MOJOK.CO – Acara menginap di kaki Gunung Merapi menjadi parade keganjilan dan ketakutan. Hanya ini yang boleh saya ceritakan.
Ketika tim memutuskan untuk menginap di sebuah losmen di daerah dekat Gunung Merapi, pikiran saya menjelajah ke mana-mana. Bukan karena tempatnya yang cocok untuk open BO, melainkan karena bangunan lama yang, jika dilihat dari luar, tampak seperti bangunan era kolonial.
Dan kamu tahu jika saat ini menyebut bangunan kolonial? Ya, penuh dengan nuansa seram dan aneka peristiwa tak terduga.
Untuk mengonfirmasi pikiran saya, tim meminta saya bersama sejumlah teman untuk hadir di sana. Jarak dari pusat kota sekitar satu jam ke losmen di dekat Gunung Merapi. Untuk mencapai ke sana, kamu bisa menggunakan transportasi pribadi atau menyewa jasa travel.
Sampai di sana, kami langsung mengecek bagian depan. Tidak terlihat bangunan kolonial, sih, tetapi auranya terasa nggak enak. Mungkin lama tidak dikunjungi tamu atau karena efek pandemi membuat area tampak “kosong”.
Setelah di bagian depan, kami diminta menengok dan menelusuri lorong I. Mata saya awas terutama kamar pertama di sebelah kiri. Tampak kusam dan memang sedang ada perbaikan. Kami melangkah pelan, melewati lima kamar dan tiba di pojokan.
“Yang sebelah kanan pojok nggak dipakai, Mas,” ujar penjaga losmen.
Saya tak bertanya dan begitu pula teman-teman saya. Kami hanya memanggut-manggut dan bergegas kembali ke bagian depan losmen yang dekat dengan Gunung Merapi. Selama kaki-kaki saya melangkah kembali ke depan, badan terasa panas. Padahal saya hanya memakai kaos dan udara cukup dingin. Aneh.
Kami lanjut berbelok ke kiri dan menelusuri lorong II. Di fase ini, saya tak sampai ke ujung. Nggak kuat. Ada yang “memaksa” saya untuk balik badan sehingga saya hanya bisa menjangkau kamar kedua.
Segera kembali ke depan dan seorang teman bertanya.
“Gimana? Mau pilih kamar yang mana?”
Saya langsung menggelengkan kepala tanpa perlu mengucap sepatah kata. Teman saya hanya tersenyum dan barangkali paham dengan maksud saya. Dan kami pun memilih untuk menginap di lokasi lain (saya akan menyebutnya lokasi HEPI) yang letaknya hanya berjarak satu kilometer dari losmen sebelumnya. Masih di dekat Gunung Merapi.
Tiba di sana. Kami dipandu oleh pemilik losmen di dekat Gunung Merapi itu untuk menaruh perlengkapan di lantai dua. Kasur berjejer di lantai. Dua ditaruh secara horizontal, tiga vertikal. Di bagian belakang ada tiga kasur yang beralaskan dipan.
Ada dua pintu. Satu sebagai pintu utama, dan satu lagi pintu yang entah kenapa dikunci. Sebelahnya ada kaca yang bisa digunakan untuk mengukur seberapa femes-nya diri seseorang.
Saya tidak ada perasaan takut atau khawatir di ruangan ini meskipun di sini lebih gelap dibandingkan dengan losmen tadi. Namun, perasaan saya keliru. Menjelang malam, kejadian aneh terjadi.
Penghuni losmen Gunung Merapi yang Usil
Duapertiga malam, seorang teman menghubungi saya yang sebenarnya hendak tidur. Dia bilang kalau dirinya ketakutan dan ingin pindah.
Masalahnya, tidak semudah itu. Hari sudah larut dan saya bilang sabar dan baca doa-doa baik saja.
Malam berakhir dan semburat matahari mulai berpendar. Dia mengirim pesan.
“Aku tengeng. Nanti pindah saja. Kena biaya tambahan nggak papa deh.”
Begitu saya turun ke losmen yang menghadap langsung ke Gunung Merapi itu, dia bercerita bahwa semacam ada yang menemani saat dirinya tidur. Dia takut dan mungkin itu penyebab dia akhirnya tengeng (leher tidak bisa menoleh).
Ceritanya belum selesai, teman lain menyergah obrolan kami. Dia juga mengatakan bahwa hawa di kamar sangat panas meskipun kipas angin sudah menyala di level tiga.
Saya memahami kekhawatiran mereka dan akhirnya memutuskan untuk menempatkannya menjadi satu kamar. Barangkali ada yang namanya rumus ketakutan + ketakutan = keberanian. Barangkali, sih.
Ternyata tidak.
Besoknya, kunci kamar hilang. Mereka saling menuduh satu sama lain hingga akhirnya saya meminta penjaga losmen yang berada di dekat Gunung Merapi untuk mengganti kunci tersebut. Tentu saja, saya meminta maaf atas keteledoran mereka.
