MOJOK.CO – Usaha es buah Bu Silah melesat dengan kecepatan yang janggal. Gosip pesugihan anjing lantas santer terdengar di desa saya.
Awalnya hanya sebuah kios kecil di depan rumah. Kecil sekali, dengan satu blender yang baru mereka beli. Keluarga itu memulai usaha es buah dengan modal seadanya. Konon, mereka harus menggadai BPKB motor sebagai modalnya. Beberapa bulan kemudian, mereka mencapai keberhasilan yang agak janggal. Ketika geraman anjing mulai sering terdengar di sekitar rumah.
Keluarga itu sudah menempati rumah kontrakan di dekat gapura desa sejak lama. Bahkan mereka termasuk salah satu pendatang yang masuk kali pertama ke desa saya. Kalau tidak salah ingat, mereka masuk ke desa saya pada awal 1998. Ketika reformasi di Indonesia mulai menyala. Kalau tidak salah, keluarga itu berasal Klaten. Namun, sebenarnya, kami tidak ada yang benar-benar tahu.
Sebagai salah satu pendatang awal di desa saya, keluarga mereka sudah dianggap sebagai “warga senior”. Dua anak mereka, Angga dan Nina, menjadi dekat dengan saya. Maklum, kami seumuran. Kedua anak ini, terutama Angga, membantu bapaknya yang sejak dulu menjadi buruh tani.
Nah, sang ibu, Bu Silah, adalah ibu rumah tangga biasa. Untuk membantu keuangan keluarga, Bu Silah dibantu Nina menjalankan usaha es buah di depan kontrakan. Awalnya, es buah tersebut tidak bisa dibilang ramai. Maklum, orang desa tidak terlalu menggemari es buah. Kalau jualan teh poci gula batu dan gorengan mungkin malah sukses.
Kondisi keuangan dan seekor anjing yang lucu
Mereka berada di bawah garis kemiskinan. Setidaknya di atas kertas catatan dari kecamatan yang berisi daftar keluarga penerima bantuan. Meski serba pas-pasan, keluarga itu memelihara seekor anjing berwarna hitam. Mereka tidak memberinya nama. Namun, yang pasti, ia anjing yang lucu dengan mata berwarna putih kehijau-hijauan.
Kami, di desa, memanggilnya: “Njing”. Sebuah panggilan yang bisa kamu artikan sebagai makian. Makanya, kami malah menyukainya.
Mengharapkan penghasilan sebagai buruh tani untuk mengangkat keluarga dari garis kemiskinan tentu agak naif. Usaha es buah pun hanya sebatas penyambung agar hari ini bisa membeli tabung gas 3 kiloan dan bayar listrik. Kondisi itu yang memaksa Angga tak lanjut ke bangku kuliah. Nina, tamatan SMP yang untungnya, menjadi anak yang rajin dan sangat menurut kepada ibunya.
Sebenarnya, kondisi keluarga es buah itu nggak jauh berbeda dengan kondisi warga di desa saya. Banyak yang masih di bawah garis kemiskinan dan menganggap BLT yang nggak seberapa itu sebagai berkah dari langit. Sebuah kondisi yang membuat saya sangat bersyukur. Bapak saya masih sanggup mengantar saya ke bangku kuliah dan kini bekerja dengan lingkungan yang jauh dari kata “beracun”.
Oya, si “Njing” anjing tadi hidup dalam nuansa yang sebetulnya menyenangkan. Ia makan sisa-sisa nasi yang “diulet” dengan remukan telur rebus. Keluarga itu memeluk agama Islam. Namun, mereka sayang ke si “Njing” anjing tadi. Pada awalnya itu pemandangan yang janggal. Tapi, lambat laun, kami terbiasa juga.
Perubahan drastis di kios es buah dan menghilangnya si anjing
Kalau tidak saya mencatat, kios es buah Bu Silah hanya ramai di dua minggu awal. Setelah itu, sepi. Suara blender untuk “memasak” minuman sasetan juga sudah jarang terdengar. Mungkin, anak-anak di desa terlalu patuh kepada larangan untuk nggak jajan sembarangan yang pernah tenar dengan sebutan, “Es terooos….”
Dua bulan setelah membuka kios es buah, Bu Silah sudah mulai jarang terlihat di kiosnya. Hanya Nina yang setia menunggu sambil memandang hamparan sawah hijau yang digarap bapaknya. Mungkin, dia sedang membayangkan sawah subur itu milik bapaknya. Kelak, ketika panen, dia bisa membeli ponsel seperti kawan-kawan sepermainannya.
Masuk bulan ketiga, secara tiba-tiba, suara blender rutin terdengar, dari pagi sampai petang. Sementara itu, kios es buah Bu Silah tak pernah sepi. Bahkan deretan motor yang parkir kini tertata rapi. Seakan-akan ada tukang parkir yang merapikan kendaraan para pelanggan.
Bagaimana bisa, tidak sampai satu bulan kemudian, kios menyedihkan itu menjadi ramai? Tepat pada saat itu juga, si “Njing” anjing menghilang. Nina sedih sekali ketika menceritakan kejadian itu kepada saya. Angga, bersikap biasa saja. Dia memprediksi si “Njing” anjing pergi ke desa sebelah demi mendapatkan makanan yang lebih layak untuk anjing seusianya.
