Cerita Horor KKN yang Membuat Kami Takut Pada Jendela

MOJOK.CO Semua orang punya cerita horor KKN yang tak akan mudah dilupakan. Bagi saya dan 7 orang teman, cerita kami selalu bisa membuat bulu kuduk berdiri kalau dibayangkan.

Semasa kuliah, saya mengikuti kegiatan KKN-PPL sebagai mahasiswa jurusan pendidikan selama 2,5 bulan di Mungkid, Magelang. Kelompok kami berisi 8 orang, tapi hanya 1 orang yang merupakan laki-laki. Di rumah kontrakan, saya tinggal bersama 6 teman perempuan lainnya, sedangkan si laki-laki tinggal di sebuah kos-kosan dekat rumah kami. Selama tiga per empat perjalanan kami KKN dan PPL, segalanya terasa lancar dan membahagiakan.

Segalanya berubah di seperempat perjalanan terakhir kami gara-gara cerita horor KKN.

Saat itu, sekolah tempat PPL mengadakan kemah Sabtu-Minggu. Seluruh anggota kami, delapan orang, datang ke sekolah untuk menyemarakkan acara dan menjadi penjaga para murid. Di prosesi api unggun, kami menyumbang pentas tari dengan iringan lagi Fortune Cookie yang Mencinta-nya JKT48.

Mendadak, saat masuk ke reffrain kedua, salah satu dari murid kesurupan dan berteriak-teriak meracau tak jelas.

Sontak, kerumunan murid berhamburan, ketakutan. Acara hiburan dibatalkan. Kami, Mbak-Mbak dan Mas-Mas PPL, diminta memandu murid-murid untuk tidur di kelas-kelas yang disediakan. Tiba-tiba, satu murid lagi—kali ini dari pengurus OSIS—berteriak dan menggeletak tak sadarkan diri. Pingsan.

Suasana kian mencekam saja. Salah seorang anggota kelompok KKN-PPL kami mulai menangis. “Aku pengin pulang,” rengeknya.

Tadinya, kami bertahan di sekolah malam itu. Namun, karena Sinta, anggota kami itu, menangis terus, sebagian dari kami memutuskan pulang ke rumah kontrakan: saya, Sinta, Ria, dan Ningsih. Sementara itu, sisanya—Anto, Tari, Ulfa, dan Tia—bertahan di sekolah untuk menjaga keamanan anak-anak.

Malam rasanya mengerikan secara mendadak. Saat itu, jam menunjukkan pukul 11. Di rumah kontrakan, Ria bilang, “Untung kita pulang. Sinta tadi diincar.”

“Diincar siapa?” tanyaku.

Ria tidak menjawab, tapi kami mengerti. Ria bisa ‘melihat’ apa yang tidak bisa kami lihat dengan mata telanjang.

Kami pikir, Anto, Tari, Ulfa, dan Tia akan menginap. Tapi, tepat pukul 12 malam, mereka datang kembali ke rumah. Sekilas tidak ada yang aneh, tapi sorotan mata Tia jelas berbeda.

“Ti,” panggil Sinta. Tia melotot. Sinta mengkeret.

“Dia aneh,” bisik Tari, “Mungkin ketempelan. Kalau kalian lihat, bayangannya sejak di sekolah tadi juga aneh. Seakan-akan ada bayangan hitam yang menarik kakinya.”

Lima menit kemudian, Tia meraung-raung di kamar. Kami bertujuh mengelilinginya karena kaki dan tangan Tia seperti meronta-ronta tak tentu arah. Matanya melotot ke arah pintu dan berteriak, “Ada di sana! Ada di sana!”

Seseorang menyentuh jempol kaki Tia, tapi lalu ditendang kasar-kasar, “SAKIT!”

Baru kali itu, saya melihat fenomena kesurupan—atau mungkin ketempelan, entahlah. Yang jelas, cerita horor KKN kami benar-benar dimulai.

Saya diminta membaca Alquran, sementara teman yang lain memegangi Tia yang kian kesetanan. Saya duduk membaca ayat kursi sambil, membelakangi jendela, menghadap ke arah Tia.

Saat itulah saya merasakan panas luar biasa di bagian tengkuk. Panas yang berbeda dari sengatan sinar matahari. Aneh.

Malam terasa panjang sekali. Petinggi desa datang untuk memastikan keadaan Tia baik-baik saja. Pemuda desa turut berjaga di depan rumah, takut kalau terjadi sesuatu. Tengkuk saya yang panas sudah dilupakan, sampai kemudian di pagi hari Tia sudah siuman. Hal pertama yang ia lakukan ketika bangun adalah mencari-cari saya untuk berkata,

“Tadi malam, yang paling besar ada di belakangmu.”

Sosok di belakang saya, kata Tia, adalah yang paling besar, tinggi, berbulu, dan mengancam. Ia memaksa masuk melewati jendela, tapi terhambat dengan ayat kursi yang saya baca berulang-ulang.

Setelah Tia kesurupan, rumah kontrakan kami seperti festival mistis tak berkesudahan, seperti telah diskenariokan menjadi cerita horor KKN. Agaknya, makhluk yang paling besar tadi mulai ‘mengundang’ teman-temannya.

Di lorong dalam rumah, Tari pernah duduk menunggu giliran untuk salat karena mukenanya sedang dipakai Tia. Saat itu masih sore hari dan semuanya terasa normal. Tiba-tiba, ada bau melati menyeruak, diikuti bau berikutnya: bau amis darah.

Usut punya usut, ‘Tante Kun’ datang masuk ke dalam rumah kami. Menurut Ria, segalanya terasa mudah bagi makhluk-makhluk ini untuk datang setelah malam itu terjadi.

Teror berikutnya muncul malam hari. Kami semua tengah merancang RPP untuk keperluan PPL esok hari. Hening, lampu tiba-tiba mati saat kami sedang berbincang ringan mengenang kejadian di malam Tia kesurupan.

Kami ketakutan, berebut keluar dari rumah kontrakan. Anehnya, di luar rumah, semua lampu menyala terang dan tak ada seorang pun terlihat. Padahal, biasanya, pos ronda di sebelah rumah kami tak pernah absen diisi pemuda desa.

Paginya, kami berjamaah salat Subuh, lalu diikuti dengan rutinitas baca Alquran masing-masing.

Saat sedang membaca, Tia berbisik, “Sini, kalian ke sini. Lihat, deh.”

Kami diajak berkumpul di kamarnya. Tia menunjuk ke arah jendela yang ditutupi gorden. Jendela itu bergoyang kencang sekali sampai terdengar suara yang cukup keras. “Mungkin angin?” tanyaku. Tidak ada yang menjawab, karena jendela kami memang terbuat dari kayu yang sangat kuat.

“Kita buka gordennya, ya?” tanya Tia. Kami mengangguk, lalu menghitung bersama-sama, “Satu… Dua…”

“…Tiga!”

Gorden dibuka. Jendela itu langsung diam tak bersuara. Tidak ada siapa-siapa. Kami menggoyangkan jendela—tidak bisa. Kokoh.

Merinding, saya masuk ke kamar sendiri bersama Sinta. Kami berusaha tidur lagi sebentar agar lupa pada apa yang akan kami kenang sebagai cerita horor KKN ini.

Tapi, secara tak sengaja, saya melihat ke arah jendela. Ada bayangan bulat yang berjalan ke arah kanan dari luar jendela.

“Eh, ada Iqbal, tuh, lewat,” gumam saya. Iqbal adalah nama salah satu tetangga kami, masih kelas 1 SD. Jendela kami cukup rendah, jadi saya yakin ukurannya cukup dilewati Iqbal.

Sinta diam mendengar kata-kata saya, lalu berbisik, “Apa, Li?”

“Itu, barusan Iqbal lewat. Bayangan kepalanya kelihatan. Kamu lihat, kan?”

“Nggak.”

“Ke arah sana, ke kanan,” tambah saya, sedikit panik.

Kami membuka jendela bersama-sama dan menoleh ke kanan. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali tembok yang mengarah ke rumah kosong di sebelah kami. Tidak ada yang tinggal di sana lagi sejak lama, kata warga.

Kami berusaha mencari Iqbal dari tempat kami berdiri. Tapi, tetap saja: tidak ada siapa-siapa. Lagi pula, mana ada anak usia 6 tahun berkeliaran begitu saja, sendirian, pukul setengah 5 pagi, sih?! (A/K)

Exit mobile version