Pamanku Ketempelan Santet Kelabang Raksasa, dan Ini Menyedihkan

MOJOK.CO Kupikir, menjadi orang terkenal akan membuat hidupmu selalu bahagia. Tapi ternyata, tidak begitu adanya. Pamanku malah mendapat santet kelabang raksasa!

Cerita ini datang dari pamanku, Paman Sam, yang menjabat posisi penting di sebuah kota di Jawa Tengah: Pemalang. Tidak perlu kusebut posisinya apa, yang jelas nama pamanku di kotanya bukanlah sesuatu yang asing. Bangga juga aku menjadi keponakannya.

Kupikir, menjadi orang terkenal akan membuat hidupmu selalu bahagia. Tapi ternyata, tidak begitu adanya. Paman Sam sering kali terserang sakit mendadak yang aneh dan tidak bisa mendapat hasil pemeriksaan yang memuaskan dari dokter. Usut punya usut, sakit aneh yang kerap diderita paman adalah sakit “kiriman” berupa santet dari orang lain yang tidak suka pada kesuksesan Paman Sam.

Bagaimana Paman Sam bisa mengetahui bahwa ia “dikirimi” penyakit? Sebenarnya, pamanku pun mengerti ilmu-ilmu gaib yang biasa kita lihat di televisi, jadi sedikit banyak ia akhirnya memahami bahwa hal semacam ini akan terus ia rasakan selama masih menjabat.

Suatu hari, paman mengeluh punggungnya pegal. Istrinya memijatinya setiap 3 jam, tapi tetap tak memberi efek apa pun. Keluhan paman berlangsung sampai seminggu.

“Ke dokter saja, Pak,” saran istrinya, akhirnya. Mereka masih berpikir positif bahwa Paman Sam memang hanya kelelahan dan ada masalah dengan punggungnya—mungkin urat, syaraf, sendi atau apalah namanya. Tapi, dokter pun akhirnya menggeleng dan memberi tahu dengan bahagia: tidak ada yang salah dengan punggung paman, mungkin hanya kelelahan.

Masalahnya, kelelahan macam apa yang membuat punggung Paman Sam terasa sangat pegal?

“Rasanya seperti ditindihi, seperti ada beban berat yang ditaruh di punggung. Kalau kelelahan, aku tu sudah melakukan apa, kok sampai kelelahan?” begitu pikir paman berulang kali. Ia sempat berpikir ini adalah juga merupakan santet “sakit kiriman”, tapi entah kenapa ilmunya mendadak tak berkuasa banyak saat sedang mencari tahu. Tubuhnya kian lemah.

“Pak, gimana kalau kita pergi ke Cirebon saja?”

Cirebon adalah kota tempat teman Paman Sam tinggal. Sama seperti paman, temannya ini juga memahami ilmu-ilmu gaib sehingga diyakini bisa membantu paman. Maka, suatu Sabtu, kami datang ke sana mengendarai mobil.

Tak butuh waktu lama, Pak Anto—teman paman—mulai meyakini bahwa pegal yang dirasakan paman bukanlah pegal biasa.

“Kamu dikirimi lagi—orangnya masih sama saja,” kata Pak Anto. Paman diam, memandang temannya dalam-dalam. Lalu katanya, “Sekarang santet apa?”

Pak Anto merapalkan doa lagi, matanya terpejam.

Mendadak segalanya terasa merinding. Aku merapat ke dinding, menemani istri Paman Sam yang juga mulai tampak ketakutan. Kudengar dari bibirnya, ia bergumam padaku, “Kenapa harus selalu begini, to, nduk, nasib pamanmu itu

Aku mengelus pundak bibiku itu, berusaha menguatkannya. Jabatan paman memang strategis, mungkin itu penyebabnya ia selalu diincar orang jahat.

Pak Anto merapalkan doa lagi, suasana kian membuat bulu kudukku berdiri. Segalanya terasa sangat serius. Paman beberapa kali mengaduh kesakitan karena pegal yang tak tertahan.

Lalu muncullah: dari tangan Pak Anto yang meraba-raba punggung paman, ia menarik sebuah kelabang besar keluar dari sana. Ih!

Kelabang besar berwarna hitam itu menggeliat ke kanan dan kiri saat dikeluarkan oleh Pak Anto, sebelum dimasukkan ke wadah berwarna emas di sisi Pak Anto. Melihatnya akan membuatmu merasa ngeri sekaligus jijik—maksudku, itu kelabang, loh! Kelabang sungguhan!

“Itu tadi kiriman untukmu. Kamu sudah disusupi santet kelabang raksasa selama seminggu, pantas saja rasanya sakit.”

Paman Sam lega. Bibi juga lega. Aku pun turut bahagia mengetahui sakit paman bakal segera hilang. Kami kembali ke rumah dengan mengucap syukur sepanjang perjalanan.

Yang menjadi masalah kemudian adalah Pak Anto. Selang dua hari setelah kejadian itu, kami dikejutkan dengan kabar meninggalnya beliau secara mendadak. Paman mulai mendalami hal ini dan menemukan fakta berikutnya:

Pak Anto meninggal karena ilmunya kalah kuat dengan pengirim kelabang raksasa. Entah bagaimana caranya, pengirim ini memiliki ilmu yang lebih tinggi, cukup tinggi untuk menghabisi siapa saja yang berusaha “menyelamatkan” paman—sungguh mengerikan.

Hingga kini, kami masih berduka atas kepergian Pak Anto. Tapi, aku pribadi tak hentinya memikirkan keselamatan Paman Sam: apakah ia harus mengalami hal-hal semacam ini hingga masa pensiun nanti? Kenapa kami tak boleh mencari tahu siapa pengirimnya dan menghabisinya saja?

“Sudahlah,” kata Paman Sam suatu hari, saat aku meluapkan emosiku, “harus diakui ini wajar sekali terjadi. Bupati, gubernur, bahkan presiden—mereka-mereka yang jabatannya lebih vital dan penting daripada Paman—mungkin juga mengalami hal ini.”

Aku cuma diam memandang paman yang sudah merawatku dari kecil. Kurasa, siapa pun yang mengirimi paman penyakit-penyakit aneh itu pastilah orang yang dibutakan jabatan dan tidak bisa merasakan cinta. (A/K)

Exit mobile version