MOJOK.CO – Alas Purwo tidak banyak menyisakan cerita. Namun, meski tidak banyak, kelanjutan kisah itu sepertinya belum akan berakhir. Semua soal waktu saja.
Baca dulu bagian tiga di sini: Ekspedisi Alas Purwo: Menuju Jantung Hutan Tertua di Pulau Jawa (Bagian 3)
“Hati-hati, kamu….”
Saya memejamkan mata ketika suara bisikan itu terdengar. Campuran antara kaget dan rasa takut. Saya menoleh ke segala arah. Namun, saya tidak bisa menemukan satu manusia yang sedang berbisik ke telinga kiri saya. Satu hal janggal saya rasakan: ketika suara itu terdengar, suara-suara di sekitar saya menjadi tidak terdengar, seperti teredam.
Tepat pada saat itu, kalimat Mbah Kuncen bergaung di kepala saya:
“Apa saja yang akan dilihat dan yang akan terjadi, jangan lupa tujuan dan niatmu datang ke tempat ini. Berpegang teguh pada keyakinan yang ada di hati. “Mereka” akan mencoba merasuk ke dalam hati dan pikiranmu. Maka, jagalah hati dan pikiranmu dari hal-hal negatif.”
Sebenarnya saya agak ragu untuk menceritakan bagian akhir ekspedisi Alas Purwo ini. Apa yang terjadi dan yang kami hadapi saat hendak menyelamatkan Dinda dan Uncle Jack itu benar-benar berada di luar batas nalar manusia. Percaya atau tidak percaya, saya mengembalikan lagi semua kepada para pembaca.
Menyelamatkan Dinda dan Uncle Jack
Jadi, perjalanan kami untuk menyelamatkan Dinda dan Paman dimulai pada hari ketiga menjelajahi Alas Purwo. Untuk tujuan penelitian sendiri sudah hampir setengah dari daftar sampel yang harus kami ambil. Untungnya, paman mempercepat pengambilan sampel
Saat itu, saya masih ingat betul kami melewati Gua Istana dan berjalan menyusuri jalanan setapak memasuki pepohonan lebat yang menjulang tinggi. Kepala regu yang berada di depan sibuk menebang daun dan batang pohon yang menghalangi jalan. Melihat banyaknya pohon dan dedaunan yang menghalangi, berarti memang sangat jarang manusia masuk ke wilayah ini.
Saya yang berada di tengah, berjalan sembari melihat kanan dan kiri. Vegetasinya cukup rapat, jalan setapaknya juga. Berjalan saja sudah agak susah ditambah semak belukarnya yang tumbuh subur. Dalam hati, saya berharap semoga saja tidak ada ular atau hewan berbahaya yang mendekati kami.
Pohon beringin besar di tengah hutan Alas Purwo
Selama perjalanan, kami menemukan banyak jejak hewan buas. Beberapa kali kami juga melihat burung yang mungkin agak langka. Saya tidak tahu jenisnya, tapi memang burung itu terlihat berbeda saja.
Kami juga banyak melewati pepohonan yang bentuknya aneh. Salah satunya adalah pohon beringin besar. Akarnya besar-besar, sulurnya sudah menyatu dengan tanah. Mungkin usianya sudah ratusan tahun. Kami dibuat takjub akan “kehadiran” pohon itu: indah, megah, dan kesan angkernya juga terasa.
Tim beristirahat di pohon beringin ini. Ethan dan Damian langsung mengambil peran untuk memeriksa keadaan sekitar. Sementara saya duduk menyandarkan punggung di salah satu akarnya yang besar. Ketegangan yang terasa dan rasa lelah yang belum hilang, ditambah angin sepoi-sepoi membuat saya mengantuk. Sialnya, saya memang terlalu mudah tertidur.
Mimpi yang sama
Secara samar, saya masih bisa mengingat mimpi yang sama.
Saya berada di tengah hutan yang berkabut, sendirian. Tapi, di mimpi kali ini, entah kenapa, saya malah mengikuti suara-suara musik gamelan yang terdengar dari kejauhan. Makin dalam memasuki hutan di dalam mimpi, entah kenapa mimpi itu lama-lama terasa semakin nyata.
Saya masih bisa merasakan sensasi merinding dan takut ketika mengingat di dalam mimpi saya sampai di sebuah pura berukuran besar. Mungkin besarnya dua kali lipat Pura Giri Salaka. Pura itu dikelilingi tembok-tembok yang menjulang tinggi.
