MOJOK.CO – Tepatnya Ramadan tahun ini, di Tangerang, satu minggu yang lalu, sore hari menjelang azan Maghrib berkumandang. Sebuah kejadian yang disebut sleep paralysis saya alami.
Waktu itu saya sedang berkunjung ke kos teman saya ketika Ramadan. Namanya Mita, kawan sejak duduk di bangku menengah pertama. Bisa dibilang, kami ini sangat dekat. Bestie.
Sejak dulu, kemai memang sedekat itu. Jajan, cerita-cerita hal sepele seperti ketika tangan saya kena setrika, sampai masalah percintaan yang kandas di tengah jalan. Tapi justru karena itu kami jadi sangat dekat. Kedekatan inilah yang pada akhirnya membawa saya dari Semarang ke Tangerang. Sebuah keputusan yang membawa saya untuk mengalami sleep paralysis untuk kali pertama sepanjang hidup saya.
Tangerang sebagai pelepas kesedihan
Mita sekarang sudah menjadi “budak korporat” yang tiap Senin sampai Jumat, terkadang Sabtu juga, ngapel ke kantor yang tidak jauh dari kosnya. Sedangkan saya, adalah “budak skripsi” yang hampir putus asa karena gagal wisuda Mei tahun lalu.
Dan, karena kesedihan itu, akhirnya saya putuskan untuk main ke tempat Mita. Yah, meski baru terwujud tahun ini ketika Ramadan. Lumayan bisa melepas penat, meski sambil puasa, dan lumayan menguras isi dompet. Tapi, seperti biasa, saya yakin kalau pertemuan saya dengan Mita tidak akan menjadi hal yang sia-sia.
Kenapa? Tentu saja karena saya bisa curhat habis-habisan di Tangerang yang belum saya kenal. Meskipun sempat mengalami pengalaman tak nyaman, sleep paralysis, saya pikir ini perjalanan yang bermakna.
Perjalanan di kala Ramadan
Nah ceritanya, saya berangkat dari Stasiun Poncol di Semarang pagi sekali. Selepas sore, saya sudah sampai Stasiun Pasar Senen. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan dengan KRL ke Duri, lalu Tangerang. Stasiun cukup padat di waktu-waktu Ramadan seperti ini.
Tidak ada firasat buruk yang menghantui saya, apalagi bayangan akan sleep paralysis yang cukup aneh. Malah saya cukup senang bisa keluar dari kamar kos setelah sekian lama berkutat dengan revisi dan hasil pengamatan sebelum Ramadan.
Sepanjang perjalanan saya habiskan dengan tidur. Sesekali mengabari Mita sudah sampai mana. Rasanya sangat menenangkan, sampai Mita tidak lagi membalas WhatsApp saya. Di sini, saya mulai panik. Maklum, bawaan saya begitu.
Saya memang gampang panik. Apalagi kalau sudah berada di keramaian dan tempat asing. Hampir setengah jam saya berdiri di depan stasiun KRL menunggu Mita menjemput. Namun, puluhan pesan yang saya kirim tidak kunjung berubah dari abu-abu menjadi centang biru. Saya juga sudah mencoba untuk menelepon, tapi nihil, tidak diangkat juga dan hanya berdering. Maka, saya buka puasa Ramadan di stasiun jadinya.
Pukul sembilan malam, akhirnya saya mendapat panggilan telepon dari Mita. Dia meminta maaf karena malah ketiduran. Yah, saya hanya bisa memahami kejadian ini mengingat dia pasti kelelahan setelah bekerja. Jadi, saya hanya bisa menunggu. Mulai detik ini, perasaan yang lumayan tidak mengenakan datang tiba-tiba. Tanpa tahu apa alasannya.
“Kita makan dulu, yuk!” Kata Mita sedetik setelah menghentikan motornya di depan saya.
Saya mengangguk saja sambil menerima tangannya yang mengulurkan sebuah helm berwarna hitam. Sejurus kemudian, saya langsung menaiki jok motornya dan kami mulai menjauhi Stasiun Tangerang. Perasaan aneh itu terasa sangat mengganjal. Seakan-akan mengingatkan saya untuk jauh-jauh dari stasiun. Mungkin ini pertanda sleep paralysis aneh yang saya alami. Saya tidak tahu.
Rasa tidak nyaman sebelum mengalami sleep paralysis
Kami berjalan mencari tempat makan yang lumayan sepi. Maklum, selama Ramadan, tempat makan pasti selalu ramai bahkan selepas waktu buka puasa. Pada akhirnya, pilihan kami jatuh pada sebuah warung bakso yang kata Mita rasanya cukup enak.
