Warung Kopi Tanpa WiFi dan Seorang Pakde yang Mau Mendengar Ceritamu

Warung Kopi di Jalan Prof Dr Sardjito

Warung Kopi di Jalan Prof Dr Sardjito

Warung kopi di pinggir jalan Prof. Dr. Sardjito itu begitu sederhana. Pencahayaannya temaram, pun tidak memiliki area parkir sama sekali. Saya berulangkali menyempatkan menengok dan menerka seperti apa aktivitas di dalamnya setiap kali pulang kerja dan melintasi kios tersebut.

Berkali-kali hendak menyempatkan singgah, tetapi selalu saya urungkan mengingat waktu sudah begitu malam, di atas pukul 23.00 WIB setiap kali saya melintas, dan saya pikir tak lama lagi kios itu akan tutup.

Kios itu adalah sebuah warung kopi kecil bernama Omah Kopi, Omah S’dulur. Ia menjadi teramat menarik bagi saya karena di tengah gempuran kedai kopi yang mengusung konsep industrial maupun co-working space, ia tetap bertahan dan menolak mengikuti arus. Beberapa teman yang saya tanya perihal warung tersebut selalu mengatakan hal yang sama, bahwa Pak Sasongko (60), pemilik warung itu, akan menyambut hangat siapa pun yang datang, lantas obrolan panjang lebar akan tercipta selama berjam-jam.

Jadilah saya memantapkan hati untuk berkunjung pada Kamis malam tanggal 29 April 2021, berjumpa dengan Pak Sasongko, dan mendapati fakta bahwa beliau adalah sosok yang begitu memaknai kehidupannya.

Warung kopi untuk menyimpang kenangan

Pak Sasongko tengah bersantai di kursinya ketika saya datang. Segelas teh hangat masih utuh di meja, belum beliau sentuh sama sekali. Perawakannya ramah dan murah senyum, menyambut saya bak kawan lama yang bertahun-tahun tak pernah bersua.

Saya terbawa suasana ramah dan hangat itu, sehingga hanya memerlukan waktu sekian detik untuk menjadi akrab, lantas berlanjut membahas banyak hal. Hanya ada kami berdua kala itu sehingga pembicaraan bisa begitu leluasa. Hanya sesekali terganggu suara knalpot motor yang terlampau bising di luar sana.

“Saya itu senang ngobrol. Setiap ada pelanggan yang datang, sebisa mungkin saya temani. Dari obrolan-obrolan itu pengetahuan saya menjadi bertambah. Selain menambah wawasan, menambah persaudaraan juga. Sama seperti nama warung kopi saya ini, Omah Kopi, Omah S’dulur. Tempat untuk ngopi dan membaur bersama sehingga menjadi saudara.”

 

Pak Sasongko di warung kopinya. Riyanto/Mojok.co

Warung kopi itu sudah berdiri sejak tahun 2010. Ada begitu banyak cerita yang terjadi di sana dari tahun demi tahun, dan itu adalah kenangan yang sangat membahagiakan, baik bagi Pak Sasongko maupun bagi mereka yang pernah berkunjung ke sana. “Yang jadi pelanggan saya itu pasti akrab dengan saya. Saya menemani mereka dari zaman kuliah. Ada yang dulu sering galau urusan cinta dan saya dengerin curhatannya. Ada yang sering ke sini bawa pasangannya. Ada yang mengerjakan skripsi setiap hari. Banyak pokoknya,”

Mereka, para pelanggan warung kopi dari tahun ke tahun itu, yang kemudian meninggalkan Jogja begitu kuliah mereka selesai, akhirnya kerap menjadikan warung kopi milik Pak Sasongko sebagai destinasi utama apabila berkunjung kembali ke kota ini.

“Zaman kuliah kami akrab. Begitu sudah lulus dan pergi dari Jogja, keakraban itu tidak hilang. Suatu ketika ada yang datang lagi ke sini dan membawa istri. Biasanya pasti tanya, ‘Masih ingat saya, Pakde?’ dan selalu saya jawab tentu saja masih ingat. Itu yang dulu sering curhat urusan cinta, kemarin ngabarin saya sudah mau nikah dan minta doa restu.”

Konsep itulah yang memang diinginkan Pak Sasongko. Beliau menginginkan keterikatan memori dengan semua pelanggannya sehingga mereka yang akhirnya meninggalkan Jogja, jika suatu saat berkesempatan ke Jogja, memiliki tempat untuk datang dan mengenang memori lama.

“Melihat mereka yang dulunya masih kuliah, lantas lulus dan meninggalkan Jogja, lantas berkutat dengan kehidupan mereka, dan suatu ketika kembali ke sini, mengenang masa-masa ngopi di sini, itu semua membuat saya bahagia. Saya merasa menemani mereka dari awal meski sebatas teman ngopi dan ngobrol.”

Pak Sasongko terdiam beberapa saat, memandang jauh ke langit-langit tanpa memilih fokus mana yang dituju matanya. Beliau tersenyum beberapa kali, yang di antaranya kerap berubah menjadi tawa pelan. “Kalau mereka datang lagi, biasanya bilang, ‘Biasanya duduk di sebelah situ’ sambil menunjuk sudut-sudut tertentu.”

Melihat betapa Pak Sasongko terbuai akan kenangan bersama pelanggannya, saya merasakan ketenangan tersendiri. Ketenangan itu yang membuat saya diam beberapa saat sambil memandangi Pak Sasongko yang masih sesekali tersenyum. Pak Sasongko larut dalam lamunan masa lalunya, sementara saya larut mengagumi betapa Pak Sasongko menjaga baik memori bersama pelanggan-pelanggannya.

Saya menjeda lamunan tersebut ketika tertarik memesan kopi tubruk arabika tanpa susu seharga sembilan ribu rupiah. Pak Sasongko lantas sibuk menyiapkan pesanan saya, sementara saya berdiam diri sambil memandangi kursi-kursi kosong di sekitar saya. Imajinasi saya melayang jauh.

Sebelas tahun warung kopi telah berdiri, dan selama itu sudah ada begitu banyak orang yang duduk di tempat saya duduk, pun di kursi-kursi yang saat itu kosong. Mereka semua yang berbagi cerita dengan Pak Sasongko, menjalin kekeluargaan, dan entah saat ini di mana mereka semua.

Pak Sasongko merekam semua memori itu. Menyimpannya baik-baik, dan suatu ketika membukanya jika ada dari mereka yang kembali berkunjung. “Saya menyukai pekerjaan ini, Mas.” Beliau membawakan kopi tubruk saya, lantas kembali duduk untuk berbagi cerita. Beliau dengan teh hangat yang sesekali diseruput, dan saya dengan kopi tubruk yang masih panas.

“Bertemu banyak orang dari banyak kalangan dan mendengarkan cerita mereka.”

Warung kopi tanpa wifi

Akan tetapi menurut Pak Sasongko, memulai obrolan dengan pelanggan baru, terlebih jika datang seorang diri, adalah tantangan tersendiri. “Kalau dia datang sendiri, saya harus menduga-duga terlebih dahulu apa keinginannya,” tuturnya.

“Apakah dia dalam keadaan kesepian, dalam keadaan butuh me time, atau butuh teman diskusi. Nah, di situ saya memberikannya ‘gelas kosong’. Artinya saya siap menampung apa saja yang dia bawa ‘di kepalanya’ dan mencoba menjadi pendengar atau lawan bicara yang pas dengan kebutuhannya itu. Kadang orang punya masalah itu bukan perlu dinasehati. Kadang hanya perlu didengarkan. Nah, saya mencoba menjadi pendengar itu.”

Dengan mengusung konsep seperti itu, Pak Sasongko memutuskan tidak memasang wifi di warung kopinya. Alasannya sederhana, agar intensitas berbincang lebih banyak daripada bermain ponsel. “Kalau bisa, antar-meja itu saling ngobrol. Dari yang belum kenal bisa menjadi kenal.”