Suara gamelan semakin lama semakin terdengar jelas dan saya bisa mendengar pikuk keramaian dari dalam bangunan. Rasa penasaran saya mulai mengalahkan suara hati yang sedari tadi menghalangi saya untuk tidak mencari tahu kenyataan di balik tembok pura. Selangkah, dua langkah… hingga langkah ketiga, saya dikagetkan dengan suara perempuan yang terasa tidak asing.
“Kamu sedang ada apa, nduk?”
Perempuan itu tiba-tiba saja sudah berdiri sekitar satu meter di belakang saya. Sangat dekat. Saya yang kaget setengah mati sedikit berterian dan mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak.
Lagi-lagi perempuan yang sama
Perempuan yang menurut saya sangat cantik dan anggun itu menatap saya. Setelah itu, dia tersenyum kecil. Sorot matanya tajam dan seolah bisa menembus isi hati dan pikiran saya. Mulut saya langsung terkunci. Tidak sanggup berkata-kata. Terkunci rapat.
Dia seperti bisa memahami keresahan saya. Ketika berjalan pelan mendekati saya, selendangnya menyapu permukaan tanah. Setelah semakin dekat, wangi kembang menyapa indra penciuman saya.
“Kamu seharusnya tidak berada disini, nduk.”
Tutur katanya sangat Indah dan terasa damai, meski sorot matanya sungguh mengintimidasi. Saya mencoba menjelaskan bahwa tadi sepertinya saya tertidur di bawah pohon beringin. Tapi, bibir ini terasa kelu sehingga dia hanya tersenyum dan sepertinya mengerti maksud saya.
Ia mewanti-wanti saya untuk tidak memasuki pura itu. Selain itu, dia juga menyarankan saya untuk segera pulang. Perempuan itu melewati saya dan tetap berbicara sambil membelakangi saya. Teringat kata-kata Ajay, saya memberanikan diri untuk bertanya perihal Dinda dan Uncle Jack.
Perempuan itu membalikan badannya lagi. Kami saling beradu pandang. Dia menjelaskan bahwa Dinda dan paman saya itu masih selamat. Tapi, dia tidak menjelaskan lokasi mereka berada.
Lagi-lagi, dia meminta saya untuk segera pulang saja. “Jangan terlalu lama di sini,” katanya.
Sebuah petunjuk
Sedetik kemudian, suara gamelan yang sedari tadi menjadi latar suara tiba-tiba menghilang. Pemandangan langsung berubah. Saya seperti berada di tengah gelapnya hutan dan yang tersisa di sana hanya cahaya api yang berpendar-pendar.
Saya masih bisa menangkap perubahan ekspresi di wajah perempuan itu. Dia seperti merasa terganggu ketika suara gamelan menghilang. Sebelum meninggalkan saya, dia menunjukkan jalan yang harus saya lalui. Jalan setapak yang disesaki oleh kabut.
Setelah itu, dia mengingatkan saya untuk tidak menoleh ke kanan dan kiri, apalagi menengok ke belakang ketika berjalan. Saya menurut saja dengan petunjuk yang perempuan itu berikan. Saya segera berlari ke arah jalan setapak yang dimaksud. Walaupun tidak menengok ke berbagai arah, tapi ekor mata saya masih bisa menangkap samar-samar ada banyak orang di samping kanan dan kiri saya.
Setelah itu saya tidak ingat. Saya tahu-tahu sudah terbangun di tempat yang sama. Ketika bangun, saya melihat hari masih siang. Saya terlelap sekitar 25 menit. Saat itu, kepala saya terasa berputar dan pusing, hingga akhirnya muntah. Melihat kejadian itu, Ajay langsung berlari ke arah saya dan membantu.
Baca halaman selanjutnya….
Cincin merah
Saya merasa lebih baikan setelah sukses memuntahkan isi perut. Sembari menarik napas panjang, saya memandang langit yang terhalang oleh atap pohon Alas Purwo.
Setelah mimpi itu, saya lebih banyak diam dan bengong. Hingga suatu ketika, saat menatap kosong ke arah permukaan tanah, ada sesuatu yang berkilauan di balik akar pohon yang bergelombang. Melihat itu, badan saya seperti refleks bergerak. Saya agak merunduk untuk meraih benda itu. Ternyata itu adalah sebuah cincin yang terlihat usang dan tua. Batunya berwarna merah seperti batu ruby atau merah delima.
Ketika asyik memandangi cincin itu, Ajay menghampiri saya dan menanyakan di mana saya menemukannya. Saya jelaskan kepada dia. Ekspresi Ajay menjadi seperti ngeri ketakutan.
