Darah Mengalir di Pondok Pesantren AS

Darah Mengalir di Pondok Pesantren AS MOJOK.CO

Ilustrasi Darah Mengalir di Pondok Pesantren AS. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBola api di tepi hutan itu ternyata hanya pembuka sebuah teror yang tak pernah saya duga. Ketika darah mengalir di pondok pesantren.

Tahun 2016, menjadi perjalanan saya menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas. Ya, saat itu adalah tahun ajaran baru bagi para siswa baru. Selain memilih sekolah yang memiliki rekam jejak yang bagus, hal lain yang biasanya menjadi pertimbangan adalah tempat tinggal. Namun, hal ini tentu hanya berlaku bagi para siswa yang memiliki rumah yang cukup berjarak dengan sekolah, seperti saya.

Jarak rumah ke sekolah yang cukup jauh membuat saya harus mengambil keputusan dengan kadar kebingungan level medium, yaitu antara menetap sebagai anak kos atau masuk pesantren. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. 

Kehidupan kos akan lebih fleksibel dibanding kehidupan pesantren dengan aturan-aturan yang memberatkan. Terutama bagi saya yang tidak senang diatur-atur. Namun, biaya kos dua kali lipat lebih mahal dibanding biaya pesantren pada saat itu. Bingung, kan?

Saya adalah anak yang terlahir dari keluarga buruh tani. Jadi, masalah ekonomi saat itu cukup menjadi pertimbangan yang serius. Akhirnya, setelah diskusi dengan orang tua, dan juga atas hidayah Tuhan Yang Maha Esa, saya memutuskan untuk tinggal di sebuah pesantren yang jarak tempuhnya hanya sekitar 10 menit untuk sampai ke sekolah. Keputusan yang luar biasa bagi saya.

Awal masuk pesantren

Sebut saja pesantren AS. Sebuah pesantren yang bersih, rapi, dan nyaman. Biaya tinggal di sana cukup ramah di kantong saya, hanya Rp90 ribu per bulan dan membawa beras 10 kilogram. Akhirnya, saya memutuskan untuk menetap di pesantren itu dengan persetujuan dari bapak dan ibu. Beruntungnya, saya tidak sendiri. Dua teman SMP saya ikut menetap di pesantren tersebut. Panggil saja Ani dan Ria.

Sebelum akhirnya mendapat kobong (sebutan kamar di lingkungan pesantren), saya, Ani, dan, Ria diarahkan oleh santri senior untuk melihat-lihat kobong yang masih tersedia. Saat itu, ada sembilan kobong yang terbagi dalam dua wilayah, yaitu wilayah selatan dan utara yang terhalang koperasi dan rumah kiai. Kobong-kobong di wilayah utara ukurannya rata-rata sempit. Apabila satu kobong dihuni oleh belasan santri, maka akan cukup sesak.

Sementara kobong-kobong di selatan cukup luas, sehingga akan cukup nyaman, pikir saya. Selain itu, santri-santri senior banyak yang menetap di kobong wilayah selatan. Artinya saya akan lebih banyak belajar tentang kehidupan santri jika saya menetap di kobong tersebut. Ani dan Ria juga memiliki pikiran yang sama dengan asumsi saya. Akhirnya, kami bertiga memilih kobong nomor dua sebagai tempat untuk tidur dan memulai kehidupan di pesantren.

Budaya di pesantren yang membuat saya sulit beradaptasi

Kebudayaan dan gaya hidup di pesantren membuat saya cukup kesulitan beradaptasi. Pasalnya, saya memang tidak memiliki latar pendidikan agama yang baik. Keluarga saya juga tidak ada yang pernah mengecap menjadi seorang santri. Ya cuma saya. 

Berbeda dengan Ria dan Ani. Ria pernah hidup di pesantren semasa SMP selama tiga tahun, sedangkan Ani memiliki Ayah yang juga dulunya seorang santri. Jadi, setidaknya mereka memiliki latar belakang tersebut, yang saya pikir akan cukup sebagai bekal mereka untuk menyesuaikan diri.

Kebiasaan santri yang hanya makan dua kali sehari, tidur di atas pukul 11 karena harus mencuci dan menjemur pakaian malam-malam, bangun sebelum pukul tiga dini hari untuk tahajud, tidak boleh tidur sesudah subuh, mengkaji banyak kitab, dan kegiatan-kegiatan lain terasa sangat asing bagi saya. Banyak aturan yang harus dipatuhi, dan bagi saya yang “begajulan”, tentu sedikit tertekan. Namun, karena menjadi santri adalah keputusan saya, maka saya harus menjalaninya.