“Ini warung bakso langgananku di Tangerang,” kata Mita. Lagi, saya masih tidak merespons dan hanya mengangguk. Rasanya ada yang menekan dada saya.
Serius, perasaan saya waktu itu makin campur aduk saja antara capek dan kelaparan karena baru membatalkan puasa Ramadan dengan air mineral dan roti sisa perjalanan. Perasaan aneh itu sulit saya deskripsikan. Mita yang melihat gerak-gerik aneh saya sepertinya sudah cukup hafal. Dia juga tidak banyak bicara dan kami makan dalam diam.
Setelah menghabiskan bakso, kami langsung pulang. Lokasi warung bakso dan kos Mita tidak jauh, hanya 300 meter saja. Karena itu, sesampainya di kos Mita, saya baru menceritakan tentang perasaan saya yang tiba-tiba tidak enak itu. Dan ternyata, Mita juga merasakan hal yang sama setelah meninggalkan Stasiun Tangerang.
“Ya sudah, semoga nggak ada apa-apa, deh ya. Aku mandi dulu.”
Saya bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Biasanya, kalau perasaan saya mulai tidak enak begitu pasti akan ada sesuatu yang buruk terjadi. Dan biasanya juga, hal buruk itu kebanyakan sering berkaitan dengan hal-hal mistis. Sleep paralysis salah satunya.
Kondisi aneh di dalam diri saya
Sejak kecil saya memang sensitif. Baik terhadap perasaan orang maupun kondisi janggal yang tidak seharusnya terjadi. Oleh sebab itu, saya sering merasa tidak nyaman karena kehadiran mereka.
Meskipun sudah lama mengalami kondisi ini, saya tidak kunjung bisa beradaptasi. Saya sendiri sebelumnya malah belum pernah mengalami sleep paralysis yang akan saya alami di Tangerang ini. Di bulan Ramadan pula.
Lantaran saya tidak mau menanggapi, terkadang “mereka” jadi agak usil. Mereka jadi “berusaha” membuat saya ketakutan. Misalnya membuka pintu, memukul meja, mengetuk jendela, seperti yang pernah saya alami di kos lama saya di Semarang.
Nah, saya pikir kondisinya akan berbeda lantaran sekarang sedang masa-masa Ramadan. Katanya, pada masa ini, setan dikurung. Harusnya sih tidak mungkin saya diganggu ketika berada di Tangerang. Jadilah saya tidak terlalu ambil pusing soal kejadian yang setelah ini akan saya ceritakan.
Selain kejadiannya masing terang, saya juga tidak mampu membuktikan bahwa apa yang saya lihat dan dengar adalah sesuatu yang nyata. Meski, jujur ya, saya tetap takut juga. Soalnya bukan seperti halusinasi biasa!
Sendiri di kos Mita
Seperti biasa, hari itu Mita pergi ke kantor dan saya ditinggal sendirian. Dari pagi sampai siang yang saya lakukan cuma tiduran di kasur, scroll Instagram, menonton YouTube, dan melamun memikirkan apa yang akan saya lakukan setelah lulus nanti, mau kerja di mana, dan bagaimana.
Perasaan nggak enak setelah meninggalkan Stasiun Tangerang itu muncul lagi. Kali ini, disusul kantuk yang luar biasa hebatnya. Waktu itu saya berpikir mungkin karena efek puasa Ramadan. Siang hari memang saat yang pas untuk terlelap. Dan benar saja, saya ketiduran. Tepat pada waktu itu, saya mengalami sleep paralysis.
Entah untuk berapa waktu saya hilang dari panasnya dunia. Yang jelas, tiba-tiba saja saya terbangun karena mendengar suara berisik dari arah dapur.
Jadi, kos Mita ini ada tiga sekat. Sekat pertama di bagian depan untuk menerima tamu, sekat kedua untuk kamar, dan ketiga untuk dapur serta kamar mandi. Anehnya, suara berisik itu adalah suara laki-laki yang jelas tidak mungkin masuk ke kamar kos ini. Saya yakin pintu sudah saya kunci. Lantas, dia masuk dari mana? Rampok di kala Ramadan? Aduh!