Saya lantas bertanya tentang kenapa Pak Sasongko mau repot-repot menjadi teman berbincang semua pelanggannya. Saya merasa menerima banyak cerita dengan banyak kondisi, lantas harus menyiapkan diri menjadi lawan diskusi yang pas untuk kondisi yang dibutuhkan adalah pekerjaan yang begitu berat.

“Karena mereka tamu saya. Kalau saya bertamu ke rumah orang, saya pasti senang jika disambut hangat oleh pemilik rumah itu. Di sini, saya sebagai tuan rumahnya. Siapa saja yang datang ke sini pasti akan senang jika saya temani berbincang tentang apa saja. Sesederhana itu.”

Benar. Konsep yang teramat sederhana, tetapi saya tahu praktiknya pasti jauh lebih sulit. “Itu di belakang kan rumah saya,” kata Pak Sasongko. “Semua urusan keluarga saya selesaikan di sana. Begitu saya masuk ke belakang, saya mengambil peran di dalam keluarga dan mengurusi segala sesuatu di sana. Tetapi begitu saya di sini, duduk bersama tamu-tamu saya, saya melupakan semua permasalahan keluarga. Kalau memang ada masalah berat dan saya merasa tidak bisa menyambut pelanggan dengan baik, saya memilih untuk tidak buka warung hari itu.”

Sebelas tahun dengan aktivitas seperti itu, saya lantas menerka-nerka apakah Pak Sasongko pernah merasa lelah atau tidak, dan seolah mengetahui isi pikiran saya, beliau berkata, “Mengurusi ini, terlebih sendiri, tentu saja saya pernah merasa lelah.”

Tetapi sebelum saya sempat bertanya lebih jauh, beliau menambahkan, “Lelah secara fisik. Kalau untuk apakah saya jenuh dengan aktivitas ini, maka jawabannya adalah tidak. Saya tidak pernah jenuh untuk bertemu dengan banyak orang dan berbagi cerita.”

Bagi Pak Sasongko, di usianya yang semakin tua, bertemu banyak orang dan mendengar cerita mereka semua adalah kebahagiaan tersendiri. Beliau memiliki banyak teman yang sudah mencapai masa pensiun dan bingung mau melakukan sehingga mereka mengalami kebosanan.

“Banyak teman saya yang pensiun dan bingung mau melakukan apa. Akhirnya ada yang mencoba hobi baru seperti memelihara ikan atau malah mengurusi tanaman. Tetapi banyak dari mereka yang tetap merasa sepi, karena ya menurut saya mereka tidak punya teman bercerita. Tanaman sama ikan kan tidak bisa diajak berbincang, sementara kalau saya bisa bercengkerama dengan banyak orang setiap harinya.”

Masa pensiun, bagi Pak Sasongko, adalah masalah besar terhadap seseorang. Itu adalah masa di mana orang harus menurunkan ego dan menerima diri sendiri, bahwa orang tersebut bukanlah siapa-siapa setelah lepas dari pekerjaannya. “Saat mereka bekerja, mereka adalah somebody. Mereka masih memiliki talenta dan dihargai di sana. Tetapi begitu pensiun, mereka menjadi nobody. Talenta di bidang pekerjaan tidak bisa diandalkan lagi untuk menghabiskan hari-hari di rumah.”

Kopi enak bukanlah segalanya

Kopi saya belum habis. Belum saya seruput sampai setengah malahan. Pun teh hangat milik Pak Sasongko juga masih banyak. Nampaknya kami berdua secara tidak langsung bersepakat untuk berlama-lama menghabiskan minuman, pun seiring seruput demi seruput atas minuman kami, semakin dalam pula perbincangan mengalir.

Pak Sasongko membawa saya memutar mundur waktu ke tahun 1998, ketika beliau tinggal bersama anak dan istrinya di Jakarta. Tahun itu adalah titik balik kehidupan Pak Sasongko karena beliau dan istri mengalami PHK masal. Krisis moneter pada saat itu. Tidak bisa bertahan di Ibu Kota, Pak Sasongko memutuskan kembali ke Jogja selama beberapa saat. Tak lama kemudian, beliau memutuskan merantau seorang diri kembali ke Jakarta. Beban biaya merantau di Jakarta akan lebih sedikit jika anak dan istrinya tidak ikut.

Suatu hari, beliau bertemu dengan pedagang mie ayam di emperan toko yang hanya buka ketika malam tiba. Tempatnya sangat kecil, pun hanya ada satu meja panjang untuk para pelanggan. Sekalipun begitu, penjual mie tersebut tampak begitu menikmati pekerjaannya. Pak Sasongko pernah bertanya kepada penjual tersebut, apakah dia bahagia dengan kehidupannya sebagai penjual mie, dan penjual tersebut tanpa ragu mengatakan bahwa ia sungguh bahagia.

Berawal dari obrolan singkat dengan penjual mie tersebut, Pak Sasongko lantas termotivasi untuk membuka usaha kecil-kecilan di kampung halamannya. “Sebelum umur 50 tahun, saya harus kembali ke Jogja dan punya usaha kecil-kecilan. Kenapa kecil? Karena semakin kecil sebuah usaha, semakin mudah juga mengelolanya. Yang terpikir saat itu adalah jualan minuman, antara jus, susu-susuan, atau kopi.”

Pilihan beliau jatuh ke kopi dengan pertimbangan kopi adalah bahan utama yang jauh lebih tahan lama dibandingkan susu ataupun buah. “Kalau mau jus atau susu, saya kejar-kejaran dengan masa expired yang sangat singkat. Maka pilihannya jatuh ke kopi. Toh saya dari zaman kuliah memang sudah suka ngopi.”

Pada tahun 2010, Pak Sasongko akhirnya membuka warung kopi yang masih bertahan hingga saat ini. “Saya buka ini tidak mengabari teman-teman,” kenangnya.

“Kalau mengabari, pasti mereka ramai datang sewaktu pembukaan, tetapi belum tentu akan kembali lagi di kemudian hari. Alasan lain, semisal warung saya tidak bertahan lama, saya yang akan malu sendiri karena sudah koar-koar buka warung kopi.”

Pak Sasongko menyinggung perihal banyaknya kedai kopi dengan konsep lebih modern dan selalu mengundang orang untuk datang ke pembukaan kedai kopi tersebut. “Pasti ramai di awal. Itu juga karena diskon atau malah gratis. Niatnya pasti memancing pelanggan di sekitar atau siapa tahu yang datang ke pembukaan itu akan menjadi pelanggan tetap. Tetapi pada akhirnya setelah buka normal, banyak yang sepi.”

Sebagai penegasan, Pak Sasongko tidak mengklaim cara tersebut benar atau salah. “Tapi kalau saya tidak mau konsep seperti itu. Pas saya buka warung ini dulu, karena tidak ada promo atau ajakan, pelanggan pertama yang datang ya murni pelanggan saya. Dan setelah itu, pelanggan-pelanggan lain berdatangan karena diajak sama pelanggan-pelanggan yang ke sini sebelumnya.”

Karena Pak Sasongko sampai pada pembahasan ‘kedai kopi modern’, tidak bisa tidak, saya membahas perihal bagaimana beliau bertahan menghadapi gempuran kedai kopi yang menjamur di Jogja.

“Saya tidak menganggap mereka sebagai kompetitor,” terang beliau.

“Pedagang bunga di Pasar Kranggan itu berjejer-jejer, tetapi mereka akur dan tidak menganggap satu sama lain sebagai kompetitor. Justru karena mereka jualan berjejer, orang-orang jadi kalau beli bunga ya di kawasan itu. Malah terlihat aneh jika hanya ada satu pedagang bunga di sana.”

Bagi Pak Sasongko, hal tersebut juga berlaku untuk industri kopi, pun semua industri lainnya. “Makanya, saya tidak menganggap kedai kopi lain sebagai kompetitor. Mereka punya pasarnya sendiri, dan saya juga punya pasar tersendiri.”

Saya lantas teringat tentang sebuah kedai kopi yang pernah buka tepat di sebelah warung kopi milik Pak Sasongko. Benar-benar bersebelahan dan tampak begitu kontras bagaimana warung sederhana berhadapan langsung dengan kedai kopi modern dengan mesin kopi mahal dan segala fasilitas yang disediakan. Dan sekali lagi, Pak Sasongko tidak merasa kehilangan pasar sekalipun muncul kedai kopi tepat di sampingnya.

“Pas dia buka, pelanggan saya ya tetap ada,” terang Pak Sasongko. “Saya bahkan pernah ngobrol sama yang punya. Mahasiswa UGM kalau tidak salah. Nah, menurut saya, dia terjebak pada atribut ‘barista’ yang dia miliki.”

Kedai kopi yang saya bahas dengan Pak Sasongko sudah bangkrut hanya beberapa bulan setelah pembukaan. Persis seperti kata Pak Sasongko, awal mula kedai kopi itu buka, banyak pelanggan berdatangan karena undangan, akan tetapi seiring berjalannya waktu, kedai kopi tersebut sepi pelanggan dan pada akhirnya tutup.

“Pemiliknya pernah bekerja sebagai barista, dan dia merasa itu adalah modal yang cukup untuk mengelola bisnis kopi,” terang Pak Sasongko.

“Banyak yang terjebak sama seperti dia. Banyak orang merasa bahwa ‘bisa membuat kopi’ artinya ‘bisa mengelola kedai kopi’, padahal itu ilmu yang berbeda.”

Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa kopi yang enak bukanlah segalanya dalam urusan bisnis. “Kopi enak itu kan subjektif sekali. Ada lima orang disajikan satu kopi yang sama, pasti akan ada lima suara juga tentang kopi itu. Apalagi kalau sudah membicarakan metode seduh, maka subjektivitas akan keenakan kopi itu juga semakin kompleks. Makanya, saya tidak mau memusingkan diri dengan cara menyeduh kopi. Saya hanya menyeduh kopi dengan metode tubruk.”

Pak Sasongko berbincang dengan pelanggannya. Foto oleh Riyanto/Mojok.co

Beliau mengatakan pernah ada salah satu pelanggannya yang mencoba menerka strategi bisnis apa yang diterapkan, sementara Pak Sasongko sendiri sebenarnya tidak secara khusus menggunakan strategi tertentu.

“Ada anak manajemen dulu. Dia menebak kalau saya menerapkan Blue Ocean Strategy. Itu adalah strategi bersaing di pasar yang banyak pesaing, tetapi memberikan sentuhan lain agar tampil berbeda dan memiliki pasar tersendiri. Secara khusus, saya tidak mencoba melakukan itu, tetapi ternyata secara tidak langsung memang saya lakukan. Bukan saya mencoba blue ocean strategy, tetapi secara tidak sadar saya telah melakukannya. Ya diawali dengan saya yang senang berbincang dengan semua pelanggan saya.”

Obrolan kami terjeda ketika ada dua pelanggan datang. Salah satu dari mereka ternyata adalah pelanggan lama yang dulu sering berkunjung. Pak Sasongko meluangkan waktu untuk mengobrol dengan mereka berdua dan mengklaim bahwa beliau memang lupa nama salah satu dari mereka, tetapi tidak pernah bisa melupakan wajah. Setelah obrolan hangat dan singkat, Pak Sasongko membuatkan pesanan dua pelanggannya itu. Salah satu dari mereka memesan kopi durian, salah satu menu andalan di warung kopi milik Pak Sasongko.

Beberapa saat kemudian, Pak Sasongko duduk kembali di hadapan saya, lantas melanjutkan obrolan kami perihal strategi bisnis yang beliau terapkan.

Pak Sasongko hanya melakukan apa yang beliau rasa harus dilakukan. Dia memberi sambutan hangat dan menjadi teman diskusi bagi pelanggannya. Itulah yang membentuk kondisi blue ocean sehingga seperti apa pun kerasnya bisnis kopi di Jogja, pelanggannya akan selalu ada untuk bertemu dengan sang pemilik yang ramah itu.

