Pocong Melayang, Ritual Menyembah Setan, dan Harga Mahal yang Harus Dibayar

Pocong Melayang, Ritual Menyembah Setan, dan Harga Mahal yang Harus Dibayar MOJOK.CO

Pocong Melayang, Ritual Menyembah Setan, dan Harga Mahal yang Harus Dibayar MOJOK.CO

MOJOK.COAnak kecil yang masih polos itu melihat pocong melayang. Sebuah kejadian yang menguatkan rumor pesugihan keluarga teman kecil saya.

Belasan tahun yang lalu, saya punya satu teman yang pintarnya luar biasa. Kebetulan, kami bersekolah di tempat yang sama, baik ketika masih SMP, SMA, hingga kuliah. Sayangnya, teman saya ini menjadi tumbal dari pesugihan pocong yang dilakukan bapaknya. Semuanya demi kehidupan yang lebih baik.

Namanya Enggar (bukan nama sebenarnya). Kami sebaya. Postur tubuhnya tinggi, agak gempal tapi bukan gemuk. Kulitnya sawo matang, lumayan tampan, dan suka main basket. Kami masuk SMA yang sama. SMA di Jogja di mana muridnya batangan semua. Nggak ada cewek di sini. Suram.

Ketika SMA, di mulai memanjangkan rambut. Namun bukan jenis yang awur-awuran, tapi agak panjang, tapi pantas. Sementara rambut saya gimbal dan pernah ditangkap tentara gara-gara rambut gimbal ini. Soal ditangkap tentara saya ceritakan di lain waktu saja.

Enggar terkenal sebagai anak yang pandai. Dia lulus SMA dengan lancar. Sementara saya sempat nggak naik kelas gara-gara ditangkap tentara itu tadi. Jadi, saya dan Enggar sempat hampir satu tahun tidak ketemu lagi. Kami ketemu lagi ketika saya masuk kuliah di kampus swasta, tidak begitu jauh dari SMA kami. Dan di situ, sebuah perubahan sudah saya rasakan.

Enggar memang bukan anak yang “ramai” ketika ngumpul sama teman-teman. Namun, hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, Enggar bisa sangat berubah. Dia semkin pendiam. Seperti menghindari teman-teman, bahkan menghindari saya, temannya sejak SMP.

Dari teman di kampus saya mendapat cerita bahwa Enggar mulai sering tidak masuk kuliah. Ketika masuk kuliah, pandangannya kosong dan nilai-nilainya mulai ambruk. Hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, dia berubah menjadi salah satu mahasiswa dengan nilai rendah. Saat itu, saya belum tahu, di dalam tubuh Enggar, bersemayam pocong pesugihan yang ditanam bapaknya sendiri….

Rumor pocong dan polosnya anak kecil

Enggar tinggal bersama kakak perempuan dan kedua orangnya. Keluarga mereka cukup terpandang di kampung. Bapaknya Enggar cukup aktif di segala aktivitas warga. Sebagai mata pencaharian, kedua orang tua Enggar membuka warung di depan rumahnya. Warung makan dan minuman yang sempat cukup melegenda di Jogja.

Dulu, ketika masih SMP dan awal-awal SMA, warung makan keluarga Enggar sudah punya pelanggan. Namun, tidak bisa juga dikatakan ramai. Sedang saja.

Namun, saya sendiri baru menyadarinya ketika sudah kuliah, ketika warung makan keluarga Enggar menjadi sangat ramai. Dari yang semula tidak ada meja untuk makan di tempat, kini usahanya sudah sangat berkembang. Sudah ada deretan meja makan di bagian ruang tamu yang dibobol dan dijadikan tempat makan. Halaman milik tetangga bahkan disewa untuk tempat parkir mobil.

Perkembangan pesat rumah makan milik keluarga Enggar itu melahirkan sebuah rumor. Yah, mau bagaimana, perkembangannya sudah agak di luar nalar. Terlalu signifikan. Salah satunya rumor yang beredar adalah soal pesugihan. Lagi-lagi, saat itu masih sebatas rumor. Hingga suatu saat, seorang anak kecil menangis histeris ketika jajan di rumah makan itu.

Anak kecil itu menangis, bahkan sampai histeris karena takut. Ibunya susah payah untuk menenangkan anaknya. Anak kecil yang masih polos itu terus-terusan menunjuk ke atas, sebelah pojok, tempat tiang dari galvalum berdiri untuk menopang atap yang baru dibangun. Di sana, menurut penuturan anak kecil itu, ada pocong sedang melayang.

