Antara Hidup dan Mati di Bibir Jurang: Seri ke Gunung Salak yang Mistis (Bagian 2)

Tiba-tiba saya teringat penampakan di belakang Bambang saat itu. Apa mungkin sosok itu yang menjawab saya tadi?

Antara Hidup dan Mati di Bibir Jurang: Seri ke Gunung Salak yang Mistis . MOJOK.CO

Ilustrasi Antara Hidup dan Mati di Bibir Jurang: Seri ke Gunung Salak yang Mistis. (Mojok.co/ega Fansuri)

MOJOK.COSecara samar dari bibir jurang Gunung Salak, saya sepertinya melihat penampakan di belakang Bambang. Sosok yang menyeramkan dengan mata merah dan taring yang mirip seperti babi hutan. 

Baca dulu bagian 1 di sini: Silaturahmi ke Gunung Salak yang Mistis: Hutan Bambu yang Penuh Kuntilanak (Bagian 1)

Saya mulai merasa lelah. Saat itu di Pos 1 yang penuh drama, saya hanya diam dengan pikiran kosong. Saya memandangi sekeliling yang dipenuhi oleh kepanikan juga keributan. Saya jadi ingat omongan Simbah waktu itu, kalau memang mungkin saya sudah ditakdirkan dan diizinkan untuk memiliki kelebihan yang berbeda dari orang lain pada umumnya.

Setelah mendengar teriakan kencang perempuan itu, telinga menjadi berdengung. Mungkin juga karena posisi saya yang memang berdekatan dengan perempuan itu, ditambah ia berteriak tepat di telinga saya. Kepala terasa pusing, entah kenapa saya jadi merasa mual. Situasi saat itu benar-benar kacau balau.

Sosok misterius

Di antara kekacauan yang sedang terjadi, samar-samar saya melihat seseorang berdiri tepat di sebelah flysheet. Tampak seperti laki-laki, jujur pandangan agak sedikit kabur waktu itu. Saya hanya bisa melihat tingkah lakunya yang tampak tenang memperhatikan kami yang panik karena pendaki perempuan yang mulai kesurupan itu semakin menjadi. 

Dia terus berteriak meraung-raung, meminta untuk dipulangkan. Miftah, salah satu leader grup itu terus mencoba merapalkan ayat-ayat suci. Tapi entah mengapa tidak berhasil, mungkin dari kami kurang adanya keyakinan?

Bambang yang melihat saya sudah hampir sempoyongan dan ingin pingsan, segera membopong saya menjauh dari kerumunan. Ia membacakan doa dan meniup botol air yang hendak ia suguhkan. “Nih, minum dulu,” kata Bambang. 

Ia membantu saya untuk meneguk air tersebut. Rasa segar itu cukup membuat saya agak sedikit sadar. “Gue capek banget pasti ada aja kejadian-kejadian kayak gini setiap kali kita naik gunung,” ucap saya dengan suara yang agak sedikit lemah. 

“Nggak semuanya, baru dua kali,” ucap Bambang menepuk pundak saya. Saya terkekeh sedikit mendengar ucapannya itu. Padahal hari itu cukup terang dan suara kicauan burung juga masih terdengar, tapi saya dan Bambang malah harus menghadapi orang kesurupan.

Satu jam telah berlalu, dan situasi masih juga belum membaik, kami juga sedang menunggu ranger gunung untuk datang membantu. Sembari menunggu, saya memperhatikan pendaki perempuan itu. 

Miris, kata itu yang bisa saya deskripsikan. Tangan dan kakinya diikat, sebuah handuk menyumpal mulutnya. Saya masih bisa mendengar ia menangis terisak-isak. Saya termenung sejenak, masih kepikiran soal sosok misterius yang sempat saya lihat. Kira-kira siapa dia? 

Pastinya bukan orang biasa sih karena dari cara berpakaian maupun tingkah lakunya benar-benar seperti sudah hal yang biasa baginya. Saya tadinya ingin membahas soal ini ke Bambang, tapi situasinya tidak mendukung. Anak-anak remaja yang naik gunung itu mungkin sudah kena mentalnya melihat temannya kesurupan seperti ini. Bambang di sana hanya membantu agar tidak ada kepanikan sampai ranger gunung datang.