Mencoba untuk bangun
Tidak mau berpikir keras, saya mencoba untuk bangun. Tapi tidak bisa! Untuk bernapas saja saya kesulitan, apalagi mengangkat badan yang sudah lemas ini. Manik mata saya bergerak ke sana dan ke sini. Suara laki-laki yang saya dengar dari arah dapur semakin membuat saya was-was. Pikiran waras saya sudah hilang dan sleep paralysis tidak pernah terlintas dalam benak saya.
Saya takut mereka melakukan hal buruk pada saya. Lalu, di tengah rasa takut itu, saya semakin dibuat panik karena kasur yang saya pakai tiba-tiba bergerak. Heboh. Seperti digoyangkan dengan tenaga yang super kuat hingga saya terombang-ambing.
Lalu, dengan sisa keberanian yang saya punya, saya paksakan melihat ke arah kaki. Dan betapa kagetnya saya, saya melihat ada seorang anak laki-laki berkulit pucat dan lingkaran mata yang menghitam sedang menggoyang kasur saya! Saat itu pula saya merasakan kasur saya sedikit terangkat dari lantai.
Sleep paralysis pertanda apa?
Saya menelan ludah dan berdoa sebisa mungkin. Refleks, saya segera membaca surah-surah pendek seperti Al-Ikhlas, An-Nas, dan Al-Falaq dalam hati. Alhamdulillah, suara laki-laki serta goncangan pada kasur saya segera berhenti. Saya bisa kembali bernapas dan menggerakkan badan yang seperti tidak bertenaga. Buru-buru setelah itu, saya segera menjalankan salat Ashar dan menelpon Mita agar segera pulang.
Pukul setengah lima sore, Mita sampai di kos dan saya langsung menceritakan apa yang saya alami barusan.
“Iya. Kata ibu, kalau kayak gitu namanya tindihan, Mit,” ucap saya setelah menjelaskan apa yang telah terjadi.
Tapi Mita segera menggeleng. “Sleep paralysis itu namanya. Lagian, mana ada setan di bulan Ramadan gini?”
Iya, benar sih. Tindihan dalam istilah medis disebut sleep paralysis. Terkadang orang-orang yang mengalami kondisi itu juga dapat menyentuh, melihat, atau mendengar hal-hal yang sebenarnya tidak pernah ada.
Tapi, pengalaman sleep paralysis yang baru saya alami di bulan Ramadan ini berbeda dengan yang pernah saya alami sebelumnya.
Biasanya, saat mengalami sleep paralysis saya akan kesulitan bernapas dan bergerak, namun dengan kondisi mata terbuka dan sepenuhnya sadar. Saya tidak pernah melihat hal-hal aneh sebelumnya. Misalnya kehadiran anak kecil itu.
Anak kecil yang sama
Saya bergumam sendiri mendengar penjelasan Mita. “Iya, ya. Secara medis memang namanya sleep paralysis. Tapi tetep saja bikin takut! Orang wajah anak kecilnya serem banget.”
Mendengar saya mengucapkan itu, kening Mita mengerut tipis. “Bentar. Kayak apa wajah anak kecilnya?”
Saya menjelaskan dengan lebih detail tentang wajah anak kecil itu. Mulai dari tubuhnya yang kurus kering, kulitnya pucat, bola matanya hampir semua berwarna hitam, bibirnya yang terlihat pecah-pecah, dan wajah datar tanpa ekspresi.
Mita langsung menelan ludah dan terdiam. Dia terlihat bingung. Antara mau bicara sesuatu, tapi merasa berbahaya kalau dibicarakan. Setelah saya agak memaksa, Mita mau bicara juga.
Katanya, “Kok bisa, ya? Ciri-ciri anak itu sama persis seperti anak kecil yang pernah aku lihat di rumah om. Waktu itu aku juga tindihan.”
“Rumah om kamu yang angker itu?”
“Mirip!” Mita tidak menjawab pertanyaan saya. “Kenapa bisa mirip sekali?!”
Sekarang Mita malah bergumam sendiri. Saya bisa menangkap beberapa kata seperti “nggak mungkin” atau “mirip banget”. Saya yang bingung jadi terdiam.
Beberapa menit habis dalam diam. Hingga kemudian azan Magrib berkumandang tanda buka puasa Ramadan sudah tiba. Tanpa suara kami berdua siap-siap untuk keluar kos untuk berbuka puasa. Pikiran kami seperti sama, yaitu memikirkan anak kecil yang sama.
Apakah kami bisa tidur nanti malam?
Penulis: Vanessa Farera Khizky Kuswanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sumur Tua di Belakang Rumah yang memikat Orang untuk Bunuh Diri dan kisah misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.