“Hush! Taruh lagi itu. Jangan dipegang-pegang!” Seru Ajay sembari menjauh dan menunjuk-nunjuk cincin itu. Saya yang kebingungan melihat tingkah laku Ajay memilih berdiri dan menghampirinya.
“Heh, kenapa? Kok tiba-tiba lo panik?”
Ajay menjelaskan bahwa kita jangan memungut dan mengambil dari hutan belantara begini. Katanya bisa dibilang itu pamali. Saya memandangi cincin itu dengan penuh tanda tanya dan akhirnya memilih untuk menaruh kembali di tempat semula. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju jantung Alas Purwo.
Namanya Galih
Sebelum Magrib tiba, kami sudah membuat camp untuk beristirahat. Saya dan Ajay membantu Damian menyalakan api, sedangkan yang lainnya sibuk membangun tenda. Setelah itu, kami semua berkumpul mengelilingi api unggun.
Saya saat itu memasak nasi liwet dan menggoreng beberapa sosis. Ajay dan Damian sibuk membakar daging ikan yang tersisa di koper berisi es. Kami sibuk makan dan di sela-sela itu, Damian menceritakan petualangan pertamanya waktu umur 18 tahun.
Ketika yang lain sibuk berbincang-bincang, saya asyik membakar marshmallow dan memakannya bersama cokelat panas. Ketika hendak menyeruput segelas cokelat panas, saya mendapati salah satu tim arkeolog duduk agak menjauh. Entah kenapa dia terlihat seperti mengasingkan diri. Namanya Galih, paling muda di antara arkeolog lainnya. Sepertinya dia baru lulus kuliah. Saya tahu bahwa Galih adalah anak dari salah satu sponsor ekspedisi Alas Purwo ini. Wajahnya ganteng dan orangnya sangat ambisius.
Luka Galih
Melihat Galih menyendiri, saya menghampiri dirinya dengan niat menawari segelas cokelat panas juga. Tapi, ada sesuatu yang aneh saya rasakan dari dirinya.
Posisinya, dia duduk membelakangi saya dan menghadap ke arah kiri hutan. Saya menepuk pundaknya dengan pelan. Ketika Galih menengok, saya langsung berteriak kaget.
Mata Galih melotot seakan matanya ingin keluar. Wajahnya sangat pucat. Dia seperti sedang bergumam, mungkin meracau, dengan bahasa yang aneh.
Mendengar teriakan, semua orang yang berada di dekat api unggun bergegas mendekat. Mereka yang bertugas sebagai medis di ekspedisi Alas Purwo ini langsung memeriksa keadaan Galih.
Tim membaringkan Galih di dalam tenda dan memeriksa detak jantungnya yang terdengar tidak normal. Sekitar lima menit kemudian, tiba-tiba Galih berteriak dengan keras.
Lengkingan suaranya terdengar pilu. Saya bisa melihat Galih meraung-raung kesakitan di bagian pahanya. Petugas itu segera merobek celana bagian paha dan kami dikagetkan dengan kondisi paha Galih yang terlihat seperti luka yang membusuk.
Entah sejak kapan dia seperti ini. Sedari tadi, dia tidak menunjukkan gejala luka. Tim medis bergerak cepat dengan memindahkan Galih ke tandu lipat. Mereka membasuh luka itu dengan alkohol.
Dari ujung ekor mata, saya melihat ada sesuatu yang berkilauan dari tempat Galih duduk tadi. Ternyata itu adalah cincin dengan batu merah yang saya temukan tadi di bawah pohon beringin besar.
Kemunculan tiba-tiba Dinda dan Uncle Jack
“Kenapa ada di sini. Perasaan udah gue taro lagi,” gumam saya yang masih melihat cincin itu dengan seksama. Tiba-tiba saja, suara gemerisik gesekan daun terdengar dari balik gelapnya hutan. Saya langsung takut, bukan karena makhluk halus, tapi hewan buas. Tidak setelah itu, muncul bayangan dari balik semak tinggi. Dengan sigap, saya langsung mengambil senter di kantong celana dan menyorot ke arah bayangan tersebut.
Alangkah kagetnya saya, karena saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat.
Sosok paman dan Dinda muncul dari balik semak-semak tinggi. Saya mendapati penampilan paman yang sudah kotor dan berantakan, sedangkan Dinda yang digendong belakang punggung paman saya tidak sadarkan diri. Saya spontan meneriakkan nama mereka.
“Uncle Jack! Dinda! Ya Allah!”
Paman terlihat berjalan sangat lemas, tubuhnya kotor penuh tanah. Dinda pun begitu. Saya langsung membantu mereka duduk. Paman menyandarkan Dinda di sisi pohon sebelah camp. Setelah itu, saya berlari menuju tim ekspedisi untuk melaporkan bahwa paman dan Dinda sudah ketemu.