Maka gempar itu warung. Banyak pembeli yang tiba-tiba ragu, lalu membatalkan pesanannya. Herannya, meski cerita soal pocong itu sudah tersebar, warung makan Enggar tetap ramai di hari berikutnya. Padahal, beberapa orang yang jajan lagi adalah orang yang sama, yang sebelumnya ketakutan dan memilih pulang.

Namun, di tengah kampung, rumor soal pesugihan itu sudah kadung kuat terdengar. Warga tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti. Yang melihat pesugihan pocong itu cuma anak kecil, yang meskipun polos dan jujur, tetap saja dia “cuma anak kecil”, yang mana pendapatnya sering tidak mau didengar orang tua.

Ritual menyembah setan

Waktu berlalu. Rumor soal pesugihan pocong masih sayup-sayup tedengar. Namun, tidak ada lagi yang menjadikannya topik hangat pergunjingan di pos ronda. Semuanya seperti lupa, sampai sebuah kejadian aneh ketahuan oleh seorang warga.

Suatu kali, di dekat rumah Enggar, ada sebuah hajatan persiapan pernikahan. Salah satu kebiasaan warga kampung adalah masak bersama. Dalam bahasa Jawa disebut rewang. Untuk memasak banyak menu, ibu-ibu kampung sudah berkumpul sejak subuh belum datang.

Salah satu yang “ketiban pulung” adalah Bu Miyuk, tetangga Enggar. Rumah mereka berdempetan, berbagi tembok, dan ada satu pintu tembus. Saat itu sekitar pukul 04.00, Bu Miyuk sudah bangun dan menyiapkan beberapa alat dapur untuk dibawa ketika rewang. Kebetulan, air pam di rumahnya mati.

Untuk keperluan mandi, Bu Miyuk hendak menimba air di rumah Enggar. Karena sudah lama bertetangga, Bu Miyuk dengan masih agak mengantuk, menenteng ember melewati pintu tembus menuju sumurnya Enggar. Dan pagi itu menjadi pagi yang tak akan pernah dilupakan Bu Miyuk.

Ketika sudah beberapa langkah sampai di sumur, langkah Bu Miyuk terhenti. Dia melihat bapaknya Enggar sedang merangkak mengitari sumur. Bu Miyuk yang mematung karena kaget hanya bisa mengamati tingkah bapaknya Enggar. Tiga kali dia menghitung bapaknya Enggak mengitari sumur sambil merangkak. Tanpa sehelai benang menembel di badan bapaknya Enggar.

Pagi itu, bapaknya Enggar mengitari sumur sebanyak lima kali, telanjang, dan memejamkan mata. Oleh sebab itu, dia tidak menyadari Bu Miyuk berdiri tak jauh dari dirinya.

Entah bagaimana, Bu Miyuk yang sudah hampir menegur bapaknya Enggar malah mengurungkan niatnya. Dia teringat dengan rumor soal pesugihan pocong yang dilakukan keluarga Enggar. Oleh sebab itu, Bu Miyuk memilih melangkah mundur, balik kanan, dan segera masuk kamar untuk membangunkan suaminya.

Kepada suaminya, Bu Miyuk menceritakan pemandangan janggal yang baru saja dia alami. Suami Bu Miyuk namanya Pak Rahmat. Salah satu orang paling berani di kampung, tidak bisa dan tidak berani untuk menengok ke sumur. Dia meminta istrinya untuk diam dan jangan cerita ke orang lain.

Namun, yah, rasa penasaran yang terlalu besar dari Bu Miyuk sudah kadung mendominasi. Ketika rewang, sambil mengupas bawang putih, Bu Miyuk menceritakan kejanggalan bapaknya Enggar ke ibu-ibu yang lain. semuanya mendengar dengan mimik percaya tak percaya. Semuanya teringat rumor pesugihan pocong.

Salah satu yang ikut mendengar cerita Bu Miyuk adalah Lik Par, tetua kampung yang dipasrahi “kelancaran acara” oleh yang punya hajat. Lik Par mewanti-wanti ibu-ibu itu untuk hati-hati. Jangan sembarangan cerita ke orang lain karena bisa jadi yang dilakukan bapaknya Enggar adalah semacam ritual menyembah setan. Kalau salah tindakan, tulah dari ritual itu bisa melukai orang lain.

Lik Par sendiri, suatu kali, pernah mengakui bahwa yang dilakukan bapaknya Enggar memang ritual menyembah setan. Laku mengelilingi sumur itu menjadi salah satu syarat. Selain ritual, syarat yang lain adalah tumbal.

