Tidak ada kata terlambat untuk mencoba kembali taat beribadah, sekafir-kafirnya dirimu di masa lalu. Itulah yang saya terapkan tahun ini dengan cara mengikuti ibadah i’tikaf di Masjid Jogokariyan yang hangat dan penuh persahabatan.
***
Langit masih gelap. Udara dingin menusuk tulang. Jam tangan saya menunjukkan pukul 02.00 WIB. Biasanya, jam segitu saya masih tertidur pulas. Tapi Sabtu, 24 April 2021 dini hari itu berbeda. Saya sudah memacu sepeda motor menuju Masjid Jogokariyan untuk melaksanakan i’tikaf.
Saya datang ke Masjid Jogokariyan dengan kaus merah lengan pendek press body. Saya juga pakai celana tidur gombrong warna biru tua yang bagian lututnya bolong. Tapi dengan langkah mantap dan percaya diri, saya masuk ke beranda masjid sambil menenteng tas mukena.
Sesampainya di beranda masjid, saya langsung kaget sendiri. Soalnya, saya baru sadar kalau saya salah kostum banget. Semua jemaah perempuan yang baru saja datang pada berkerudung, wangi dan rapi. Sedangkan saya belum mandi karena buru-buru, bau apek, pakai kaus gembel tulisannya Sorry No Rules (Maaf, Nggak Ada Aturan).
Untungnya tidak ada jemaah yang menatap saya penuh penghakiman. Semua terlihat fokus mempersiapkan ibadah. Ada yang langsung berjalan cari air wudhu, ada yang gelar sajadah dulu untuk mengamankan tempat. Hati saya tidak jadi cemas dihakimi, justru adem.
Suasana hening mengharukan….
Saya langsung masuk ke masjid yang seluruh lampunya dipadamkan. Tidak sepenuhnya gelap gulita sih. Penglihatan masih tertolong cahaya lampu dari rumah penduduk sekitar. Tapi tetap saja remang-remang. Wajar kalau ada jemaah yang tadarusan mengandalkan lampu senter handphone agar mereka bisa membaca barisan ayat Al-Quran.
Di tengah minimnya cahaya, saya melihat puluhan jemaah laki-laki tidur di beranda masjid. Suara dengkur halus pun terdengar saling bersahutan. Menurut saya itu menarik, jadi saya keluarkan handphone untuk ambil foto. Tiba-tiba seorang satpam parkiran menghampiri saya.
“Itu orang-orang yang baru sampai, Mbak. Mereka banyak yang dari luar kota. Pada nglaju nyetir jauh-jauh ke sini.”
Saya pun membalas informasi yang diberikan, “Hari-hari puasa biasa yang tidur di masjid juga ramai nggak, Pak?” lalu pak satpam menjawab, “Enggak. Cuma pas i’tikaf aja, Mbak. Biasa to, kalau Lailatul Qadar istimewa soalnya pada mau i’tikaf.”
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid disertai dengan niat beribadah kepada Allah. Mulai dari salat wajib, salat sunnah, membaca Al-Quran, berzikir, berdoa hingga memohon ampunan Allah. Sebenarnya, i’tikaf bisa dilakukan setiap hari. Namun, Rasulullah menganjurkan untuk melakukannya di 10 malam terakhir Ramadan atau malam Lailatul Qadar. Sebab manusia yang melaksanakan i’tikaf dijanjikan akan mendapat pengampunan dosa.
Saya memilih duduk di barisan saf paling belakang dekat tempat wudu perempuan. Tujuannya supaya saya bisa lebih mudah wudu lagi kalau sewaktu-waktu saya kentut di tengah salat. Kebetulan saya memang punya penyakit gampang kentut kalau terpapar udara dingin.
Saat saya melaksanakan salat sunah, suasana begitu hening dan gelap. Masjid Jogokariyan saat itu penuh dengan jemaah, tapi tak ada satu pun yang bersuara. Semua sibuk memanjatkan doa dalam diamnya masing-masing. Setelah saya selesai salat, banyak jemaah yang mulai mengeluarkan tasbih dan berzikir.
Terdengar beberapa jemaah menangis tersedu sambil berzikir. Beberapa ada yang terisak pelan di sujud terakhir salat sunah mereka. Suara itu berlomba dengan sayup-sayup suara lantunan ayat Al-Quran dari jemaah yang memilih tadarusan.
Jujur suasananya membuat saya ingin ikut menangis. Mungkin sama seperti mereka, saya juga merasa berdosa. Banyak dosa yang saya lakukan beberapa tahun belakangan. Sampai akhirnya awal tahun lalu saya dikamplengi karma sampai ingin taubat. Masjid Jogokariyan, menurut saya, pas untuk merayakan pertaubatan saya. Soalnya dari dulu suasananya syahdu, magis, sekaligus menentramkan jiwa.
Mengejar berkah seribu bulan ke Jogja
Saat merasa cukup ber-i’tikaf, saya memutuskan melipat rukuh. Tiba-tiba bahu saya dicolek dari belakang. Untungnya yang nyolek manusia. Orang yang menyolek bahu saya adalah Ira Sutira (42), jemaah yang jauh-jauh datang dari Condet, Jakarta Timur. Ira mengenakan kerudung panjang sepunggung dan menenteng tiga tas travel berukuran sedang.
Ira bertanya kapan salat jemaahnya dimulai. Sebab biasanya di Pondok Pesantren kecil yang dia kelola, salat sunah i’tikaf dilaksanakan berjemaah. Saya jawab saja di Masjid Jogokariyan, salat sunah biasanya tidak berjemaah.
“Waah, begitu ya. Saya baru tau kalau di Jogja itu salatnya sendiri-sendiri. Mbak dari mana? Saya baru sampai jam satu pagi tadi. Saya dari Jakarta Timur. Ini pertama kalinya saya i’tikaf di Jogja,” ujar Ira.
Ira datang bersama suaminya Heri Setiawan (45) dan anak sulungnya Zahra Atika (19). Sepanjang perjalanan, hanya Heri yang menyetir mobil. Jadi dia dan Zahra tidak tidur untuk memastikan Heri tidak mengantuk.
Ira kemudian mengeluarkan bantal kecil berwarna cokelat dari dalam tas travelnya. Dia bangkit dan berjalan ke perbatasan saf perempuan dan laki-laki untuk memberikan bantal kepada Heri. Setelah menerima bantal, Heri segera pergi ke beranda masjid untuk bergabung tidur bersama jemaah laki-laki lainnya.
“Kok jauh-jauh banget, Bu, i’tikafnya? Kenapa nggak di Jakarta saja?” tanya saya berbasa-basi usai Ira kembali duduk di saf belakang.
“Soalnya udah dua tahun kami tidak bisa i’tikaf karena pandemi. Sekarang pandeminya udah reda. Eh tapi takmir masjid-masjid di sekitar Condet itu malah pada ragu mau gelar i’tikaf,” kata Ira.
Ira tahu i’tikaf bisa dilaksanakan di mana saja. Toh yang penting ada niat ikhlas untuk beribadah. Akan tetapi tetap saja, suasana masjid yang hening sekaligus suara-suara lantunan ayat Quran dari jemaah lain membuat hati terasa lebih syahdu. Rasanya seakan-akan doa yang dipanjatkan bisa lebih cepat sampai ke langit.
Namun apa daya, masjid di sekitar Condet semuanya sepi dari woro-woro i’tikaf. Di tengah kesulitan pencarian masjid itu, anak sulungnya, Zahra, merengek-rengek minta ikut i’tikaf ramai-ramai di kota lain. Katanya, biar suasananya lebih syahdu untuk memanjatkan doa penting: minta agar dilancarkan mengerjakan soal tes masuk Poltekkes Kemenkes RI.
Melihat tekad Zahra yang begitu kuat, Ira dan Heri trenyuh. Heri akhirnya mencari informasi penyelenggaraan i’tikaf di kota lain. Dari sekian masjid kota-kota besar yang mengadakan i’tikaf, pilihan jatuh ke Masjid Jogokariyan. Alasannya karena mereka penasaran dengan suasana kekeluargaan kampung Ramadan Jogokariyan.
Ira mengatakan keluarga kecilnya itu belum tahu mau menginap di mana usai i’tikaf. Katanya yang penting beribadah dulu. Usai ngobrol dengan Ira, saya juga berbasa-basi dengan jemaah lain. Ternyata, selain Ira, masih banyak jemaah lain yang memilih nglaju ke Jogokariyan tanpa memikirkan penginapan. Padahal, mereka datang dari Surabaya, Bogor, Kudus, hingga Malang.
Berebut kuota penginapan demi fokus ibadah
Di sela-sela menunggu jemaah selesai i’tikaf, saya bertemu Ketua Divisi I’tikaf Masjid Jogokariyan, Muhammad Ikhlas. Ikhlas mengatakan sebagian besar jemaah yang nglaju adalah jemaah yang tidak mendapatkan kuota penginapan Masjid Jogokariyan. Penginapan itu terletak di lantai dua dan tiga Masjid Jogokariyan.
Jauh sebelum Ramadan, tepatnya bulan Februari, takmir Masjid Jogokariyan memposting informasi pemesanan penginapan khusus i’tikaf. Kuotanya terbatas untuk 70 jemaah laki-laki dan 40 jemaah perempuan. Jadi peserta harus berlomba mendaftarkan diri ke admin melalui Instagram atau WhatsApp.
Sejak seminggu ditawarkan, kuota langsung ludes diborong followers Instagram @masjidjogokariyan. Setelah itu Ikhlas mengatakan panitia diberondong kalimat-kalimat protes dari calon jemaah yang kehabisan kuota. Seperti “Yah, kok kuotanya cepat sekali habisnya?” atau “Apa tidak bisa ditambah lagi kuotanya?”
“Sudah dua tahun tidak menggelar i’tikaf karena pandemi. Lalu kali ini digelar lagi dengan mengurangi kuota. Kuota tetap tidak bisa ditambah. Jadi kami beri mereka penjelasan dengan sabar. Lalu kami rekomendasikan i’tikaf di masjid lain,” kata Ikhlas.
Ikhlas mengatakan pemesanan kuota penginapan selalu seperti medan perang bagi calon jemaah. Ikhlas mengiyakan guyonan saya. Katanya memang rebutannya itu sama saja seperti rebutan tiket konser Justin Bieber.
Ikhlas lalu mengajak saya naik ke lantai dua. Dia membukakan pintu ruang penginapan reguler seharga Rp150.000 per malam. Di dalamnya terdapat karpet digelar di seluruh ruangan. Di atas karpet sudah penuh bantal dan tas milik jemaah. Melihat tatanan itu, saya jadi inget acara pesantren kilat sewaktu saya SMA.
Saat sibuk melihat-lihat, dari arah tangga lantai tiga, muncul sesosok jemaah laki-laki yang menyapa Ikhlas sambil tertawa-tawa akrab. Di lehernya tergantung lanyard hijau dengan nametag bertuliskan Peserta i’tikaf. Ikhlas langsung menyalami jemaah itu sambil menanyakan kabarnya.
Dia adalah Fiyandi Rozy (50), jemaah asal Jakarta Selatan yang memenangkan kuota kamar VIP di lantai tiga. Kamar yang dihuni Fiyandi itu harganya Rp375.000 per malam. Fiyandi membooking kamar itu full selama 10 hari Lailatul Qadar.
Ketika saya tanya kenapa rela bayar mahal untuk i’tikaf di Masjid Jogokariyan, dia hanya tertawa sambil menunjukkan dompet kain warna merah di tangan kanannya. Kainnya sudah usang, ada beberapa lubang di pucuk dompet itu. Katanya itu dompet almarhumah istrinya.
“Saya barusan ditinggal istri lima bulan yang lalu. Selama itu juga saya nggak karuan. Beneran udah mau gila gue karena nggak bisa move on. Nah, perjalanan saya ke Jogokariyan ini adalah amanah terakhir almarhumah. Saya juga setuju. Sekalian saya menguatkan dan menenangkan diri.”
Sehari-hari, Fiyandi bekerja sebagai CEO sebuah perusahaan Event Organizer dan Training Couching di Kebayoran Lama. Selain itu dia juga punya 10 anak perusahaan di bidang lain. Jelas pekerjaannya cukup menyita waktu. Bahkan dia hanya bisa tidur 3 jam setiap harinya.
“Sekarang bulan istimewa, hari-hari istimewa. Kalau biasanya sih saya kerja 18 jam, tidur hanya 3 jam, ibadah di sela-selanya. Nah sekarang saya balik nih, saya ingin ibadah 18 jam, sisanya ibadah.”
Di tengah kesibukan yang kadang tak masuk akal, i’tikaf adalah satu-satunya ritual penyelamat kewarasan Fiyandi. Sebab baginya i’tikaf adalah momen sakral di mana dia fokus memohon ampun dan minta pertolongan dunia dan akhirat kepada Allah. Dia percaya i’tikaf yang tak pernah putus itu mendatangkan banyak rezeki dan jalan baik di hidupnya bahkan hingga saat ini.
“Saya selalu percaya i’tikaf itu adalah kesempatan dari Allah untuk kita memohon dan meyakini kuasa-Nya. Jika kita percaya kekuatan-Nya, semua akan dimudahkan. Itu terbukti. Selama saya kerja ngurusin 10 perusahaan kan super sulit ya. Tapi ada saja kemudahannya. Sebab saya tidak pernah tidak percaya ada kekuatan-Nya yang akan bantu saya.”
Dalam 10 hari ini, Fiyandi masih bekerja mengurus beberapa anak perusahaannya. Tapi pekerjaan itu dilakukan di Masjid Jogokariyan. Jika diperlukan, Fiyandi baru akan pergi ke luar kota. Akan tetapi setelah itu dia akan pulang lagi ke Masjid Jogokariyan. Kata dia, pokoknya pantang meninggalkan i’tikaf sesibuk apapun dirinya.
“Sebenarnya saya dan almarhumah istri selalu i’tikaf setiap hari. Apalagi pada Bulan Ramadan. Kami selalu keliling masjid di luar kota. Kami sudah kemana-mana i’tikaf selalu berdua. Hanya saja tahun ini saya i’tikaf sendiri…” kata dia sambil menahan tangis. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca.
Menurut Fiyandi, ibadah di malam-malam Lailatul Qadar itu khusus. Ada banyak salat sunah yang harus dilakukan selain salat tarawih. Apalagi dia punya komitmen untuk merampungkan 30 juz Al Quran. Tentu dia membutuhkan energi dan fokus yang lebih. Baginya banyak ibadah tanpa fokus dan tenaga adalah ibadah yang minim esensi. Sebab dia jadi kurang maksimal memaknai semua ritual ibadahnya.
“Jadi menginap itu pilihan terbaik. Saya menginap di sini bukan karena popularitas Jogokariyan. Murni karena untuk menunjang energi dan fokus saya beribadah i’tikaf. Soalnya i’tikaf butuh tenaga besar. Nggak enak kan kalau bolak-balik? Selain itu, saya ingin memakmurkan masjid di kota kecil,” kata Fiyandi.
“Kebanyakan mereka yang pengin nginep itu memang mencari suasananya. Di sini mereka jadi kenal jemaah dari kota lain. Selain itu kan kalau menginap mereka bisa fokus dan nyaman ibadah dengan fasilitas lengkap,” kata Ikhlas menimpali cerita Fiyandi.
Tak hanya soal fasilitas. Menurut Ikhlas, Masjid Jogokariyan juga menarik minat para jemaah yang menginap karena susunan acara yang terstruktur dan berkualitas. Jadi jadwal yang sistematis itu membantu jemaah mengatur energi, alokasi waktu, dan fokus saat beribadah.
