Sekali Peristiwa di Makam Sunan Bende

Dua truk penuh karyawan pabrik kayu dimuntahkan di depan makam keramat lereng gunung Selamet. Sebuah sedan warna metal masuk pekarangan berbatu, keluarlah lelaki berdasi berperut buncit. Lelaki itu tak menoleh ke arah kerumunan karyawan yang sudah gelisah bermuka pucat.

“Mbah, seperti kesepakatan tiga hari lalu, sekarang seluruh karyawan saya bawa kemari, supaya bisa ditelusuri siapa pencuri perangkat mesin elektronik yang baru didatangkan dari Jerman itu,“ kata lelaki itu, manajer sekaligus pemilik pabrik kayu.

“Nanti kita ikuti saja ritual seperti biasanya, Mbah pantang menunjuk hidung si pencuri. Si pencuri akan mengembalikan barangnya sendiri atau si pencuri berani menanggung risiko. Jika Gusti Allah memberi petunjuk, barang yang hilang itu akan kembali,“ petuah Mbah Marino sambil menyedot rokok di ujung bibirnya.

Rombongan karyawan berkaus oranye itu memasuki lorong berhawa sejuk. Pohon beringin rindang memayungi makam bercat hijau dan di situ bersemayam Sunan Bende. Konon Sunan Bende termasuk penyebar agama Islam pertama menjelang keruntuhan agama Budha.

Mbah Marino membakar kemenyan di nisan berkelambu dalam ruangan remang. Hanya pintu yang ia buka, seketika para karyawan duduk bersila sambil menatap beberapa ornamen bunga dari kayu. Tampak beberapa relief berbentuk naga, kelabang, dan macan, dicat merah dan hijau. Sorot wajah-wajah binatang buas itu sudah menciptakan suasana hening yang seram.

Setelah ritual magis berlangsung, Mbah Marino memanggil karyawan satu persatu ke ruangan kosong di sebelah makam. Dengan grogi setiap karyawan menghadap Mbah Marino sambil berjalan memakai alas lutut.

“Kamu maju,“ perintah Mbah Marino.

“Demi Tuhan, saya tidak mencuri, Pak.“

Ia cukup salaman, lalu undur diri. Giliran karyawan lain maju dan mengaku berani punya penyakit beri-beri tujuh turunan jika ia mencuri. Disusul puluhan karyawan yang mengaku tak terlibat sindikat pencurian benda kesayangan bosnya itu.

Aroma kemenyan menyeruak masuk ruangan dan membuat para karyawan pucat pasi. Mereka ikut khawatir, jangan-jangan hakim alam di kuburan itu pun akan memberi hukuman bagi orang yang tak mencuri.

Pada nomor urut 71 maju seorang berpostur tinggi kurus. Jalannya gontai, tatapannya kosong.

“Mohon maaf, Pak. Saya sendiri yang membawa pulang benda elektronik milik bos. Tetapi saya mohon jangan diberi hukuman, karena saya mengaku terus terang hanya kepada Bapak.“

“Oh, ya,“ jawaban Mbah Marino, “tapi, apakah barangnya masih ada atau sudah dijual?“

“Masih saya simpan di rumah Pak,“ jawab si pencuri, “saya tidak dipenjara atau dihukum kan, Pak?“

“Begini, Dik. Kamu tidak akan kami jerat hukum adat di sini, tetapi saya harap barangnya segera dikembalikan ke tempat semula. Ingat, pastikan tak ada orang lain yang melihat. Mengerti?“

“Mengerti, Pak.“

Mbah Marino mulai mencatat dalam angan, mungkin bergembira karena si pencuri sudah mengaku sendiri—sebelum mendapatkan sanksi kutukan. Tetapi gesturenya tetap bersahaja, seolah tak terjadi apa-apa. Ia melanjutkan memanggil karyawan berikutnya. Seolah pencurinya belum tertangkap. Senja sudah mulai tua, karyawan dua truk sudah diperiksa secara bertahap.

Tak lama lagi dua truk meninggalkan padepokan. Yang tersisa tinggal pemilik perusahaan. Di sini Mbah Marino meyakinkan kepada pemilik perusahaan, jika memang barang mahal impor dari Jerman itu akan kembali. Syaratnya satu, pemilik perusahaan tak perlu menguji apalagi memaksa karyawan.

