Serbuan prajurit Mataram ke Pati di abad ke-17 menyertakan kisah sepasang kekasih yang sehidup semati karena cinta. Sosok Roro Mendut dan Pranacitra hingga kini masih abu-abu, antara berada di alam dongeng, simbolisme, atau memang benar-benar nyata adanya.
***
Dari tepi jalan Dusun Gandu, Berbah, Sleman, hanya terlihat rumpun pohon bambu, tempat itu seperti kebon warga umumnya. Celingukan saya mencari lokasi Makam Roro Mendut-Pranacitra. Seorang pria tua mendekati dan saya ceritakan apa yang sedang saya cari.
“Itu lho, kelihatan gentengnya,” tuturnya sambil mengacungkan jari ke arah dedaunan. Saya harus memincingkan mata demi menemukannya. Ia memberi tahu, saya bisa melewati jalan setapak mengikuti saluran irigasi untuk menuju ke makam itu.
Ia juga mempersilakan saya memarkir motor di halaman samping rumahnya. Pak Gamung, demikian ia ingin biasa dipanggil, usianya 74 tahun.
“Wah ini sudah lama sekali, sejak zaman perang Pati melawan Mataram,” ujar Gamung memulai cerita.
Gadis jelita rampasan perang dari pesisir Jawa
Dalam semesta penggemar makam kuno, makam Roro Mendut-Pranacitra di Berbah pernah tenar di suatu masa lampau karena sering digunakan sebagai tempat mencari penglaris. Untuk tujuan ini, konon, pengunjung akan melakukan hubungan badan di makam tersebut.
Mencari keberadaan sosok ini dalam buku sejarah bukanlah perkara mudah. Babad Tanah Jawi (W.L. Olthof, 2017) sama sekali tidak memuat nama Roro Mendut. Sementara De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram menyebut bahwa kisah Mendut dan Pranacitra merupakan ‘gema puisi’ mengenai penyerangan Pati oleh Mataram. Sementara di segmen fiksi-ilmiah, Romo Mangun (Y.B. Mangunwijaya) menyajikannya cukup lengkap dalam novel Roro Mendut.
Apapun itu, kisah sosok bernama Roro Mendut konon diawali dari pantai di pesisir utara Jawa. Telukcikal, begitu sebut Romo Mangun di novelnya. Jika memasukkan kata ‘teluk cikal’ di Google Maps, pencarian akan menunjuk ke Kampung Cikal, Teluk Wetan, Jepara, sekitar 13 kilometer dari pesisir laut Jawa.
Roro Mendut dikisahkan sebagai gadis jelita rampasan perang, hasil penyerangan Mataram ke Pati di masa Sultan Agung. Perang Mataram-Pati sendiri sebenarnya sudah terjadi beberapa kali sejak awal tahun 1600-an sebagai bagian dari ekspansi politik Mataram. Namun, berbagai sumber sejarah menuliskan tahun 1627 sebagai salah satu penyerangan paling besar.
Babad Tanah Jawi mengisahkan bagaimana Sultan Agung memimpin sendiri penyerangan ini dan berhasil membunuh Adipati Pragola II, pemimpin Pati yang disebut memberontak. Babad tersebut juga menulis bagaimana istana Pati turut dihancurkan lalu permaisuri, para selir, serta perempuan diboyong ke Istana.
De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram menulis jumlah korban fantastis dalam penyerangan ini: 200 ribu di pihak Pati dan 150 ribu di pihak Mataram, semuanya laki-laki.
Makam-makam Roro Mendut
Menukil dari Babad Alit, De Graaf menyebut makam kedua sosok ini berada di Desa Kajor, Bukit Ceporan. Jika merujuk nama desa tersebut, maka bisa jadi makamnya ada di Dusun Kajor Wetan, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul. Di dusun tersebut, masih ada tradisi wilujengan dan panyuwunan yang berhubungan dengan kisah Roro Mendut dan Pranacitra.
Taruhlah kisah Mendut memang benar demikian adanya, maka ia berada dalam barisan boyongan ini. Ia turut diangkut bersama selir dan perempuan Pati lainnya menuju istana Mataram Islam di Kerto.
Romo Mangun berkisah bahwa Mendut mulanya hendak dipersembahkan ke Sultan Agung, tapi oleh raja ia diberikan ke Wiraguna, tumenggung kesayangan raja yang turut serta dalam penyerangan ke Telukcikal.
Ia mulanya hendak dijadikan selir tapi menolak dan lebih memilih melarikan diri bersama pria pujaan hatinya, Pranacitra. Mereka berdua dikejar Wiraguna dan pasukannya hingga ditemukan di dekat laut selatan, dekat pertemuan muara Sungai Opak dengan Sungai Oya, demikian sebut Romo Mangun.
Pranacitra meregang nyawa setelah tertusuk keris Wiraguna sedangkan Mendut menyusul kekasih hatinya setelah mencoba menghalangi hunusan keris selanjutnya yang dilayangkan Wiraguna.
Sekali lagi, andai penafsiran Romo Mangun benar adanya, maka makam di Gandu, Berbah ini sulit untuk disandingkan dengan tafsiran di novel tersebut. Yang lebih mendekati tentu saja makam Roro Mendut-Pranacitra di Dusun Kajor Wetan, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul.
Selain di Berbah, dan Kajor, petilasan Roro Mendut-Pranacitra juga terdapat di Grobogan, Jawa Tengah. Nama Mendut bahkan diabadikan menjadi nama obyek wisata di daerah Sleman, Roro Mendut Wisata Shelfi Yogyakarta namanya.
Makam yang kini digembok
Sepanjang mengikuti jalan setapak, saya membayangkan bagaimana tempat ini kala masih terkenal sebagai lokasi mencari penglaris beserta ritual pelengkapnya. Makam ini berada di dalam bangunan sekitar 3×5 meter dan terletak di tengah kebun dan dikelilingi aneka pepohonan.
Dilihat dari bangunannya, tampak seperti ada bekas reruntuhan bangunan yang menempel pada bangunan utama. Kini, satu-satunya pintu di bangunan makam telah digembok rapat dan warga, termasuk Gamung, tidak tahu menahu mengenai si pembawa kunci.
“Belum lama kok, baru sekitar 4 bulan digembok. Kalau dulu ya dibuka,” terang Gamung. Masih kata Gamung, beberapa waktu lalu kebon di sekitar makam sempat dibersihkan tapi hanya sekali saja. Kini, makam ini tampak seperti tidak terurus dan bangunannya dikelilingi aneka tumbuhan liar.
Gamung juga pernah mendengar rencana renovasi bangunan makam. Namun, itu sama sekali belum pernah terjadi hingga hari ini. Dari pria itu, saya mendapatkan cerita bahwa tanah di sekitar makam adalah tanah kas milik kalurahan setempat.
Saat saya mengintip, tampak kelambu terpasang mengelilingi makam. Makam ini pun memiliki beberapa versi. Ada versi bahwa dulunya ada 2 makam di bangunan ini namun sudah hilang, tapi ada pula versi yang mengatakan jika Mendut dan Pranacitra dimakamkan dalam satu liang lahat.
“Kalau kelambunya dulu sering diganti. Jadi misal ada peziarah terkabulkan hajatnya, mereka akan datang dan mengganti kain dengan yang baru. Dulu saya sering mengantarkannya,” kenang Gamung.
Bukan cuma kisah cinta
Kisah cinta agaknya hanya satu alasan tentang kenapa kisah sepasang kekasih ini tenar. Alasan lain, seperti dikisahkan dengan ciamik oleh Romo Mangun, Mendut menyimbolkan perlawanan terhadap Wiraguna yang hendak menjadikannya selir.
Kisah lain yang tak kalah tenar dari sosok Mendut adalah riwayatnya sebagai penjual rokok. Hal ini sepertinya memunculkan kisah turunan tentang adanya puntung rokok misterius di sekitar makam.
Namun, Mendut bukanlah satu-satunya kisah turunan mengenai penyerangan Mataram ke Pati. Masih banyak lagi kisah mengenai konflik kedua wilayah ini, salah satunya mengenai Tumenggung Endranata, tokoh yang dikisahkan dibunuh dengan cara ditusuk, ususnya dikeluarkan, dan diikat di pasar.
Ia diadukan ke Sultan Agung oleh istri mendiang Adipati Pragola II sebagai pengadu domba sesungguhnya di balik konflik Pati-Mataram. Konon, jasadnya dimakamkan di 3 lokasi berbeda di anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri.
Romeo-Juliet ala Jawa yang makamnya jadi tempat penglaris
Setengah jam sudah saya mengamati bangunan makam Roro Mendut-Pranacitra sembari membayangkan aneka mitos tentang kedua sosok ini dan kisah-kisah turunannya. Kedua sosok ini bisa saja diletakkan sebagai tokoh yang makamnya dijadikan tempat mencari penglaris. Bisa pula keduanya sebagai “Romeo-Juliet ala Jawa”.
Lebih jauh dan lebih mendasar dari itu, jalan panjang telah ditempuh Mendut sehingga ia bisa berada di Mataram. Saya sejujurnya membayangkan bahwa Mendut adalah simbolis tragedi: remaja perempuan yang tercabut dari dusun dan orang tuanya karena perang lalu dipaksa menjadi selir seorang tumenggung dan berakhir meninggal karena melindungi kekasih hatinya.
Tentu saja, seandainya benar adanya kisah itu jauh lebih tragis dibandingkan Juliet. Jangan-jangan pula, seandainya Romeo dan Juliet hidup di Jawa maka makam mereka akan menjadi lokasi berburu penglaris?