Usai i’tikaf dan salat subuh, jemaah diarahkan tadarusan hingga matahari terbit. Setelah itu baru kegiatan pribadi. Pada pukul 11.30 WIB, jemaah dipersilakan tidur siang. Baru pada pukul 13.00 WIB ada kajian kitab. Mendekati berbuka puasa, menurut Ikhlas, adalah kegiatan paling diminati, yaitu pengajian kontemporer.
“Pengajian kontemporer itu materinya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya seperti parenting. Kami menghadirkan para pembicara yang memang kredibel. Jadi jemaah suka diskusi juga di kegiatan itu,” kata Ikhlas.
“Iya itu benar. Saya paling suka ikut pengajian kontemporer. Saya sering mengajukan pertanyaan di sana dan berdiskusi dengan jemaah lain,” kata Fiyandi menyahuti Ikhlas.
Makan sahur jadi ajang kenalan
Jauh sebelum ngobrol dengan Fiyandi, menurut saya ada yang menarik lagi dari suasana i’tikaf di Jogokariyan. Hal yang menarik itu adalah ketika jemaah ramai-ramai cari makan sahur di sekitar masjid.
Sekitar pukul 03.00 WIB, mayoritas jemaah sudah selesai dengan i’tikaf mereka. Saya mengikuti mayoritas jemaah keluar masjid untuk mencari makan sahur. Di sekitar masjid, banyak warung makan buka. Mayoritas menu yang ditawarkan warung-warung milik penduduk adalah makanan rumahan.
Beberapa jemaah terlihat saling berkenalan di warung pilihan mereka. Sayup-sayup saya mendengar beberapa percakapan. Tapi yang paling sering saya dengar kira-kira begini..
“Datang dari mana?”
“Jakarta.”
“Oh, dari Jakarta ya. Jauh ya. Kami dari Bogor. Nginap di mana?”
“Wah, belum tahu.”
“Hahaha. Sama. Kami juga.”
Di antara warung-warung yang ramai itu, saya memutuskan makan di warung yang sepi. Saking menikmati makan sahur, saya makan lamban tanpa memperhatikan waktu. Eh tiba-tiba terdengar azan. Jantung saya langsung deg-degan. Lah, makanan saya belum habis setengahnya. Kerongkongan saya juga seret karena belum minum.
Lalu saya lihat jam tangan saya. Lho, kok masih jam 03.30 WIB. Sebagai orang yang lama gak salat, saya bingung. Jujur selama ini saya nggak tahu jam persis azan subuh. Maka saya langsung pergi ke bakul warung dan minta makanan di bungkus.
Bakul warung langsung tersenyum teduh sambil berkata pelan: “Mbak asalnya dari mana to? Itu azan awal, mbak. Jadi santai saja, makan lagi saja…”
Lalu kami berpandang-pandangan dalam keheningan. Ya sudah daripada semakin awkward dan malu, saya lanjut makan saja. Bapak pemilik warung berkata azan awal selalu dikumandangkan di Jogokariyan. Tujuannya untuk mengingatkan jemaah yang masih beribadah sunah untuk siap-siap ibadah salat subuh.
Azan subuh berkumandang, jemaah buru-buru ngantre membayar makanan di warung. Lalu mereka balik lagi ke masjid untuk salat. Saya masih ikut arus jemaah yang kembali ke masjid. Di perjalanan balik masjid saya sempat berkenalan dengan beberapa jemaah perempuan. Lalu saya ikut salat subuh berjemaah satu saf dengan mereka.
***
Bahkan sampai saya pulang pun, suasana hangat dan kekeluargaan masih terasa di Jogokariyan. Waktu mau pulang, sandal saya ketlingsut entah kemana. Lalu saya dibantu mencarikan sandal oleh tiga orang jemaah.
“Itu Mbak, sandalnya terdampar di dekat pos satpam, ketendang kali,” kata seorang jemaah perempuan. Dia lalu mengambilkan sandal saya. Meletakkannya persis di depan kaki saya.
Ah. Indahnya i’tikaf di Masjid Jogokariyan. Saya terharu.
Reporter: Salsabilla Annisa Azmi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Berburu Pahala di Akhir Puasa dengan Al Quran Raksasa dan liputan menarik lainnya di Susul.