MOJOK.CO – Aku membuka mataku, dan di situlah dia: sosok lain yang diperingatkan si anak ketiga tempo hari—kuntilanak.
Dua atau tiga tahun yang lalu, aku masih bekerja sebagai peneliti yang bekerja dalam tim. Tugas kami berkeliling Indonesia, tergantung situs sejarah mana yang akan kami lengkapi datanya. Hingga suatu hari, aku dan teman-teman mendapatkan kesempatan untuk datang ke Bojonegoro dan bertugas mengunjungi Khayangan Api.
Rombongan kami berjumlah 5 orang, semuanya laki-laki. Di Bojonegoro, kami tinggal menumpang sebuah keluarga yang rumahnya tergolong besar—malah memang besar sekali, hampir seperti istana. Pondokan yang merupakan rumah keluarga ini ditempati 5 orang lain: pemilik rumah, Pak Broto, istrinya, serta tiga orang anaknya yang perempuan semua.
Sejak hari itu, kami tinggal bersepuluh dalam rumah.
Di hari pertama, Pak Broto berpesan, “Nak, jangan lupa pintu dapur yang menuju ke kebun itu ditutup, ya, kalau sudah malam. Tolong ya, Nak, jangan lupa.” Aku mengiyakan permintaannya, walaupun dalam hati aku bergumam bahwa tentu saja kami akan menutup pintunya tiap malam (kamar kami memang tepat di sebelah dapur). Itu memang harus dilakukan, bukan? Kenapa Pak Broto tampak sangat memohon?
Sehari, dua hari berlalu. Tidak ada yang aneh kecuali bulu kudukku yang merinding. Aku tidak pernah membuka mata batin, tapi sejak masuk ke Bojonegoro, aku sering kali melihat bayangan-bayangan aneh yang tak pernah aku pahami.
Sampai suatu hari, terjadilah: ada seseorang di sudut ruang televisi depan kamar kami. Eh, atau aku harus bilang: bukan orang. Sosoknya anak-anak, seorang laki-laki.
Entah bagaimana caranya, aku mendengar sosok ini. Dia berkisah soal dirinya. Katanya, ia anak ketiga dari Pak Broto yang sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Sejak hari itu, komunikasi kami cukup intens—tentu saja aku sedikit ketakutan mendengarnya, tapi juga exciting karena ini pengalaman pertamaku.
Sosok laki-laki ini bercerita pula padaku bahwa ia harus meninggal demi kesejahteraan keluarganya. Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya, tapi aku dengarkan saja. Ia bilang juga padaku, selain dirinya, ada sosok lain di rumah ini: kuntilanak.
“Tapi tolong jangan kasih tahu orang-orang bahwa dia-lah sebenarnya sosok yang jahat,” pesannya padaku.
Dengan kisah yang kudengar langsung dari narasumber terpercaya, aku tak tahan berbagi dengan teman-teman. Tiap kali berkomunikasi dengan anak ketiga, aku menyambungkannya ke teman-temanku, meminta mereka untuk tidak sembarangan bersikap karena kami diawasi olehnya.
Tapi tentu saja, aku tidak menyebut soal sosok lain yang disebut-sebut si anak ketiga. Aku hanya berkata, “Ada yang lain juga di sini, tapi aku nggak bisa cerita.” Agak bangga juga aku melihat decak kagum teman-temanku karena aku bisa berkomunikasi dengan dia yang tak terlihat.
Suatu malam, aku tertidur cepat selagi teman-temanku mengobrol di depan televisi. Mendadak, sekitar jam dua pagi, aku merasa badanku tertindih. Pengap.
Aku membuka mataku, dan di situlah dia: sosok lain yang diperingatkan si anak ketiga tempo hari—kuntilanak.
Matanya merah, sementara rambut hitamnya panjang. Wajahnya tepat di hadapanku—aku tak bisa lagi mengisahkan bagaimana rupanya karena itu begitu mengerikan padaku. Wajah kami yang berhadapan cukup membuatku takut dan ingin berteriak. Sayangnya, tidak bisa—lidahku kelu dan badanku kaku.
Pelan-pelan, aku merasakannya: sosok ini juga mencoba berkomunikasi padaku.
“Jangan,” katanya padaku, “cerita-cerita lebih banyak pada orang lain kalau kau tahu sesuatu.”
Lalu dia pergi—atau melayang. Keluar kamar, aku langsung bangkit mengikutinya. Sosok kuntilanak ini pergi melewati area televisi (teman-temanku tidur dengan pulas di sana), melewati dapur, hingga keluar ke area kebun. Kulihat jelas, pintu keluar dari dapur ke kebun masih terbuka lebar. Jelas sudah teman-temanku tadi lupa menutup pintu. Dalam hati, aku akhirnya mengerti mengapa Pak Broto meminta kami untuk tak lupa menutup pintu.
Selepas kejadian tadi, aku tak lagi bercerita pada teman-temanku setiap kali aku mendapat informasi soal penunggu rumah Pak Broto. Namun, rasa penasaranku kembali terusik setiap kali sosok si anak ketiga muncul di hadapanku. Terakhir dia berkata padaku bahwa alasan dia bertahan di rumah itu—meski dalam wujud makhluk halus—adalah untuk melindungi adik bungsunya dari sosok kuntilanak tadi.
Hingga pada akhirnya, pelan-pelan, aku bisa menyusun kisahnya di kepalaku. Ditambah lagi, aku mendengar juga desas-desus yang beredar di perkampungan kami.
Kuntilanak itu—sosok yang menhantuiku malam hari—adalah kepada siapa mereka mengabdi selama bertahun-tahun. Aku tidak tahu alasannya, tapi sepertinya ada hubungannya dengan aji-aji untuk kekayaan. Pak Broto bukang pengusaha besar, pegawai BUMN, atau PNS. Dagangan kausnya kadang sepi dan menumpuk di gudang, tapi rumahnya besar sekali.
Aku teringat pula kisah si anak ketiga. Katanya, ia terpaksa pergi demi kesejahteraan keluarga. Kali ini aku mengerti maksudnya: ia meninggalkan dunia sebagai tumbal!
Dan mengerti pulalah aku soal alasannya bertahan di sini: untuk melindungi adik bungsunya.
Pantas saja Pak Broto mengingatkan kami untuk mengunci pintu hampir setiap malam, sementara aku melihat beliau tak pernah sekalipun pergi tanpa menggandeng lengan anak bungsunya. (A/K)