MOJOK.CO – Baru saja aku mengerem motor ojek online yang kukendarai, spionku tidak lagi menunjukkan bayangan siapapun. Mbak Sarah sudah menghilang. Loh, loh, ke mana Mbak Sarah???
Sebagai driver ojek online, aku sudah bertemu dengan banyak penumpang berbagai karakter. Ada yang suka bercerita dan bertanya, ada pula yang lebih memilih diam dan bilang, “Terima kasih” saat tiba di tempat tujuan. Lokasi pengantaran pun beraneka rupa, mulai dari gedung perkantoran yang ramai, mal yang glamor, hingga rumah-rumah kecil di perbatasan antarkampung.
Selama ini pula aku sudah berbagi cerita dengan sesama driver ojek online lainnya. Cerita-cerita mereka, mulai dari yang lucu hingga horor sekalipun, sudah aku lahap sampai kenyang. Kadang-kadang mereka bersemangat sekali berkisah soal order-an misterius yang masuk di hape. Umumnya, mereka mendapat pesanan membeli makan dari aplikasi, tapi waktu diantar ke alamat pengiriman, ternyata rumahnya kosong atau bahkan tak bisa ditemukan. Horor, sih, tapi itu kan bisa saja kerjaan orang iseng. Ya, kan?
Maka dari itu, aku tak terlalu takut hal serupa terjadi padaku. Mimpi saja tidak!
Malam itu, pukul 7 malam, jalanan Surabaya masih ramai dan padat. Sebuah pesanan ojek online masuk ke hapeku dengan mendadak—minta dijemput di sebuah rumah sakit yang lokasinya tepat di sebelah mal besar di tengah kota. Daerah sekitar rumah sakit tentu saja ramai—bangunannya ada di tepi jalan raya.
Berangkatlah aku dengan segera. Si pemesan ini bernama Sarah, menunggu tepat di depan rumah sakit, pinggir jalan raya. Begitu melihatnya, aku langsung menyapanya. Sebagai driver, aku ingin penumpangku merasa nyaman. Itulah kenapa, aku sedikit menundukkan pandanganku dan tak berniat mengajaknya mengobrol banyak-banyak atau bersikap sok akrab.
Mbak Sarah ini sekilas tampak cantik. Rambut hitamnya panjang melebihi bahu, lurus. Aku tidak ingat bagaimana rupanya karena memang tak terlalu memandang wajahnya—takut dia merasa risih. Motorku adalah motor laki-laki yang joknya sedikit meninggi di bagian belakang. Aku takut Mbak Sarah merasa tak nyaman, jadi kutanya secara singkat, “Maaf, Mbak, apakah Mbak nyaman dengan motor begini?”
Mbak Sarah mengangguk.
Lalu naiklah ia ke atas motorku. Sebelum menarik gas, aku bertanya lagi, “Lokasinya sudah sesuai aplikasi, ya, Mbak?”
Dari kaca spion, aku melihat ia mengangguk.
Kami berjalan menembus macetnya Surabaya saat itu. Berkali-kali kulihat rambut Mbak Sarah bergerak tertiup angin, tapi tak sekalipun aku mencoba mengajaknya mengobrol kembali.
Berdasarkan alamat yang ditunjukkan hape, jalanan rumah Mbak Sarah cukup berliku, bahkan masuk-masuk ke banyak gang kecil. Dari rumah sakit tadi, jarak yang kami tempuh mungkin lebih dari setengah jam—empat puluh lima menit kalau kau menghitung waktu macetnya. Mbak Sarah masih diam saja di belakangku. Agaknya, ia tipe penumpang yang memercayakan penuh kemampuan driver-nya untuk membaca Maps tanpa perlu ia pandu lagi dan lagi.
Sampailah kami ke sebuah gang. Rumahnya ada di perumahan, dengan gang yang sedikit gelap karena ada lampu jalan yang mati. Maps di hapeku menunjukkan lokasi pengantaran berada di ujung gang—rumah bercat kuning pudar.
Baru saja aku mengerem motorku, spionku tidak lagi menunjukkan bayangan siapapun. Aku menoleh. Mbak Sarah sudah menghilang. Loh, loh, ke mana Mbak Sarah???
Aku turun dari sepeda motor, melongok-longok ke dalam rumah. Apakah tadi ia sudah turun terlalu cepat sampai-sampai aku tidak menyadarinya? Tapi, kenapa aku tidak sadar, padahal kalau penumpang di motorku turun kan seharusnya aku tahu???
“Mbak Sarah? Mbak Sarah?” Aku mencoba memanggil-manggil ke dalam rumah. Rasa penasaran mendorongku untuk maju mendekati pintu rumah.
Agak lama, akhirnya seorang pria keluar dari rumah sebelah. Aku dipanggil dengan segera. Katanya, “Hey, Mas, Mas, ngapain di situ?”
“Ini, Pak,” sahutku, “tadi saya habis mengantar orang ke rumah ini, tapi kok orangnya malah tahu-tahu udah turun, ya. Saya lagi nungguin mbaknya ini.”
“Loh, Mas,” si Bapak tampak agak ketakutan, “Ini kan rumahnya udah kosong, Mas. Udah kosong lama, sejak tiga tahun yang lalu.”
Ada hening panjang di antara kami berdua. Tiba-tiba, aku merasakan merinding yang luar biasa, sampai-sampai aku memilih untuk pamit pada si Bapak dan kembali ke motor untuk pergi kembali mencari order-an yang lain.
Tapi sial, batinku, si Mbak Sarah yang mungkin saja hantu itu kok, ya, belum bayar! Rugi aku! (A/K)