Awal hingga pertengahan bulan, tidak ada hal-hal yang membuat saya terganggu. Hanya masalah mengantre untuk mandi yang sering membuat saya kesal. Saya selalu ditaruh di antrian paling terakhir. Hingga pada pertengahan bulan inilah saya menemukan hal-hal luar biasa yang otak saya saja pusing memikirkannya.

Gangguan pertama di lingkungan pesantren

Malam itu, saya ingat sekali adalah malam Senin. Setelah salat Isya berjamaah, semua santri kelas ibtida’ (kelas 1), termasuk saya, melanjutkan mengaji kitab Safinah di sebuah tempat yang santri-santri di sana menyebutnya sebagai madrasah. Posisinya saat itu, keadaan di luar sedang hujan. Tidak terlalu lebat, tetapi juga tidak terlalu gerimis. 

Saat sampai di madrasah, saya sengaja mengambil posisi duduk paling belakang. Persis duduk di dekat dinding yang berjendela. Posisi tersebut tentu sangat pas bagi saya yang sedang malas belajar. Maklum, tidak kelihatan oleh ustaz.

Saya gambarkan terlebih dahulu posisi detail tempat saya duduk. Di seberang dinding yang saya sandari, terdapat dinding lain yang juga berjendela. Tidak ditutupi gorden atau penghalang karena memang madrasah tidak se-privat itu. Jadi, semua aktivitas di luar dapat terlihat melalui jendela. Pada malam hari, tentu tidak akan ada aktivitas, sebab di balik jendela seberang itu hanyalah hamparan sawah dan hutan.

Entah karena memang sudah terlalu malas belajar atau bagaimana, dibanding memperhatikan ustaz, mata saya lebih tertarik memperhatikan keadaan di luar yang masih hujan dan gelap. Padahal, saya juga tahu di luar sana tidak akan ada yang penting untuk dilihat. Sekitar 10 menit mata saya tidak beralih dari jendela tersebut. Rasanya lebih damai melihat hujan. Hingga perlahan dan samar-samar, pandangan saya terfokus ke satu titik.

Yang tertangkap oleh manik mata saya, di tengah kegelapan itu, ada sebuah cahaya keemasan. Ia berayun-ayun, dan entah dari mana munculnya. Seolah tiba-tiba terekam retina saya. Saya pikir, cahaya sebesar bulatan koin itu adalah sorot lampu motor yang sedang melintas di jalanan. Sekali lagi saya tekankan bahwa di balik jendela tersebut adalah hamparan sawah dan hutan. Tapi saat itu, saya belum paham. Jadi, saya masih berpikir bahwa itu adalah sorot lampu motor.

Dari situ, saya mencoba untuk mengalihkan pandangan saya ke ustaz. Setelah hampir lima menit fokus ke penjelasan ustaz, rasa penasaran menyuruh saya untuk kembali menengok ke arah jendela. 

Mata saya memicing, karena ternyata cahaya itu masih berayun-ayun di posisi yang sama. Tidak berubah. Dari itulah saya baru paham bahwa di belakang jendela itu adalah hamparan sawah yang disambung hutan. Itu artinya, apa yang saya lihat bukanlah sorot lampu motor. Lagipula, motor yang melintas pasti berjalan. Tidak mungkin berdiam di satu titik saja.

Bola api di tengah hujan

Entah kenapa mata saya seolah ingin terus memperhatikan cahaya tersebut. Saya perhatikan dengan seksama, cahaya itu semakin lama terlihat semakin besar. Yang tadinya hanya sebesar bulatan koin, lama-lama hampir sebesar bulatan gelas. 

Saya juga baru menyadari bahwa cahaya yang saya lihat itu tampak seperti bola api. Saya masih bisa berpikir secara logis dan positif. Di pikiran saya saat itu, mungkin memang ada orang sedang membuat api unggun di hutan atau sedang mengusir hama di sawah memakai bakaran. 

Namun, sepersekian detik kemudian, saya cepat-cepat memutar kepala ke arah jendela dekat tembok yang saya sandari. Dan itu posisinya masih hujan. Jadi, sangat tidak mungkin api menyala di tengah hujan. Ditambah cahaya itu berayun-ayun, tidak diam di satu titik saja.

Pikiran saya sudah benar-benar sangat tidak fokus. Kemudian saya memberanikan diri untuk kembali menengok ke jendela di seberang. Cahaya mirip api itu masih ada, masih berayun-ayun. Hingga akhirnya cahaya mirip api itu perlahan menghilang saat ustaz mengakhiri kajian kitab Safinah malam itu. 

Saya tidak cerita ke Ani maupun Ria. Tidak bercerita kepada siapa-siapa. Hanya saja, dua hari setelah kejadian janggal itu, tiga santri senior bersama saya dan Ria berbincang-bincang tentang pengalaman mistis masing-masing. Entah siapa yang memulai, tapi obrolan mengalir begitu saja hingga berakhir pada topik tersebut.