Di luar dugaan, penjaga losmen di dekat Gunung Merapi itu berucap sesuatu yang agak ganjil.
“Sudah biasa, Mas. Makanya di tiap kamar siap sedia dua sampai tiga kunci cadangan.”
Kata “sudah biasa” mengandung makna lain, dugaan saya. Namun, saya tak bertanya kenapa dan lebih memilih berterima kasih untuk kemudian memberikan kepada teman-teman saya. Saya hanya bisa berujar bahwa harap kunci dijaga baik-baik dan jangan sampai hilang.
Nyatanya, esok lusa, kunci hilang lagi.
Saya geleng-geleng kepala dan lagi-lagi mereka saling berburuk sangka satu sama lain. Yang satu bilang bahwa sudah dimasukkan tas, tetapi yang satu bilang bahwa belum dimasukkan tas dan malah ditaruh di laci. Entah siapa yang benar.
Kemudian, saya meminta kunci lagi kepada penjaga losmen.
“Nah, bener, kan, Mas. Nggak papa. Itu sudah menjadi risiko untuk menjaga losmen ini.”
Kata “risiko” mengandung makna lain, saya kira. Namun, lagi-lagi saya tak mau tahu dan lebih memilih memberikan kepada mereka sambil mengancam bahwa jika hilang lagi, saya minta mereka tidur di wartel.
Masalah kunci akhirnya aman, tetapi giliran “penjaga” HEPI yang menyatroni kami.
Mereka ada di mana-mana
Saya tidak merasa khawatir ketika malam tiba dan tidur di HEPI. Orangnya banyak dan kalau ketakutan, ya, sama-sama ketakutan. Lagipula, saya lebih takut apabila tidak bisa bangun bukan karena ketindihan melainkan alarm di ponsel tidak mampu membangunkan saya.
Namun, bukan alarm, bukan pula ketindihan yang membuat saya khawatir. Melainkan kedua teman saya yang berteriak dan sumpah serapah mengalir di depan kaca. Ya, di depan kaca.
Seorang teman perempuan menjerit cukup keras hingga membuat kami kaget. Dia bilang bahwa saat dirinya bercermin, ada sosok pendek dan berambut panjang menjuntai ke lantai di belakangnya. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 19.30, tapi suasana di lembah Gunung Merapi itu sudah gelap dan pekat.
“Gendeng! Kok ya kalian betah di sini! Kalau aku ya minggat!”
Saya mengamati raut mukanya dan memang benar-benar ketakutan. Lalu, saya mencoba merasakan aura dan ternyata memang ada. Saya enggak bisa melihat dengan jelas. Hanya sebatas warna. Dan yang saya lihat warna biru dongker.
“Emang kamu bisa melihat?” Tanya teman saya yang memang punya keahlian soal begitu.”
“Dia merambat, lari ke pojok, kan?”
Teman saya mengiyakan dan tertawa. Dan anehnya, selama kami menginap di losmen di Gunung Merapi sekitar empat hari, dia tidur di pojok, dengan menaruh selimut di lantai untuk alas tidur. Dia pun tidak merasakan apa-apa.
Di saat yang bersamaan, seorang teman lari tergopoh-gopoh kemudian memberi kabar bahwa dia diperlihatkan sesuatu. Dia hanya melihat sepintas tubuh yang seluruhnya berbulu tebal. Peristiwa ini terjadi di kamar mandi, yang padahal menurut saya, sangat nyaman dan bikin betah.
Kedua teman tersebut kemudian segera meminta pamit dan ingin bergegas pindah area yang lebih nyaman dan aman. Kami pun mengiyakan saja.
Menjelang saya tidur, seorang teman yang kebetulan menginap dengan kami bercerita bahwa saat menuju ke HEPI, dia juga diperlihatkan sosok lelaki yang berdiri mematung sembari tangannya menujuk ke arah barat. Dia, yang membawa mobil, langsung tancap gas meskipun jalanan sempit.
“Besok kalau ke sini lagi pas malem, aku tak ngajak kamu aja. Kalau sendirian, nggak berani.”
Dan iya, waktu acara kami selesai, kami makan besar di dekat Gunung Merapi sambil melewati jalanan sempit itu. Saat berangkat, kami tak merasakan apa-apa. Namun, saat pulang, ketika seorang teman, yang aneh menurut saya, meminta lokasi tempat ketika ada lelaki itu, saya hanya berkata,
“Tenang, kita bertujuh, kan? Abis ini, sebelum tiba di HEPI, pasti menjadi delapan.”
Mendadak suasana menjadi hening dan tidak ada yang mau menoleh ke mana pun. Termasuk lelaki itu.
BACA JUGA Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta dan pengalaman menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno