Jika kita sering melintas di jalan Wonosobo–Prembun pasti tidak asing dengan warung-warung yang berjejer di sepanjang tepian Waduk Wadaslintang. Deretan warung ini menjual alat pancing, ikan segar, dan aneka pepes ikan. Namun, di antara warung pepes ikan, ada satu warung yang cukup terkenal, yakni Warung Pepes Bu Biru.
***
Rabu (9/2) saat cuaca sedang cerah yang menampakkan Gunung Sindoro dan Sumbing dari pelataran rumah, saya terbesit untuk pergi ke Wadaslintang. Keinginan pergi ke sana sebenarnya sudah lama. Saya penasaran sama Warung Pepes Bu Biru. Warung ini terkenal dengan sajian pepes ikan nilanya. Lokasi Warung Pepes Bu Biru berada di tepian Waduk Wadaslintang dan beberapa waktu yang lalu sempat masuk dalam tayangan kuliner di salah satu stasiun TV swasta .
Untuk mencapai Warung Pepes Bu Biru, saya harus menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam dari rumah saya di Kalikajar, Wonosobo. Warung ini berada di Desa Sumberejo, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Sekitar pukul 10.30 WIB, sebelum matahari berada tepat di atas kepala, saya sudah berada di Warung Pepes Bu Biru.
Begitu sampai di warung, suasana belum terlihat terlalu ramai, hanya ada tiga orang pelanggan yang sedang makan di tempat. Jadi bagi kalian yang mau mencicipi pepes ini saya sarankan untuk datang sebelum jam makan siang agar tidak perlu antre panjang. Di dalam warung makan, saya langsung disambut oleh seorang ibu yang sedang duduk di depan kasir, “Mau makan apa, Mas?” ucapnya bertanya ramah.
“Saya pesan pepes nila satu Bu, makan di sini,” jawab saya. Setelah memesan seporsi pepes nila, saya langsung duduk di sampingnya, dan benar saja ia adalah sang pemilik warung yang namanya sesuai dengan nama warung “Bu Biru”. Kami lantas berbincang soal pepes nila yang sudah jadi rekomendasi banyak orang ini.
Saat saya bertanya tentang sejarah Warung Pepes Bu Biru, Bu Biru (60) tampak antusias menceritakan. Ia memulai dengan kalimat: “Saya ini dulu mau ikut dagang pepes tidak boleh sama orang-orang di sini.” Kalimat pembuka ini membuat saya bertanya-tanya. Bu Biru lalu menjelaskan kalau dirinya sudah dianggap tua, jadi untuk bergabung ke dalam pelatihan pedagang pepes tidak dibolehkan.
“Jadi dulu kan yang pertama ngajarin bikin pepes itu orang Bandung yang nikah sama orang sini, nah ada kaya pelatihan gitu untuk jualan pepes ikan, lha saya kan mau ikut, ternyata tidak diperbolehkan sama orang-orang, katanya saya sudah tua jadi gampang capek, gitu,” paparnya.
Ia lantas mengadu dengan temannya bernama Pak Budi—yang kini sudah almarhum. Ia seorang polisi waktu itu. “Kenapa saya tidak boleh ikut pelatihan untuk jualan pepes ikan?” kata Bu Biru memperagakan apa yang ia katakan pada Pak Budi. Pak Budi pun tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya menyuruh Bu Biru untuk bersabar.
“Sepuluh tahun lalu itu, akhirnya saya nekat untuk membuka warung pepes sendiri tanpa melalui pelatihan seperti kebanyakan orang,” ungkapnya penuh semangat. “Pak Budi yang tadi saya ceritakan turut berjasa, ia suka bawa pepes yang saya buat ke kantor, teman-temannya jadi tahu,” ucap Bu Biru bercerita.
Bu Biru sendiri pada dasarnya bukan orang baru dalam dunia bisnis makanan. “Saya dulu sempat jualan gulai, lalu bakso dan mie ayam, baru setelah itu pepes ikan,” ungkapnya sambil menyuruh saya untuk menikmati pepes ikan yang sudah dihidangkan. “Eh, nasi sama sayurnya ambil sendiri, Mas, sesukanya,” katanya.
Menu sayur di Warung Pepes Bu Biru bermacam-macam, diantaranya tumis-tumisan seperti kacang panjang, buncis, tempe, tahu, dll. Sayur ini jadi pelengkap sajian menu utama yaitu pepes nila. Buat kamu yang mau menjajal olahan ikan nila selain pepes, di warung ini juga disediakan ikan nila goreng, bakar dan mangut.
Setelah saya mengambil nasi dan sayur, lantas saya penasaran kenapa warung ini bernama “Pepes Bu Biru/Eni” sesuai dengan tulisan yang tertera di spanduk depan warung. Hal yang dijelaskan Bu Biru sungguh membuat saya agak kaget, lantaran jika saya baca di media massa, nama biru itu karena warna warung yang didominasi cat warna biru (memang cat warungnya warna biru) dan Eni adalah nama dari perempuan berusia lebih dari 60 tahun itu, namun ternyata salah.
“Biru itu ya nama saya, Mas. Kalau Eni itu nama anak saya. Warung kan buka dari jam 7 sampai 9 malam jadi saya sama anak gantian jaga, pagi sampai siang saya, sore sampai malam si Eni, dia rumahnya itu depan,” ungkapnya sambil menunjuk rumah Eni.
Saya pun lanjut menyantap nasi, sayur, dan pepes nila. Pepes ikan nila yang saya santap berukuran besar dan berdaging lembut. Harga satu pepes yang saya makan dibanderol Rp30.000. Sesekali saya menyeruput teh untuk sedikit mengurangi rasa pedas di lidah. Di sela-sela saya makan, mulai tiba beberapa pengunjung, ada yang minta dibungkus dan makan ditempat. Setelah menyuruh karyawannya untuk melayani, Bu Biru lalu bercerita tentang karyawannya. “Dulu karyawan saya itu ada enam, tapi sekarang cuma dua, yang empat sudah pada nikah terus dibawa suami, jadi ya tidak lagi bekerja di sini.”
“Mau air putih, Mas?” Bu Biru menawarkan saat melihat saya gemrobyos oleh rasa pedas sambal pepes yang bikin nagih. Tentu tawaran itu saya iyakan. Segelas air putih tersaji di meja, dibarengi dengan saya selesai makan. Usai makan, saya melihat karyawan di Warung Pepes Bu Biru terlihat tidak henti-hentinya membuat pepes, saya lantas bertanya berapa banyak ikan nila yang dipepes Bu Biru setiap harinya.
“Jadi kurang lebih ya, kalau Senin-Selasa itu bisa habis 30-40 kg, Rabu sampai Jumat bisa 50 kg, dan paling ramai ya Sabtu-Minggu bisa lebih dari 1 kuintal,” ungkapnya. “Banyak pedagang ikan yang antre mau nyetok ke warung ini, tapi kan saya sudah punya langganan, beberapa juga saya ambil dari kolam punya anak, jadi berat hati saya tolak.”
Mendengar penjelasan Bu Biru bikin saya kaget, pasalnya selama perjalan menuju Waduk Wadaslintang banyak warung pepes ikan di sepanjang jalan Wonosobo–Prembun, lantas apa yang membuat Warung Pepes Bu Biru spesial? Bu Biru awalnya hanya senyum dan menjawab “Tidak tahu mas, menurut saya ya sama saja, kalau warung ini paling ramai ya itu karena Allah.”
Ia lalu menambahkan: “Mungkin ini Mas, beberapa hal yang membuat beda, pertama saya itu selalu jujur dengan pembeli, saat ikannya kecil ya saya hargai kecil, saat besar ya saya bilang besar, yang kedua di sini itu setiap mau nambah nasi ataupun sayur bebas, harganya tetap sama.”
“Lalu, yang terakhir adalah saya itu senang sedekah mas, sudah tujuh tahun ini setiap habis lebaran, selama dua hari, saya memberi makan gratis pada siapa saja yang datang ke sini, saya percaya kalau saya memberikan sesuatu pasti akan mendapatkan hal yang lebih dari Gusti Allah,” ungkapnya.
Setelah berbincang cukup lama, saya lantas pamit pulang, dan saat saya hendak beranjak dari kursi Bu Biru berkata: “Intinya kalau mau sukses dalam berdagang atau berbisnis tidak usah memikirkan untung yang besar, cukup berpikir bagaimana caranya bisa balik modal, nanti entah dengan cara apa pasti keuntungan itu akan datang sendiri,” pungkas Bu Biru mengakhiri perbincangan.
Reporter: Galih Nugroho
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Sehari 2.000 Porsi Soto, Rahasia Warung Saoto Bathok Mbah Katro dan liputan menarik lainnya di Susul.