Sebuah kejanggalan

Saya, Ria, dan beberapa santri senior di pesantren saling bertukar cerita selepas Magrib, karena kebetulan semuanya sedang haid. Jadi, kami tidak ikut ke madrasah maupun ke masjid. Saya, Ria, dan tiga santri senior, sebut saja namanya Kak Idah, Kak Neneng, dan Kak Wulan, mulai menceritakan pengalaman masing-masing. 

Mulai dari Ria yang pernah diserupai jin, Kak Neneng bertemu dirinya sendiri di kamar mandi rumah sakit, Kak Idah yang selalu dibisiki tiap malam di kamar rumahnya, dan Kak Wulan yang pernah kesurupan hingga rohnya dibawa ke istana gaib di bawah laut. Sementara saya, yang sama sekali belum pernah mengalami hal mistis hanya asik mendengarkan.

“Kamu nggak pernah ngalamin hal-hal kayak gitu?” Tanya Kak Neneng tidak percaya.

Saya mengiyakan. Tapi setelah itu, saya tiba-tiba teringat dengan kejadian aneh tentang cahaya mirip api yang sebelumnya saya lihat dari jendela di seberang madrasah. Saya tidak terlalu yakin ini masuk ke pengalaman mistis atau bukan, tapi pada akhirnya saya ceritakan kepada empat orang yang ada di kobong itu secara rinci. Semua santri senior menampilkan wajah yang sedikit terkejut dan saling berpandangan.

“Oh, jadinya yang kena itu kamu?” Timpal Kak Idah.

Saya mengernyit tidak paham. Maksudnya, kena apa, nih? Batin saya.

“Itu cahayanya deket, nggak?” tanya Kak Wulan.

Saya jawab seadanya, seperti apa yang saya lihat. Faktanya, memang cahaya tersebut sebesar bulatan gelas dan di penglihatan saya terbilang cukup jauh. Tiga santri senior itu seperti bernafas lega. Saya semakin bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya saya lihat dan kenapa reaksi yang mereka berikan seperti tersirat kekhawatiran.

“Itu bola api. Biasanya menampakkan diri ke salah satu santri yang baru masuk ke pesantren ini. Udah biasa, udah dari dulu. Katanya, kalau bola api itu kelihatan jauh berarti kamu aman, tapi kalo kelihatannya dekat di mata kamu, kamu harus hati-hati,” jelas Kak Idah yang jujur itu membuat bulu kuduk saya merinding.

“Tapi gak usah dipikirin, ya. Kamu aman kok kalo memang kelihatannya jauh.” Kak Neneng menenangkan.

Saya hanya mengangguk-ngangguk, padahal saya masih merasa tidak tenang. Pasalnya setelah bercerita itu, kejadian aneh lagi-lagi saya alami di pesantren ini. 

Kamar mandi pesantren

Kejadian ini terjadi sekitar pukul 11 malam setelah kami bertukar cerita. Perlu diketahui, ketika sedang haid, saya adalah tipe orang yang selalu merasa tidak nyaman jika tidak ganti pembalut sebelum tidur. Alhasil, di pukul 11 malam itu, saat santri-santri lain sedang bercengkrama di kobongnya masing-masing, saya ke kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa langkah dari kobong. 

Posisi kamar mandi pesantren hanya terhalang oleh kobong nomor satu dan anak tangga yang menuju tempat penjemuran baju. Biar ada gambaran, jadi dari kobong saya menuju kamar mandi itu arahnya membentuk huruf T. Lurus, lalu ada persimpangan, kiri dan kanan. Posisi anak tangga itu berada sebelum belok ke arah kiri.

Ada tiga kamar mandi di pesantren. Dua di sebelah kiri dan satu di sebelah kanan. Kamar mandi di sebelah kanan, posisi pintunya tertutup dan terdengar suara gayung yang menyibak air. Artinya, ada orang di dalam. Saya menengok ke sebelah kiri yang mana ada dua kamar mandi, tapi salah satunya sudah tidak berfungsi. 

Kamar mandi pesantren yang tidak berfungsi itu letaknya persis bersebelahan dengan anak tangga. Sementara kamar mandi yang masih berfungsi adalah yang paling ujung. Kamar mandi yang berfungsi hanya ditutupi gorden, bukan pintu. Dan sama. Kamar mandi di ujung itu juga gordennya tertutup, ada sibakan air pula. Alhasil, saya harus menunggu. Saya duduk di anak tangga yang bersebelahan dengan kamar mandi yang rusak itu.