Ketika melapor, Ethan, Damian, dan Ajay langsung menghampiri paman dan Dinda. Sekilas saya melihat kondisi Galih yang semakin memburuk. Saya berpikir kenapa Galih bisa sampai seperti itu? Setelah berpikir sejenak, saya langsung menghampiri paman dan Dinda, memberikan sebotol air untuk mereka berdua. Dinda saat itu masih tidak sadarkan diri. Ethan menanyakan apa yang terjadi kepada paman dan Dinda.
Rahasia yang masih gelap
“Uncle, apa yang terjadi di sana?” Ethan yang jongkok di depan paman langsung memberondong dengan pertanyaan. Paman yang masih sibuk menyeka dirinya terlihat masih enggan untuk berbicara.
Bukannya menjawab pertanyaan Ethan, paman malah menanyakan balik apa yang terjadi kepada Galih. Kami semua hanya bisa menggeleng karena jujur, kami juga tidak tahu kenapa.
Mendengar itu, paman hanya menganggukkan kepala. Setelah itu, dia berjalan menghampiri tim medis yang sibuk mengurusi Galih. Melihat luka Galih yang sedang diobati, paman segera mengambil carriernya.
Paman mengeluarkan sekantong plastik berisi dedaunan. Meski saya tahu paman sedang kelelahan, dia bisa dengan sigap menghaluskan dedaunan yang dia bawa. Setelah itu, dia mengambil setangkai kayu kecil. Paman melilitkan kain ke tangkai itu dan membalurnya dengan minyak. Paman membakar ujung tangkai itu di api unggun.
“Kalian, seka luka itu sekarang!” Perintah paman kepada tim medis.
Setelah diseka sampai bersih, paman mengoleskan dedaunan yang sudah dihaluskan ke luka Galih. Sontak, Galih menjerit kesakitan sampai-sampai bibirnya berdarah karena tergigit. Tim medis sigap menyumpalkan handuk ke mulut Galih agar lidahnya tidak tergigit.
Cincin yang selalu mengikuti
Setelah mengoleskan yang nampaknya obat itu, paman mengayunkan pelan api ke atas luka Galih. Setelah itu paman langsung mematikan apinya. Saya pun langsung bertanya, apakah paman tahu sesuatu saat ia menghilang?
Paman menghampiri saya dan meminta sesuatu.
“Sini, keluarin benda itu dari kantong kamu. Nggak usah dibawa. Biar Uncle aja yang balikin,” kata paman kepada saya. Saya merogoh kantong celana dan mendapati cincin merah tadi. Saya berikan langsung saja ke paman. Lah, sejak kapan paman tahu soal cincin itu?
Setelah semua fase ketegangan itu lewat, Galih tertidur. Tim medis segera membangun flysheet dan tenda medis dadakan untuk Galih dan Dinda yang masih tidak sadarkan diri. Akhirnya kami bisa menghela napas dan duduk di dekat api unggun kembali. Saya tahu paman sudah terlalu lelah tapi dia masih enggan untuk tidur.
“Agnes, Dinda, Ajay, dan Galih. Kalian pulang ya, tidak usah ikut untuk melanjutkan ekspedisi,” ucap paman sembari merokok. Saya hanya terdiam dan mengangguk. Lebih baik saya mengikuti apa kata paman saja. Saya juga tidak mau menanyakan banyak hal. Termasuk saat paman dan Dinda menghilang di telan hutan bambu dan kenapa mereka bisa berada di sini. Tapi, Ethan terus mendesak paman untuk menceritakan apa yang telah terjadi dengan mereka dan kenapa mereka bisa menghilang.
Wejangan paman
Paman menyeruput terlebih dahulu kopi panasnya, lalu dia mulai menjelaskan sedikit apa yang terjadi. Paman menegaskan bahwa dia tidak terlalu ingat secara jelas. Saat itu memang dia mengejar Dinda yang berlari menjauh.
Paman bercerita bahwa dia cukup lama mengejar Dinda dan tidak sadar dengan sekelilingnya. Saat Dinda berhenti secara tiba-tiba, paman baru sadar bahwa dia tidak lagi berada di wilayah hutan bambu Alas Purwo. Paman hanya menceritakan seadanya saja tapi saya tahu sih bahwa dia menyimpan rahasia di balik dirinya dan Dinda yang menghilang. Ada sesuatu yang hilang di sini.
