MOJOK.CO – Ruang UKS sekolahku menjadi ruangan yang paling dijauhi oleh para murid. Kebakaran besar beberapa tahun lalu menjadi penyebabnya.
Beberapa tahun yang lalu, SMA tempatku bersekolah mengalami kebakaran yang cukup besar. Beberapa bangunan rusak dilalap api. Salah satu bagian sekolah yang terdampak paling parah adalah sisi selatan yang kini dibangun UKS. Dan di UKS sekolah ini, aku pernah melihat penampakan kaki menggantung di ranjang.
Bangunan UKS ini letaknya paling belakang sekolah. Agak jauh dari gerbang di sebelah utara. Sementara itu, lapangan tempat upacara bendera letaknya di luar bangunan sekolah. Jadi, kalau mau upacara, para murid harus berjalan keluar gerbang sekolah lewat jalan kecil.
Agak menjauh dari lapangan tempat upacara dan gerbang masuk di bagian utara membuat suasana UKS menjadi sepi jika kamu sendirian di sini. Sudah sepi, ditambah fakta bahwa ada siswi yang menjadi korban kebakaran membuat UKS agak dijauhi para murid.
Aku terpaksa beristirahat di UKS ini “berkat” upacara sekolah yang hampir selalu berjalan begitu lama. Belum lagi cuacanya panas meski masih pagi. Banyak murid, terutama siswi, yang pingsan saat upacara masih berlangsung.
Sebelum upacara dimulai, dengung murid terdengar di mana-mana. Kami sibuk saling dorong mencari tempat agak di belakang supaya bisa berteduh di bawah bayangan pepohonan besar.
Hari itu aku belum sempat sarapan karena bangun kesiangan. Kebetulan upacara kali itu aku berdiri di barisan yang terkena panas sinar matahari. Tidak ada yang mau bertukar tempat denganku. Yah, siapa yang mau kepanasan, ya.
Awalnya aku baik-baik saja, sampai ketika amanat kepala sekolah, kepalaku mulai berputar. Teman di belakangku menangkap badanku ketika aku oleng. Setelah itu, dia mulai memanggil petugas PMR yang bertugas dan terjadi sedikit keributan saat memapahku. Salah seorang teman mengajukan diri untuk menemani menuju UKS, tapi kakak kelas yang bertugas PMR hari itu menyuruh temanku untuk tetap mengikuti upacara.
Aku tidak pingsan, hanya lemas saja saat dipapah ke UKS di belakang kantin itu. Oya, kantin sekolah juga menjadi lokasi kebakaran. Untungnya tidak ada korban di bagian kantin.
Pagi itu UKS kosong. Cuma ada aku dan petugas PMR. Setelah berbaring, aku diberi teh hangat dan ditemani kakak kelas yang bertugas sebagai PMR.
Tidak lama, ada seorang teman sesama petugas PMR yang memanggilnya untuk mengerjakan sesuatu. Aku lupa untuk apa, tapi kemudian kakak kelas itu pergi.
“Kamu nggak apa-apa aku tinggal?”
“Iya, Kak. Nggak papa, kok.”
Dia tersenyum minta maaf padaku, temannya yang memanggil juga agaknya merasa tidak enak. Kemudian, aku sendirian di sana. Karena tempatnya yang lumayan jauh dari lapangan, suasana di ruangan itu benar-benar sepi. Kantin sekolah juga masih sepi karena para murid sedang upacara.
Waktu sepi begini, cerita soal kebakaran dan seorang siswi yang korban kembali terbayang. Aku berusaha nggak mengingatnya dan berusaha untuk memejamkan mata. Siapa tahu tidur sebentar bisa mengusir pikiran menyeramkan itu.
Sedang enak-enaknya tiduran, suara derit ranjang di sebela membuatku kaget dan membuka mata. Seingatku, waktu masuk UKS tidak ada orang lain yang berbaring di ranjang sebelah. Namun, saat aku menoleh ke samping kiriku, sekitar tiga ranjang jaraknya, ada seorang siswi yang berbaring di ranjang paling ujung dekat dinding.
Tahun itu, UKS di sana memang belum memiliki sekat tirai. Ada 6 ranjang saling berhadapan, aku bisa melihat semuanya dari tempatku berbaring. Aku hanya melihat rambutnya yang hitam panjang, seluruh tubuhnya terbungkus selimut menyisakan sepasang telapak kaki telanjang. Aku heran, karena dia tidak memakai kaos kaki dan telapak kakinya kelihatan merah, seperti melepuh.
Aku mencoba berpikir positif, mungkin sebelumnya aku tidak melihatnya karena terlalu pusing. Meskipun seharusnya aku tidak mungkin melewatkan hal yang sejelas itu. Aku menutup mataku lagi, berbalik memunggungi siswi itu. Sejenak aku merasakan hawa dingin mengaliri sekujur tubuhku. Entah khayalanku atau apa, aku yakin mencium bau aneh campuran aroma asap, bau kembang, dan logam karat.
Baunya seolah menempel di hidungku. Membuatku menarik selimut dan berkomat-kamit baca doa. Saat itu aku menyadari bahwa aku ketakutan. Ketika aku membuka mata, kedua teman sekelasku masuk. Rasa lega langsung merambati tulangku.
Siswi yang ikut berbaring di ranjang bersamaku sebelumnya sudah hilang. Aneh sekali, pikirku. Aku merasa tidak mendengar tanda-tanda gadis itu pergi.
“Kalian tadi papasan sama seseorang nggak?”
“Nggak, tuh. Nggak ada siapa-siapa dari tadi. Selesai upacara pada langsung balik kelas.”
Aku memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Namun, bau asap kebakaran itu masih menempel di hidungku. Teman-temanku diam saja. Jadi aku berasumsi mereka tidak menciumnya.
Beberapa hari kemudian, sepulang sekolah, aku menemani salah seorang temanku piket UKS. Dia tidak berani piket sendirian karena teman yang satu jadwal dengannya tidak berangkat sekolah. Aku ikut membantu melipat selimut agar pekerjaan kami cepat selesai. Selama itu kami bercerita macam-macam untuk mengisi keheningan di sana.
Sampai pada selimut di ranjang paling ujung kiri di dekat dinding, yang kelihatannya seperti baru dipakai. Aku mencium bau aneh yang mirip saat aku di UKS waktu itu. Aku masih mengingatnya dan mencium baunya lagi membuatku mual. Aku melipatnya asal-asalan.
Aku menyeret paksa temanku untuk pulang. Dia menurut, tapi baru separuh jalan aku inget tote bag milikku masih di UKS. Aku sempat berpikir untuk membiarkan, tapi temanku bilang akan menemaniku. Jadi, kami kembali lagi.
Temanku menunggu di luar ruangan sementara aku mendekati meja tempat aku meletakkan tote bag. Aku berusaha keras tidak melirik ranjang di ujung kiri.
Saat aku mengambil tas, sesuatu terjatuh ke dekat kakiku. Aku membungkuk untuk mengambilnya. Entah dorongan apa, mataku melirik ke samping, ke kolong-kolong ranjang.
Tepat di ranjang ujung di dekat dinding, sepasang kaki menjuntai ke lantai dengan jari-jarinya menghadap mukaku. Warnanya benar-benar merah, seperti daging mentah yang kontras dengan warna putih dinding ruang UKS.
Seharusnya itu cuma kaki, namun mengingat hanya aku yang ada di sana sebelumnya, membuatku ketakutan setengah mati. Badanku gemetar saat aku berbalik dan lari. Menghindari pemandangan lain yang mungkin akan kudapat jika menatapnya terlalu lama.
Aku berhasil tidak teriak atau pingsan, tapi mukaku pucat dan berkeringat. Tanganku sedingin kulkas. Temanku begitu khawatir saat aku kembali dalam keadaan begitu. Aku begitu syok untuk menanggapinya dan menggeretnya menjauhi UKS dengan cepat. Begitu kami menjauh dari UKS dan bahkan sekolah, aku menceritakan penampakan itu dengan gagap.
Dan, dia bilang begini. “Aku pernah dengar cerita dari alumni sini kalau dulu ada kebakaran yang bikin seorang siswi meninggal. Sekarang, bekas kebakaran direnovasi untuk gedung UKS yang tadi.”
“Iya, aku juga tahu soal kebakaran. Aku juga tahu soal korbannya.”
“Maksudmu?”
Aku tidak menanggapi pertanyaan temanku. Soal ini tidak bisa aku ceritakan.
Dalam perjalanan pulang, temanku diam saja. Kelihatannya dia ketakutan juga. Sementara itu, aku sudah agak mendingan karena sudah jauh dari sekolah.
Ketika hendak berpisah di sebuah pertigaan, temanku bilang, “Kamu cium bau kembang sama kayak besi berkarat, nggak?”
Belum sempat menjawab, temanku sudah berbalik badan dan berjalan menuju rumahnya. Aku hanya bisa memandangi punggungnya dan mendoakan yang terbaik.
BACA JUGA Kuntilanak Bersusu Besar Itu Ngambek Anaknya Dilukai Kuli, Aslinya Cakep Blasteran Sunda-Jawa dan cerita menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.