Lima menit… 10 menit. Belum ada juga yang keluar, baik dari kamar mandi di kanan maupun kiri. Saya yakin, orang di kamar mandi sebelah kanan itu sedang mencuci baju karena terdengar suara ember saling beradu. Berbeda dengan kamar mandi di sebelah kiri yang hanya terdengar sibakan air tipis-tipis. Saya tidak tahu orang yang berada di dalamnya sedang apa. 

Selang beberapa menit, saya kaget karena di depan saya ada aliran air bercampur darah yang asalnya dari arah kiri. Jadi memang tepat di depan saya duduk itu, ada semacam selokan. Selokan tersebut adalah tempat mengalirnya air pembuangan dari kamar mandi di sebelah kiri. Jadi, kalau misal ada aliran air di selokan itu, artinya ada orang yang sedang mengisi kamar mandi kiri.

Aliran darah

Saya tidak bisa langsung menengok ke kamar mandi di sebelah kiri. Sebab, dari anak tangga (tempat saya duduk) yang menghadap alir selokan itu ada space sekitar 60 sentimeter dan terhalang tembok kamar mandi yang tidak berfungsi itu. Saya berdiri, kemudian segera melangkah maju agar bisa melihat keadaan sekitar kamar mandi dari luar. Saya takut jika orang di dalam kamar mandi itu melakukan percobaan bunuh diri atau jatuh dan terbentur sesuatu.

Setelah saya maju beberapa langkah dan melihat keadaan dari luar, ternyata memang aliran darah itu berasal dari kamar mandi tersebut. Saya perhatikan dari jauh, aliran darah yang bercampur air itu seperti tersendat-sendat, dan saat itu saya langsung berpikir bahwa itu adalah aliran darah dari orang yang sedang mencuci darah haid di pembalutnya. Atas pikiran itu, saya lebih merasa tenang.

Akhirnya, saya kembali duduk di anak tangga, dan mata saya terus disajikan aliran darah saat itu. Selang lima menit, aliran darahnya tidak kunjung berhenti. Batin saya, apa sebanyak itu darah haidnya? Ditambah dengan warna darah yang mengalir itu tidak memudar atau tidak menunjukkan tanda-tanda akan bersih. 

Saya mulai deg-degan, takut dengan overthinking saya sendiri. Lagi-lagi saya bangkit, kembali memperhatikan aliran darah tersebut dari arah kamar mandi pesantren. Tetap sama. Aliran darahnya tetap tersendat-sendat dan warnanya tidak memudar.

Akhirnya, dengan segenap keberanian, saya mencoba mendekati kamar mandi tersebut. Khawatir saya, memang ada kecelakaan di kamar mandi atau parahnya ada yang melakukan percobaan bunuh diri

Saya juga tidak mau disalahkan karena tidak segera memberitahu ke pihak pondok pesantren. Setelah sampai di pinggir gorden kamar mandi, saya berusaha sesopan mungkin dengan permisi dan menanyakan ada atau tidaknya orang di dalam. Tidak ada jawaban.

Kenyataan di dalam kamar mandi

Saya masih melihat aliran darah itu persis mengalir di sebelah kaki saya. Saya mencoba untuk permisi sekali lagi, barangkali yang di dalam tidak mendengar. Tetap hening. 

Karena tidak ada jawaban itulah pada akhirnya saya berani untuk perlahan-lahan membuka gorden kamar mandi. Saya jelaskan bahwa posisi saya saat permisi-permisi itu membelakangi gorden. Dari ekor mata, saya tidak melihat orang. Sampai akhirnya saya sibak gorden tersebut dengan satu kali hentakan. Saya langsung balik badan menghadap kamar mandi. Dan apa yang saya lihat? Tidak ada apa-apa.

Saya menunduk, aliran darah itu pun tidak ada. Saya menengok ke arah selokan tempat darah mengalir itu pun bersih. Tidak ada bau anyir sama sekali. Otak saya blank sebentar, sampai akhirnya saya sadar dan lari menuju kobong. Yang niat awalnya saya ingin mengganti pembalut, tidak jadi! Bodo amat!

Besoknya, saya pingsan saat upacara peringatan Hari Guru. Setelah dicek tim medis, tekanan darah saya turun drastis menjadi 70/80. Hingga perawat di pesantren yang memeriksa saya bilang, “Kok di tekanan darah segini masih bisa bertahan, ya?”. Saya hanya diam. 

Setelahnya, saya demam selama tiga hari dan berlanjut dirawat di rumah sakit karena tekanan darah saya yang tak kunjung naik. Setelah kejadian-kejadian aneh itu juga, saya memutuskan untuk keluar dari pesantren dan memilih kos.

Penulis: Juju Junengsih

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA TPU Samaan Malang: Misteri Sebuah Jalan yang Tak Berujung dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version