Pemilik perusahaan itu manggut-manggut, tanda mengerti bercampur bimbang, kemudian pulang.

Pada pagi hari sebelum banyak karyawan datang, si pencuri itu mengembalikan barang curiannya.

Sehari setelah benda mahal itu ditemukan kembali, pemilik perusahaan buru-buru mendatangi makam Sunan Bende. Kepada Mbah Marino ia ungkapkan terima maksih yang tak terhingga. Ketika ia hendak pamit, ia tinggalkan amplop putih cukup tebal berisi uang.

Mbah Marino menolak pemberian bonus itu, sambil berkali-kali meyakinkan, Gusti Allah telah mengembalikan lewat tangan-tangan lembut yang diturunkan ke bumi. Ketika pemilik perusahaan meninggalkan makam, amplop itu masih tergeletak di atas meja.

Dalam hati ia bergumam sendiri, ”Begitulah hukum alam bergerak menunjukkan kesaktiannya.“

***

Nama Dusun Duku, tempat makam Sunan Bende berada itu semakin tersohor. Setiap malam Jumat, orang dari berbagai kota hadir. Mereka tirakatan, berdoa malam dengan menebar harapan ke depan.

Pemilik pabrik itu merasa terkesan mendalam, betapa ada kekuatan gaib bisa mendatangkan benda yang sudah diyakini raib. Apalagi semua karyawan sudah dinyatakan tak mengambil, berarti ada tangan halus mengambil, kemudian setelah dilaporkan ke Sunan Bende, mendapat pencerahan luar biasa.

Pria pemilik pabrik itu mulai rajin ikut tirakatan di makam Sunan Bende. Pada malam Jumat Kliwon, ia berkenalan dengan seorang perempuan muda yang juga sama-sama mencari ikhtiar demi masa depannya yang suram.

Gadis bernama Panitri itu disunting pemilik pabrik dan mereka dikaruniai dua anak perempuan. Seluruh kerabat pemilik pabrik merasa bahagia. Karena Panitri tak hanya murah senyum, tapi juga baik kepada siapa saja.

Di balik kesempurnaan dan pujian dari keluarganya, pemilik pabrik itu menyimpan kecurigaan yang mendasar. Setiap Selasa malam, istrinya minta izin untuk menemui orang tuanya. Namun, berkali-kali pemilik pabrik mengecek keberadaan di rumah mertua, selalu tak ditemukannya. Sebenarnya ke mana perginya sang istri?

Mengingat hubungan pemilik pabrik dan Mbah Marino sudah akrab, maka ia bertanya, siapa sebenarnya istrinya yang ia dapatkan di tengah makam Sunan Bende itu? Mbah Marino tidak memberikan jawaban yang pasti. Ia hanya memberi isyarat, kadang di tengah kerumunan orang tirakatan di makam Sunan Bende, sering ada ruh halus menyusup dalam bentuk manusia.

Sejak mendapatkan penjelasan dari Mbah Marino itu, pemilik pabrik ingin membuktikan, apakah istrinya sungguh manusia? Dengan tekat yang bulat, ketika hari Selasa malam istrinya pamit hendak menginap di rumah mertua, sang suami mengizinkan, tapi diam-diam ia buntuti langkah istrinya.

Setelah istri keluar rumah menjelang pukul delapan malam, sang suami berpura-pura tiduran di dipan dekat dapur. Namun ia keluar lewat pintu belakang dan mengikuti arah istri pergi. Ia tak menyangka, ternyata istrinya keluar rumah berbelok arah ke samping rumah menuju jalan setapak ke kali.

Dari kejauhan tampak ada lampu redup di tengah kali disertai tetabuhan yang menggiring ke pesta kematian. Istri pemilik pabrik itu bergabung dengan kerumunan, semua orang di situ berpakaian serbaputih. Seperti ada semacam pesta ritual malam. Sekali-kali tampak istri pemilik pabrik itu menari-nari. Ia ikuti alunan musik berirama dansa.

Seorang lelaki tak berbaju mengelilingi kerumunan membawa panci berisi ulat-ulat putih. tanpa risih semua mencicipi makanan itu. Ketika pemilik pabrik sudah berada di tengah pesta, justru sang istri berkata, “Baguslah, akhirnya kamu tahu asal-usul saya.”

Exit mobile version