Datang bulan di Gunung Salak yang tak terduga

Situasi saat itu mulai terkendali saat Ranger Gunung Salak datang. Mereka dengan sigap mengevakuasi remaja perempuan itu bersama teman-temannya. Kalau tidak salah, saat itu ada petugas yang sempat menegur kami dan bertanya bahkan ia meminta kami agar tidak melanjutkan perjalanan ke puncak. 

Namun, Bambang menolak hal itu, ia tetap bersikukuh melanjutkan pendakian di Gunung Salak. Kalau saya sih maunya pulang saja, tapi rasanya terkesan jahat kalau saya meninggalkan Bambang sendirian.

Singkat cerita tanpa menghabiskan banyak waktu lagi, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Puncak Salak. Perjalanan menuju Puncak Salak II jujur sangat melelahkan. Tenaga saya mulai habis. Hari sudah mulai sore, sedangkan kami harus mengejar summit sebelum malam tiba. Konsentrasi kami lama kelamaan menjadi menurun akibat kelelahan, apalagi saya. Entah kenapa stamina saya benar-benar buruk sekali saat itu.

Di sela waktu istirahat, saya merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Rasa-rasanya seperti saya mau datang bulan. Karena cukup panik, saya menanyakan ke Bambang apakah celana saya bernoda merah. Bambang mengecek dengan seksama, dan ternyata iya benar ada noda merah di celana saya. 

Mendengar hal itu, jujur saya panik. Waduh, dari sekian banyak tanggal, kenapa harus hari ini. Ini pertama kalinya saya naik Gunung dengan kondisi sedang datang bulan. Rasa was-was juga menyelimuti saya saat itu. Kalau mau balik, lebih bahaya karena hari semakin gelap, tapi kalau melanjutkan perjalanan takut kejadian aneh-aneh.

Saat itu Bambang coba meyakinkan saya bahwa tidak perlu takut. Ia mengatakan, pernah ada temannya sedang datang bulan saat naik gunung dan tidak terjadi apa-apa. Karena hal yang tiba-tiba ini, mau tidak mau kami harus mengejar summit sebelum gelap. Kalaupun ternyata tidak bisa, kami terpaksa harus mencari tempat landai untuk membangun tenda. Saya tidak mau masih berada di jalur pendakian saat gelap. Apalagi di Gunung Salak yang terkenal mistis ini.

Suara yang meminta ke kiri

Kami sih sudah berusaha untuk mencari tempat yang pas untuk membangun tenda, tapi sayangnya saya dan Bambang benar-benar terpaksa melanjutkan perjalanan. Hari mulai gelap, dan kami masih berada di trek pendakian saat kondisi sudah magrib. Saya mengeratkan tangan ke tali carrier, memantapkan setiap langkah. Sebelum itu kami juga sempat berhenti sejenak untuk mengenakan head lamp.

Keterbatasan pandangan karena malam, membuat kami harus ekstra berhati-hati. Posisi saya berada di belakang Bambang kala itu. Saya tidak mungkin berada di depan, karena saya tidak hapal dengan jalur-jalurnya.  

Semakin lama kami berjalan, kegelapan semakin menyelimuti hutan. Keheningan malam itu di hutan Salak benar-benar bikin jantung dag dig dug. Mungkin karena vegetasi nya yang lebat serta jalurnya yang terus menanjak. Suara hewan malam yang menembus heningnya hutan Salak itu membuat bulu kuduk saya merinding. Rasanya pengen pulang banget.

Saya dan Bambang berusaha mengobrol untuk mengusir rasa takut. Saat kami ngobrol ada kejadian aneh pada saat itu. Ketika itu, saya menanyakan ke arah mana kami harus berjalan. Saya mendengar Bambang menyebutkan kiri. Karena sudah kebelet, saya berjalan dengan terburu-buru melewati Bambang.

Saya tidak menyangka ternyata yang hendak saya terobos itu adalah jurang. Saat itu saya kaget dan terpeleset. Secara refleks saya memegang akar pohon yang saya samar lihat di kegelapan. Saya hampir mati saat itu. 

Penampakan di belakang Bambang

Saya mendengar teriakan Bambang. Kami berada di situasi yang cukup gawat darurat. Antara hidup dan mati.

“Bang, tolong bang..,” ucap saya yang terus berusaha bertahan dengan akar pohon itu. Bambang dengan sigap mengaitkan tali dan mengikatnya dengan kuat di batang pohon besar. Ia melemparkan ujung tali. Meminta saya untuk mengaitkannya ke sabuk di pinggang. 

Saya berusaha sekuat tenaga menahan beban badan dan logistik dengan satu tangan. Ketika pengait itu sudah terpasang, saya berteriak dan Bambang pun dengan sigap menarik tali dengan katrol.

Di antara silaunya head lamp Bambang yang menyinari saya, secara samar sepertinya saya melihat penampakan di belakangnya. Sosok yang menyeramkan dengan mata merah dan taring yang mirip seperti babi hutan. “Wahh anjirrrr!!”refleks saya berteriak dan menutup mata. Di saat itu Bambang meraih tas saya dan membantu saya untuk naik dari jurang tersebut

“Nes, woy nes!! Lo gak apa-apa kan?!” Bambang terlihat panik dan ketakutan melihat saya yang terperosok ke jurang saat itu. Saya masih menutup mata dan mengatakan “Gue pengen pulang aja, huhuhu.”

Memang mental saya cupu, saya sudah takut dan enggan untuk membuka mata. Bambang terus dan terus berusaha menenangkan saya. Ia memberikan air dan menyuruh saya untuk meneguk air tersebut. Setelah itu, saya lumayan merasa tenang dan lega sedikit. 

Saya langsung meminta Bambang untuk mengecek sekeliling apakah ada sesuatu. Bambang hanya celingukan ke sekililing dan tidak mendapati apapun. Saat itu saya meminta dia untuk terus berjalan sampai nanti kami menemukan tempat yang pas untuk membangun tenda.

Bermalam sejenak di trek pendakian Gunung Salak

Sekitar 35 menit berjalan, akhirnya kami mendapati bidang tanah yang datar. Walaupun tempatnya sangat terbatas, tapi ini sudah lebih dari cukup. Lebih baik beristirahat dulu daripada harus memaksakan summit

Saya dan Bambang cukup cepat membangun tenda dan perapian. Saya masih sempat mengganti tampon.  Bekas tampon saya masukkan ke dalam kantong plastik hitam dan menyimpannya ke dalam tas. Kala itu, aroma masakan tercium cukup sedap, membuat perut saya mulai meronta-ronta.

Saya membuka kursi lipat di depan tenda, duduk sembari membakar marshmallow yang saya bawa. Masih sempat terpikir sejenak kejadian menakutkan tadi. Bambang menyuguhkan saya nasi goreng untuk saya makan. Ia menepuk pundak saya lalu menempatkan kursi lipat nya di samping saya.

“Kok bisa-bisanya lo ke arah situ sih Nes. Kenapa nggak ikutin gue aja deh,” kata Bambang yang membahas kejadian tadi.

“Hah?! Kan lo sendiri yang bilang ke arah kiri. Gue tadi nanya lewat mana, terus lo jawab arah kiri,” balas saya sembari mengunyah marshmallow bakar.

Bambang memasang ekspresi bingung, ia jelas tidak menjawab apa-apa bahkan tidak mendengar kalau saya menanyakan hal tersebut. Saya sempat terhenti makan mendengar penjelasan Bambang saat itu. Tiba-tiba saya teringat tentang penampakan di belakang Bambang saat itu. Apa mungkin sosok itu yang menjawab saya tadi?

Bambang seperti paham ketika melihat ekspresi saya yang serius berpikir. Ia sedikit menundukkan dan mendekatkan dirinya ke telinga saya. Berbisik pelan dan bertanya apakah saya melihat sesuatu di belakangnya. Saya mengangguk.

Usul Bambang yang nggak seru di pendakian Gunung Salak

Setelah itu kami tidak ingin membahas lagi kejadian tersebut. Ada pepatah yang bilang kalau kita ngomongin hal-hal tabu di gunung itu pamali dan bisa mengundang bahaya. Jadi kami berusaha untuk ngobrol-ngobrol hal lain. 

Waktu itu Bambang sempat menawarkan apakah mau lanjut tektok ke Puncak Salak I. Saya jujur tidak mau, karena melihat stamina kami yang belum siap ditambah kalau mau tektok ke Puncak Salak I setahu saya harus melewati jalur sadel yang terkenal ekstrem itu. Jalur pendakian ke Puncak Salak II saja sudah melelahkan begini, apalagi harus nambah tektok ke Puncak Salak I.

“Tapi seru nggak sih? Soalnya gue penasaran banget, katanya temen gue lewat  jalur situ bisa nemu puing-puing pesawat bekas Sukhoi loh,” kata Bambang yang terlihat excited sembari membuka kameranya untuk mengecek footage yang ia dapat tadi.

“Nggak, sama sekali nggak seru Bang. Inget ya, lebih baik pulang selamat daripada maksain sesuatu yang ambisius. Ingat masih ada hari esok coy,” pungkas saya yang mencoba meyakinkan si Bambang untuk tidak mengikuti sifat ambisiusnya itu.

Setelah makan, saya izin untuk masuk dan beristirahat. Pendakian ke Gunung Salak kali ini benar-benar sangat amat melelahkan. Saya menenggelamkan diri ke dalam sleeping bag dan terlelap tidur dengan cepat.

Waktu itu saya sempat terbangun ketika Bambang masuk ke dalam tenda dan menutup tenda tersebut. Kalau tidak salah dia bilang hujan mulai turun dan memang hawa dingin sudah terasa sekali saat itu. Saya hanya menjawab seadanya dan lanjut tidur lagi.

Suara-suara aneh

Kayaknya kalau tidak salah, saya terbangun lagi di sekitara jam 1 pagi. Hal ini karena ada suara kresek-kresek yang cukup mengganggu dari arah luar. Saya mencoba untuk membangungkan Bambang, meminta ia untuk mengecek keadaan di luar. Takutnya saat itu ada binatang buas sedang berada di sekitar tenda.

Bambang kala itu tidak merespons apa-apa, ia tetap tertidur lelap dan akhirnya saya juga bodo amat dengan suara tersebut. Saya tidur kembali, lebih tepatnya berusaha untuk tidur. Sialnya, mata ini tidak juga menutup, mungkin karena saya tadi sudah tertidur lebih awal. Namun, karena takut, saya tetap memejamkan mata dengan penuh kesadaran.

Tak lama, bunyi kresek itu menghilang. Tiba-tiba saya bisa mendengar suara seseorang dari arah luar. Suara itu begitu lirih dan terdengar menakutkan. Rasa merinding itu masih saya rasakan sampai saat ini. Ketika saya menulis kejadian ini jujur masih terbayang seberapa seramnya situasi saat itu.

Suara lirih itu terdengar seperti perempuan, saya tidak terlalu mendengar jelas yang pasti ada satu kalimat yang saya dengar jelas saat itu.

“Buka… buka…”

Suara itu seperti meminta untuk masuk. Sumpah ini serem banget. Bisa kebayang tiba-tiba dia masuk dan langsung nunjukkin sosok seramnya. Nggak kebayang. Saya jujur langsung menarik baju Bambang dan maksa untuk tidur. Udah bodo amat banget yang penting harus rileks dan nggak usah menghiraukan.

Suara itu sempat menghilang. Tapi ternyata itu hanyalah salah satu dari sekian banyak kejadian di luar nalar yang akan saya dan Bambang lewati saat menuju Puncak Salak II. Kalau boleh bilang, semakin lama dekat dengan puncak, kami semakin berada di situasi yang sulit.

BERSAMBUNG….

BACA JUGA Hilang di Gunung Salak, 3 Jam Kemudian Ditemukan Sedang Menari di Bibir Jurang Sambil Nyinden dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Agung Purwandono

Exit mobile version