Enggar yang tak lagi sama

Tumbal yang dimaksud Lik Par, tidak lain adalah Enggar. Ketika hajatan itu digelar, saya sudah semester empat. Jadi, sudah dua tahun sejak perubahan sikap Enggar. Bahkan, di tahun kedua, Enggar sudah tidak lagi berangkat kuliah. Hampir semua dosen bertanya ke saya, temannya sejak SMP. Namun, saya sendiri kesulitan menjelaskan.

Di tahun kedua perkuliahan itu pula, Enggar sudah semakin jarang keluar rumah. Dari Mbak Yahya, seorang pegawai di rumah makan itu, tersiar kabar bahwa Enggar dikurung di dalam kamar yang selalu gelap. Di dalam kamar itu, sering terdengar tangisan, kadang geraman. Mbah Yahya sendiri sering mendapat jatah mengantar makanan yang diletakkan di depan kamar Enggar.

Suatu malam, selepas menutup warung dan bersih-bersih, Mbak Yahya melihat Enggar dipapah bapak dan ibunya menuju sumur. Di sana, Enggar dimandikan. Enggar, yang sudah dewasa, dimandikan oleh kedua orang tuanya. Bapak dan ibunya tertawa-tawa dan terlihat bahagia seperti sedang memandikan bayi.

Malam itu, Mbak Yahya juga melihat perubahan fisik Enggar. Dia masih gempal, tapi kulitnya semakin gelap padahal selalu di dalam kamar. Di bagian punggung tumbuh bulu-bulu seperti kera. Tangannya besar sebelah. Tangan kirinya selalu memegang selembar kain berwarna merah dengan rajah yang tidak dikenali Mbak Yahya.

Pernah suati kali bapaknya Enggar ditanya kok anak laki-lakinya tak pernah keluar rumah. Bapaknya Enggar bercerita kalau anaknya stres karena kuliah yang katanya sulit. Stres itu yang membuat Enggar kini jadi “suwung” atau dalam bahasa Indonesia bisa berarti ‘bodoh’ atau ‘aneh’.

Cerita yang sangat janggal mengingat Enggar adalah anak pandai sejak SMP. Bahkan dibandingkan saya, yang urakan, sempat gimbal, lebih suka naik gunung ketimbang kuliah, masih bisa lulus dan nggak pernah stres. Untuk Enggar, seharusnya kuliah itu piece of cake. Gampang banget.

Tentu saja banyak yang tak percaya dengan cerita bapaknya Enggar. Semua kembali teringat dengan pesugihan pocong dan Enggar jadi tumbalnya. Dia kehilangan kewarasan karena daya hidupnya diisap oleh pocong melayang itu. Lik Par tidak membantah dugaan itu.

Kembali waktu berlalu. Rumor soal pesugihan pocong itu kembali reda. Bahkan sudah hampir dilupakan oleh warga ketika sebuah gempa besar melanda Jogja.

Tembok pembatas antara rumah Enggar dan Bu Miyuk rubuh. Warga bekerja bakti untuk memperbaikinya. Sisa tembok bata itu harus diratakan dulu sebelum bisa dibangun kembali karena sudah retak di sana-sini.

Ketika salah satu warga mencoba mencukil bata yang terpendam di dalam tanah, linggis yang dipakai membentur sebuah kotak kayu kecil.

Beberapa warga tidak berani memungut kotak itu hingga Lik Par datang dan membukanya. Kotak kecil itu betisi tumpukan rambut perempuan. Rambut yang dikucir lalu dipotong dibagian pangkal kucir. Ada lima potong rambut terkucir dalam kotak.

“Rambut siapa?” Tanya salah satu warga.

Lik Par terdiam sesaat sebelum dia berkata, ”Kalian kayaknya lupa kalau Enggar punya kakak perempuan.”

Seketika semuanya terdiam. Sekaligus semua sadar bahwa selama ini yang mereka bahas hanya soal pesugihan, pocong, dan ritual. Tidak ada yang ingat dengan kakak perempuan Enggar, yang sudah lama tidak kelihatan selama bertahun-tahun.

Tidak ada yang menyadari hilangnya kakak perempuan Enggar. Hingga kini. Pertanyaan itu terus disimpan di dalam hati.

Ke mana perginya kakak perempuan Enggar?

Pesugihan apa saja yang disembah keluarga Enggar?

Segala pertanyaan itu tersimpan dengan rapi di bawah rasa takut yang lebih dominan. Hingga saat ini….

BACA JUGA Cara Kerja Babi Ngepet dan Pesugihan di Sekitar Kita sejak Zaman Belanda dan kisah yang menyentak lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version