan yang menggambarkan bentuk manusia dan hewan. Apalagi setelah Anjali, anak bungsu saya, adiknya Kinanti, tegas-tegas melarang saya memiliki patung dan lukisan seperti itu, karena menurutnya, selalu ada entitas nakal yang berusaha menghuni benda-benda tersebut. Anjali, yang saat ini berusia 9 tahun, sejak balita memang sudah memperlihatkan bakat indigo.
Kayaknya bakal makin seru hidup saya….
BACA JUGA 3 Kontrakan Paling Horor di Jogja yang Pernah Saya Huni dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Billy Soemawisastra
Editor: Yamadipati Seno