Meski begitu, Pak Sasongko tetap memiliki menu andalan di warung kopinya yaitu kopi durian. Menu itu yang kemudian terkenal di mana-mana dan selalu menjadi primadona siapa pun yang berkunjung. “Kopi durian menjadi yang paling sering dicari di sini. Awalnya saya disarankan sama salah satu pelanggan untuk mencampur kopi dengan durian. Sewaktu saya coba, kok malah banyak semut dan lengket di mana-mana. Belum lagi kalau sewaktu tidak musim durian, saya sangat kesulitan mendapatkan durian. Makanya saya mencoba trik untuk menjemur daging duriannya di bawah sinar matahari sampai kering, saya haluskan, dan saya campur bersama kopi yang sudah digiling.”

Perpaduan antara menu andalan dan keramahan Pak Sasongko kepada para tamu, akhirnya membuat warung kopinya semakin ramai dikunjungi, pun bertahan hingga bertahun-tahun. “Seiring waktu, bendera saya semakin tinggi di puncak. Kalau bendera sudah di puncak dan berkibar, maka pelanggan pasti datang.”

Sepi pembeli tapi tak rugi

Akan tetapi bendera yang dulu berkibar gagah di puncak tiang itu, kini kehilangan angin. Pandemi Covid-19 nyatanya membuat warung kopi Pak Sasongko harus kehilangan pelanggannya. “Saya kehilangan pasar,” tutur beliau.

“Pelanggan saya mayoritas adalah mahasiswa, dan mereka semua sedang tidak di Jogja saat ini. Akhirnya saya mengalami masa-masa seperti di tahun pertama buka. Kadang ramai, kadang sepi, kadang tidak ada sama sekali.”

Sekalipun begitu, Pak Sasongko tetap percaya bahwa suatu saat nanti warung kopinya akan kembali ramai seperti sebelum pandemi. “Benderanya sudah ada. Sudah terpasang di puncak tiang. Hanya saja angin sedang tidak bertiup,” sambungnya menggunakan analogi yang sangat indah menurut saya. “Nanti jika anginnya bertiup, pasti benderanya berkibar.”

Pak Sasongko menegaskan, adalah wajar jika bisnis minuman meredup pada masa-masa krisis seperti pandemi saat ini. Minuman, kopi terutama, adalah lapisan kedua menurut Pak Sasongko. Lapisan pertama adalah makanan sehari-hari yang merupakan kebutuhan pokok.

“Kalau lapisan kedua itu terhantam di masa seperti ini, itu adalah hal wajar. Justru yang sangat menderita itu yang lapisan pertama. Kalau sampai bisnis makanan sebagai lapisan utama yang merupakan kebutuhan pokok sampai terhantam, itu artinya memang semua sektor sedang terpuruk.”

Pun bagi Pak Sasongko, bukan kali pertama bisnisnya ditimpa masalah. Pada tahun pertama beliau buka, masalah pertama yang dihadapi adalah meletusnya gunung Merapi. “Waktu buka, tiba-tiba Merapi meleutus. Itu kan saya tidak bisa jualan berhari-hari. Abu di mana-mana. Tapi ya sama, bukan hanya menimpa saya, melainkan semua sektor. Itu artinya bukan dari saya yang bermasalah. Memang keadaan sedang tidak memungkinkan.”

Beliau menegaskan, sekalipun tidak bisa jualan, atau pelanggan sepi karena keadaan memang tidak memungkinkan, warung kopinya tidak pernah mengalami kerugian. “Itulah kenapa saya memilih bisnis kopi daripada jus buah atau susu. Kopi itu tahan lama. Tidak ada pemasukan dari pelanggan, tetapi saya kan tidak kehilangan apa-apa. Bahan-bahannya tetap ada. Tempat juga tidak sewa. Jadi ya saya merasa beruntung saja karena meski tidak ada pemasukan, saya juga tidak mengalami kerugian.”