Suara anjing menggeram di dekat kios es buah
Selepas kios es buah menjadi sangat ramai, Bu Silah masih jarang terlihat berada di kiosnya. Makanya, Angga, yang awalnya membantu sang bapak, kini mendampingi Nina di kios. Oya, kios kecil itu kini sudah lebih besar. Bahkan, si bapak menggabungkan dua kios menjadi satu untuk memberi tempat yang lebih luas kepada buah-buah yang menjadi bahan jualan.
Bu Silah sendiri hanya sesekali terlihat menengok kiosnya. Biasanya, dia terlihat di ujung sore menjelang petang. Kadang, dia hanya keluar ketika matahari sudah benar-benar tenggelam. Dia membantu Nina membersihkan sampah sisa-sisa jualan yang kini semakin menumpuk.
Malam harinya, keluarga itu tidak pernah lagi keluar dari rumah. Si bapak sudah jarang datang ke arisan RT, apalagi ronda. Sementara itu, Angga, yang kadang ikut saya menghabiskan waktu di angkringan dekat lapangan, tak kelihatan juga batang hidungnya. Kalau Nina sendiri sudah sejak lama jarang pergi main di malam hari. Sebuah kebiasaan yang sebetulnya agak saya sesalkan.
Satu kejanggalan terjadi ketika para pemuda mengitari desa untuk mengambil jimpitan berupa uang receh ketika meronda. Jadi, setiap melintas di depan kios es buah itu, suara geraman anjing selalu terdengar. Selalu! Artinya, para pemuda selalu mendengar geraman anjing. Salah satunya saya sendiri yang mendapat jadwal ronda setiap Sabtu malam.
Karena terlalu sering mendengar suara geraman anjing di dekat kios es buah, sebagai warga yang baik, kami melaporkannya ke pemilik kios. Namun, si bapak justru menghardik kami. Dia menyuruh kami untuk tidak mengurusi hal-hal absurd mengingat si “Njing” sudah lama menghilang.
Satu pemandangan ganjil terjadi malam itu. Ketika si bapak menghardik kami, Bu Silah terlihat mengintip dari jendela di samping pintu rumah. Kami bisa melihat dengan jelas matanya yang seputih marmer dengan semburat warna hijau. Namun, malam itu, tidak ada suara geraman anjing terdengar.
Gosip yang menyebar dengan cepat
Hiburan bagi orang desa itu terbatas. Antara ngobrol sampai bosan di pos ronda atau angkringan dekat lapangan desa. Yang paling ramai, kayaknya, hanya ketika ada pasar malam. Ini sebuah kondisi yang ideal bagi menyebarnya gosip-gosip murahan dan biasanya jauh dari kebenaran. Namun, kala itu, gosip soal “es buah dan pesugihan anjing” terdengar sangat dekat dengan kebenaran.
Sebenarnya, orang-orang desa tidak terlalu memusingkan soal pesugihan. Asal tidak merugikan atau mengganggu warga tentu saja. Mereka sudah lelah dengan kemiskinan dan memilih bersenang-senang dengan cara sendiri di kala malam untuk melupakan segala kesulitan. Namun, sekali lagi, penampakan Bu Silah malam itu sungguh sayang kalau tidak menjadi gosip terbaru. Ya karena itu hal baru di desa kami.
Sejauh yang saya tahu, gosip ini sudah menyebar sampai ke desa sebelah. Maklum, sejak kios es buah Bu Silah menjadi “viral”, konsumen mereka datang dari desa-desa sebelah. Justru malah lebih banyak orang luar desa yang jajan di sana. Anehnya, semakin besar kios es buah itu, justru semakin ramai dan tidak ada lagi yang peduli. Asal enak dan murah, orang desa memang nggak akan terlalu menjadikannya masalah.
Akhir sebuah cerita
Kalau kamu membayangkan ini cerita horor di mana tumbal pesugihan mati mengenaskan, maka kamu sangat salah. Ini adalah salah satu kenyataan di desa, ketika warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Betapa kemiskinan meniadakan akses informasi dan mendorong manusia ke tepi jurang kepasrahan.
Ketika tulisan ini tayang, berarti keluarga itu sudah pindah dari desa. Iya, belum lama ini, mereka membeli sebuah ruko di kota. Mereka akan tinggal di sana, sekaligus melanjutkan usaha es buah. Saya tidak tahu apakah pesugihan “anjing hitam” itu masih mereka bawa juga. Yang pasti, suara geraman anjing masih terdengar di kala malam, di dekat bekas kios legendaris itu.
Saya hanya khawatir, apa yang terjadi ketika si “Njing anjing” itu lapar dan memutuskan bahwa warga desa adalah makanan yang terlalu nikmat untuk dilewatkan? Itu saja.
Catatan dari narasumber: Saya tidak mendapatkan izin untuk menuliskan nama si bapak, nama desa, dan nama kios es buah. Demi keamanan, saya mematuhi larangan tersebut.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Anjing Bapak dan kisah menegangkan lainnya di rubrik ESAI.