Singkat cerita, saya dan teman-teman pulang ke Tangerang. Beberapa hari kemudian, ketika berkumpul lagi bersama teman-teman, kami sempat membahas soal Dinda dan paman. Aneh, saat itu malah Dinda tidak bisa mengingat apapun. Terakhir dia ingat saat itu sedang berada di hutan bambu. Setelah itu, tahu-tahu dia sudah terbangun di camp.
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Saya masih berusaha terus menanyakan apa yang terjadi di Alas Purwo waktu itu ke paman setelah ekspedisi selesai. Tapi, beliau masih saja enggan untuk membahas. Dia hanya menepuk pundak saya dan mengatakan bahwa tidak semua perlu diketahui.
“Udah, kamu nggak usah pusing-pusing mikirin hal yang sudah lewat. Ingat ya, nggak semua boleh kamu ketahui. Terkadang lebih baik tidak tahu apa-apa dibandingkan tahu. Karena tanggung jawab untuk memikul pengetahuan itu berat. Kamu masih proses menuju dewasa. Nanti, pada waktunya, kamu akan dibuatnya paham dengan sendirinya,” ucap Paman sembari tersenyum. Setelah itu, dia meminta bantuan saya menaikkan sebuah kotak ke gudang rumahnya di lantai dua.
Bisikan yang terus menghantui
Kalimat “… kamu akan dibuatnya paham,” itu terus menghantui saya. Imbuhan -nya itu bukankah merujuk ke sosok? Entahlah. Kalau sudah seperti ini, trauma masa kecil mencegah saya untuk mencari tahu lebih lanjut.
Lantai dua rumah paman disesaki barang-barang tua dan kuno. Paman memang suka mengoleksi barang-barang antik, termasuk furniture lama milik Mbah Kakung yang masih terawat dengan baik. Dinding lantai atas juga dihiasi oleh foto-foto lawas keluarga Mbah Kakung dan Mbah Putri. Mirip seperti museum kalau dideskripsikan. Saya pun membuka pintu gudang dan menaruh kotak itu di atas meja.
Pikiran saya saat itu terasa ringan. Mungkin saya sedang tidak memikirkan apa-apa ketika menyapukan pandangan ke foto-foto Mbah Putri di dinding. Tepat saat itu, suara gamelan mampir di telinga saya. Bunyinya sangat samar, tapi saya bisa mendengarnya dengan jelas. Lagi-lagi, suara di sekitar seperti teredam.
Bunyi gamelan disusul bisikan yang lama-lama terasa akrab. Terasa menghantui, tapi tidak lagi terasa berjarak. Selama beberapa detik saya malah menikmati suara gamelan itu. Suara bisikan perempuan yang mengunjungi saya di Alas Purwo terasa akrab. Namun, maaf, saya tidak boleh menuliskan isi bisikan perempuan itu.
Saya tidak tahu berapa lama saya berdiri mematung sambil menikmati suara gamelan itu. Setelah tersadar, saya sedikit bingung. Namun, saya masih bisa menjaga kesadaran bahwa sesuatu sedang dan mungkin akan terjadi. Setelah menghela napas, saya buru-buru turun dari lantai 2.
Semuanya masih gelap
Sisa cerita dari Alas Purwo tidak banyak. Pertama, Dinda, sampai detik ini, masih tidak bisa mengingat kejadian yang membuat kami semua ketakutan. Kedua, paman masih enggan untuk bercerita, bahkan sampai sekarang. Ketiga, kabar Galih tidak lagi terdengar. Sekali lagi, paman selalu menghindari topik soal Galih.
Kata Uncle Jack, kemungkinan paha Galih tergores oleh duri dari tumbuhan beracun. Namun, entah bagaimana, saya tidak bisa mempercayai keterangan paman. Ada yang aneh di suara paman ketika membahas soal Galih. Pesan yang paman ulang terus-menerus adalah bahwa saya tidak boleh punya pikiran aneh soal ekspeksi Alas Purwo, Dinda, Galih, dan kemungkinan-kemungkinan aneh yang masih akan terjadi.
Tapi entahlah, meski mencoba bersikap “tidak tahu”, kejadian di Alas Purwo tidak mau hilang juga dari ingatan. Bahkan sampai sekarang, bertahun-tahun setelah ekspedisi itu berakhir.
Satu hal yang tersisa adalah bunyi gamelan, alunan musik syahdu yang selalu menyapa saya ketika menginjakkan kaki di lantai dua rumah Uncle Jack.
Siapa yang selalu menyambut kehadiran saya?
TAMAT
BACA JUGA Gunung Arjuno: Sebuah Pesan Kematian dari Sisi Lain Pulau Jawa dan kisah misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno