Dikuntit Tangan dan Kaki Genderuwo dari Salah Satu Gunung Keramat

Dikuntit Tangan dan Kaki Genderuwo dari Salah Satu Gunung Keramat MOJOK.CO

Dikuntit Tangan dan Kaki Genderuwo dari Salah Satu Gunung Keramat MOJOK.CO

MOJOK.COIngat, jaga sikap ketika kamu naik gunung. Jangan pongah, jangan sok kuat, nanti ditempelin genderuwo. Untung saya bisa pulang ke rumah….

Naik gunung jadi hobi saya sejak SMP, yang kemudian berlanjut ketika kuliah. Selain nonton bola, naik gunung memberi semacam kesegaran jiwa. Semacam rasa lega setelah “nggak nganu” sejak lama. Hehehe….

Namun, ada satu kejadian yang bikin acara naik gunung, dari sebuah hobi, menjadi kegiatan yang sulit saya lakukan lagi. Kejadiannya di sebuah gunung keramat di Pulau Jawa. Ketika sebuah teror Genderuwo bikin hidup saya nggak tenang selama beberapa minggu.

Kejadiannya ketika saya masih SMA. Saya dan 7 teman lain naik sebuah gunung keramat. Saya berat hati untuk menyebutkan nama gunung itu.

Tolong dimaklumi, ketika ada anak-anak SMA berkumul, laki-laki semua, kericuhan yang terjadi pasti menyebalkan sekali. Ya begitulah kami berdelapan. Naik gunung dengan perasaan pongah, sok kuat, dan tidak bisa mengontrol mulut. Sejak paruh awal jalan, omongan kami sudah tidak terkontrol.

Kami bukannya tidak berpengalaman naik gunung sebelumnya. Namun, entah kenapa, sejak sampai di lokasi awal pendakian, ada perasaan tak nyaman yang terasa. Kami berusaha mengusir perasaan itu dengan bercanda. Namun, yang tak kami sadari, cara kami menghibur diri terlalu kebablasan. Sungguh, kami tidak sadar sudah pongah dan sok kuat.

Seingat saya, kami sampai di pos satu dengan cukup cepat. Saya sendiri heran, padahal kami sudah bersepakat untuk santai saja dan kalau nggak sampai puncak pun tak mengapa. Sampai di pos bayangan, kami beristirahat sejenak. Minum air, mengunyah beberapa potong cokelat, dan merokok barang satu-dua batang.

Perasaan tak jenak di awal pendakian mulai menyergap lagi. Kami sempat bimbang, mau lanjut atau balik kanan saja. Ketika sibuk menimbang, tiba-tiba salah satu teman saya berdehem cukup keras. Saya kira dia masuk angin. Namun, ketika menengadah, saya lihat bola matanya sepenuhnya putih.

Sedetik setelah menengadah dan memperlihatkan bola matanya yang memutih, dia meloncat keluar dari lingkaran tempat kami berdiskusi. Kami semua paham dia kerasukan dan akan meloncat ke jurang di sisi kiri jalan. Kami terlambat bergerak karena rasa kaget. Untung saja, di depan teman saya yang kerasukan ada sebuah pohon besar. Dia membentur pohon itu dan tumbang. Pingsan.

Berkat kejadian itu, kami semua sepakat untuk balik kanan. Pulang saja. Kami menunggu teman kami siuman dulu sebelum pulang. Kami takut cedera ketika menuruni jalan pulang sambil membopong teman kami yang pingsan. Rasa takut bisa bikin dengkul lemas dan kami sepakat untuk menunggu. Saat itu, nama genderuwo belum terbersit….

Cukup lama kami menunggu. Kami merasa sudah menunggu kira-kira dua jam sebelum teman kami siuman. Begitu siuman, dia bilang haus luar biasa. Satu botol air mineral ditenggaknya langsung. Setelah memuaskan dahaganya yang misterius, dia bilang pengin pulang. Pokoknya harus cepat pulang.

Kami semua memang sepakat untuk pancal budhal mulih begitu dia siuman. Ketika kami mengumpulkan sampah, teman kami ini mulai tidak sabaran.

“Ayo cepet. Pulang. Tinggal aja itu.”

“Ngawur. Sampah ya ikut dibawa turun. Mbok kamu ki tenang. Bikin takut, lho.”

“Ayo cepet, to! Nanti keburu diparani simbah meneh!”

Mendengar “diparani simbah” bikin kami sadar kalau keadaan sudah begitu gawat. Perasaan tak jenak kembali datang. Nafas saya memburu ketika mulai melangkah pulang. Yang saya takutnya adalah kemalaman di jalan sebelum sampai bawah. Kami semua turun dengan kepanikan yang menguasai. Karena jalan menurun cukup terjal, kami menjadi setengah berlari. Padahal, berlari ketika menuruni jalur gunung itu bisa berbahaya kalau tidak terlatih.

Ketika jalan pulang inilah berbagai kemungkinan muncul di kepala saya. Genderuwo? Kuntilanak? Pocong? Semua nama-nama makhluk halus muncul dan saya perut saya makin mulas. Bukan, bukan itu semua, saya bilang di dalam hati. Kembali, istilah “diparani simbah” entah kenapa bikin ketakutan saya menjadi dua kali lipat.

Kami menuruni jalur itu dengan cepat sambil mempertahankan jarak aman satu sama lain. Namun, lama kelamaan, jalur itu semakin sempit, bukannya melebar. Semakin jauh melangkah, jalur setapak mulai hilang. Tidak sadar, kami kehilangan jalan. Panik, kami memanggil satu sama lain.

“Woi, mana jalannya? Kok ilang ini!” Teriak teman saya dari belakang. Sementara itu, teman kami yang tidak pingsan mengeluarkan suara rintihan dari bibirnya. Saya kehilangan kata-kata. Yang ada cuma panik. Beberapa teman mulai saling menyalahkan. Tak sadar, volume suara kami makin keras sebelum tiba-tiba ada suara berat yang terdengar nyaring di telinga. Suara orang marah.

“TURUN! PULANG!”

Suara itu seperti bergema di kepala saya. Suara berat itu disusul hujan kerikil. Ada yang begitu marah dan melempar kami dengan ribuan kerikil. Panik menyerang dari dua sisi; teror suara itu dan jalan setapak yang menghilang. Setelah merapal doa, teman di belakang saya berteriak, “Belok kiri! cepet!” Saya nggak tahu usul itu muncul dari mana, tetapi kami menurutinya. Tidak lama kemudian, jalan setapak mulai terlihat lagi.

Ketika pintu masuk pendakian terlihat, tengkuk saya seperti disiram air es. Dingin, tetapi ada rasa lega yang meledak di dada. Akhirnya. Pulang. Rumah.

Sesampainya di bawah, mas penjaga heran. Dia bilang: “Lho, Mas, belum dua jam kok sudah balik? Ada yang ketinggalan?”

Biangane! Saya memaki dalam hati. Berani memaki karena sudah sampai bawah. Kok baru dua jam? Ketika hendak turun tadi, saya melihat langit sudah semakin temaram. Saya merasa sudah mendaki seharian penuh, bahkan takut kemalaman sebelum sampai bawah. Apa yang terjadi? Kenapa mas penjaga bilang kami baru pergi dua jam? Apa yang sebenarnya terjadi di atas sana?

Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab itu mengiringi kepulangan kami. Teman kami yang kesurupan dan pingsan tadi menyempatkan cuci muka dan menenangkan diri. Setelah sore, kami memutuskan pulang dengan segala pertanyaan yang ada.

Saya kira masalah sudah selesai sampai di sana.

Hari sudah malam ketika saya sampai rumah. Badan ini letih sekali. Setelah mandi dan membongkar tas carrier, saya merebahkan diri di atas kasur dan menarik nafas dalam-dalam. Saya merasa sudah tertidur. Sangat lelap. Bahkan saya tidak bermimpi ketika suara ketukan terdengar dari pintu rumah.

Saya terbangun. “Duh, lagi enak tidur, malah ada tamu. Siapa pagi buta gini namu.” Dengan perasaan berat, saya beranjak dari kasur. Saya mendekati pintu dengan ketika bunyi ketukan semakin keras dan terdengar rapat. “Iya, iya, sebentar. Siapa, ya?” Saya mencoba memanggil.

Pintu rumah saya terbuat dari kayu murahan. Tapi, saya bangga dengan pintu itu berkat hiasan kaca berwarna-warni berukuran besar di tengah pintu. Tamu yang datang pagi buta itu nampaknya suka sama hiasan kaca itu. Dia mengetuk bagian kaca menggunakan kuku. Suaranya khas.

Ceklek! Kunci pintu saya buka. Semilir angin dingin menyeruak dari arah luar.

“Siapa?”

Saya terpaku di depan pintu yang terbuka separuh. Tidak ada siapa-siapa di sana selain sebuah potongan tangan. POTONGAN TANGAN! Karena terpaku, saya sempat memperhatikan anatomi potongan tangan itu. Sebuah tangan yang ukurannya dua kali lipat tangan manusia. Berwarna hitam kehijauan dengan kuku-kuku menyeruak seperti tanduk. Tidak panjang, tapi terlihat mengancam.

Saya sudah ikhlas kalau potongan tangan itu mencekik saya. Kaki saya seakan-akan terpaku ke tanah. Namun, beberapa detik kemudian tangan itu menghilang….

Keringat dingin membahasi punggung. Saya mulai bisa bergerak. Pelan-pelan, setelah menarik nafas panjang beberapa kali. Di depan kamar saya ada sebuah meja kecil. Di sana ada dua botol air mineral. Saya ambil satu dan langsung saya tandaskan. Masih belum percaya dengan apa yang saya lihat, kepala saya reflek menengadah melihat ke arah jam dinding.

Masih ingat dengan perkiraan saya bahwa saat itu sudah pagi? Ternyata, kejadian itu cuma berjarak tidak lebih dari 10 menit setelah saya berbaring!

Padahal saya yakin betul sudah memejamkan mata cukup lama. Tidur saya super nyenyak. Apa yang terjadi kepada saya? Kenapa harus saya?

Kepala saya tiba-tiba berat sekali dan sedetik setelah ambruk di kasur, saya tertidur. Kali ini tertidur “secara normal”.

Saya terbangun selepas pukul 10.00 pagi. Ibu saya menegur saya ketika keluar dari kamar.

“Kamu kok tidurnya malem banget? Apa nggak capek habis naik gunung? Malah begadang nonton tivi. Ibu panggil diem aja. Kalau udah nonton bola jadi budeg, ya?”

Deg….

Aduh, apalagi ini. Saya ingat betul sudah tertidur malam tadi. Bahkan kayak orang pingsan setelah melihat potongan tangan. Siapa yang nonton tivi sampai pagi? Saat itu juga saya kembali teringat satu nama: genderuwo. Apa ada gendruwo yang nempel ke saya setelah dari gunung? Aduh.

Saya berusaha tidak memikirkannya ketika melangkah ke beranda belakang untuk mencuci sepatu dan kaos yang saya pakai naik gunung. Saya duduk di sebuah kursi kecil di sebelah ember besar. Sepatu saya penuh lumpur, padahal di gunung tidak hujan.

Karena badan ini masih sangat lelah, saya menggosok sepatu itu seperti tanpa tenaga. Pikiran saya juga ikut lelah. Menerawang.

Kamu tentu bisa membayangkan ketika duduk di sebuah kursi kecil dan menunduk untuk menggosok cucian, terkadang kamu bisa melihat kakimu sendiri. Kamu punya berapa kaki? Tentu dua, kalau kamu manusia. Tapi, siang itu, saya melihat kaki saya ada tiga! Satu kaki tambahan itu ada di sebelah kaki kanan. Berjejer.

Kaki itu berwarna hitam kehijauan, berlumpur. Satu detik kemudian, saya tersadar. Reflek, saya memutar badan ke belakang. Saya sudah memperkirakan akan melihat badan besar genderuwo. Tapi tidak, di belakang kepala saya, hanya ada potongan tangan tadi malam. Menggantung dengan bebas. Duh, ini sepasang.

Saya mencoba tidak panik, meski nafas memburu. Saya ingin berterik memanggil ibu. Tapi apa daya, yang keluar cuma gerutuan tidak jelas. Random sekali, saya memutuskan terus menggosok sepatu. Lama sekali, sampai jari-jari tangan saya berkerut. Saya tidak berani beranjak dari kursi kecil itu. Selama itu pula potongan kaki genderuwo setia menemani saya. Saya sudah pasrah. “Terjadilah kepadaku menurut Kehendak-Mu,” doa saya dalam hati.

Berbagai jenis doa saya daraskan. Tidak ada efeknya. Kaki dan, saya yakin, potongan tangan genderuwo itu masih pada tempatnya. Konsisten betul. Sialan. Menjelang tengah hari, setelah kaki saya terasa kesemutan, mungkin keram, saya beranikan beranjak. Kaki dan potongan tangan itu sudah hilang.

Setelah menenangkan diri dan mengisi perut, saya ceritakan pengalaman saya kepada Bapak. Runtut, dari sejak naik gunung sampai mencuci sepatu ditemani genderuwo. Setelah mendegar cerita saya, Bapak menelepon Om saya. Om saya ini, boleh dikatakan “orang pintar”, tapi memilih fokus untuk menyembuhkan orang sakit dengan metode pijat.

Menjelang sore, sekitar pukul 15.00, Om saya datang ke rumah. Tanpa basa-basi, Om mengeluarkan botol kecil. Ketika botol itu dibuka, aroma wangi mawar menyeruak. Dia menggosok telapan tangan kanan dan kiri menggunakan minyak mawar itu.

Setelah rata, dia menyuruh saya duduk dan membuka kaos. Sambil membaca doa, Om saya memijat punggung saya. Dari tengkuk, perlahan bergeser ke tulang belikat, sampai ke atas tulang ekor. Setiap pijatan membuat dada saya seperti diinjeksi oksigen. Segar sekali. Rasa lelah masih terasa, tetapi pikiran saya lebih ringan.

“Untung belum masuk ke sumsum sama tulang ekor.”

“Hee? Maksudnya, Om?”

“Ini kalau sudah masuk sampai sumsum dan tulang ekor, bakal sulit dilepas.”

“Genderuwo?” Tanya saya dalam hati.

“Nah, sebelum maghrib, segera mandi, lalu berdoa yang khusyuk. Jangan berhenti berdoa sebelum maghrib selesai. Nanti malam, kalau ada yang ketuk pintu lagi, jangan dibukain. Biar nanti “dia” nggak masuk lagi,” pesan Om saya sebelum pergi.

Jadi, yang ibu saya lihat tadi malam adalah “dia”, genderuwo, yang saya bukakan pintu. Kalau mengingat kejadian itu, tengkuk saya tiba-tiba jadi dingin.

Selama dua minggu lebih, suara ketukan pintu itu masih terdengar. Meski mulai terbiasa, setiap mendengar bunyi kaca diketuk, tengkuk saya jadi dingin lagi. Takut.

Saya berani bercerita lewat tulisan sebagai bentuk pengingat saja: jaga sikap ketika naik gunung.

Untung saya masih bisa pulang….

BACA JUGA Tergoda Pesugihan Genderuwo yang Meminta Tumbal Manusia atau teror-teror makhluk halus lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version