Sesampainya, bukan seenaknya

Warung kopi Pak Sasongko tidak menjual banyak pilihan menu. Hanya ada kopi tubruk biasa dan kopi tubruk susu. Selain itu ada juga es jeruk, susu jahe, dan beberapa makanan ringan. Semuanya dijual di bawah dua puluh ribu rupiah. Dengan harga sedemikian murah, tidak bisa tidak, saya bertanya-tanya apakah penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarga, terlebih di masa-masa sulit seperti ini.

“Saya sudah berjualan lebih dari sepuluh tahun,” tuturnya. “Kalau ditanya cukup atau tidak, saya bisa menjawab cukup. Tetapi cukup itu juga relatif, kan? Bagi saya, penghasilan dari warung ini bisa menghidupi keluarga, bahkan bisa menguliahkan anak-anak juga. Kalau ada yang bilang bisnis saya sukses, saya malah memilih menyebutnya survive. Bisnis saya bertahan sampai saat ini, dan itu yang paling penting.”

Tentang bagaimana keluarganya bertahan selama pandemi ketika tidak ada pemasukan, Pak Sasongko mengatakan di sanalah perlunya mengatur keuangan. Di sisi lain, ketika pandemi terjadi, kuliah anaknya juga baru saja selesai. “Semuanya seperti sudah direncanakan Tuhan,” tuturnya.

“Saya tidak memiliki pemasukan, dan kuliah anak saya sudah selesai. Apabila krisis seperti ini terjadi dua tahun lalu, pasti saya akan sangat susah.”

Kopi di cangkir saya sudah menipis. Paling hanya tiga atau empat seruputan lagi untuk menghabiskannya. Di sisi lain, teh hangat Pak Sasongko, yang saya terka sudah menjadi dingin, belum juga habis meski sudah berkurang lebih dari setengah. Entah bagaimana, saya merasa harus menyudahi obrolan dengan Pak Sasongko, terlebih waktu jam di ponsel saya sudah menunjukkan pukul 21.14.

Sebagai pertanyaan pamungkas, saya membahas perihal sampai kapan Pak Sasongko akan mengurusi warung kopinya, atau akankah warung itu akan diteruskan oleh anaknya atau tidak. Beliau menjawab dengan ringan, pun dengan rona wajah cerah. “Sesampainya,” jawabnya singkat. “Selagi saya bisa, saya akan terus mengurusi warung ini. Kalau ternyata diberi kesehatan dan bisa buka terus, ya saya lakukan. Toh saya melakukannya karena senang.”

Beliau lantas menegaskan bahwa tidak memaksa anak-anaknya untuk mengurusi warung kopinya, karena jika melakukan sesuatu dengan terpaksa, hasilnya akan sesuai yang diinginkan. “Kalau ada yang mau, ya diurusi. Kalau misal mau buka bisnis sendiri, ya tidak apa-apa. Selagi saya bisa, saya akan mengurusi warung ini. Sesampainya itu tadi. Beda dengan seenaknya ya. Kalau seenaknya kan bisa malah asal-asalan.”

Kopi di cangkir saya tandas setandas-tandasnya. Menyisakan ampas kasar yang mengering karena semua cairannya benar-benar saya seruput habis. Bagi saya, itu adalah tanda bahwa obrolan dengan Pak Sasongko memang harus berakhir. Saya sudah berkunjung terlalu lama melewati jam tutup operasional yang hanya sampai pukul 21.00 WIB selama pandemi.

Melanjutkan obrolan, sekalipun saya dan Pak Sasongko menikmatinya, hanya akan membuat Pak Sasongko semakin larut perihal berberes, pun semakin larut pula untuk beristirahat. Di sisi lain, jalanan yang awalnya bising kendaraan bermotor, waktu itu sudah begitu lengang dan senyap.

Saya berpamitan dengan Pak Sasongko. Beliau ramah membalas pamitan saya. Terlampau ramah malahan karena beliau mengangguk sampai hampir membungkuk. Saya meninggalkan kios itu menuju motor yang saya parkir di pinggir jalan, membiarkan Pak Sasongko yang membereskan meja.

Udara begitu dingin dan berat sewaktu saya beranjak meninggalkan kios itu. Kios dengan pencahayaan temaram dan menyimpan banyak kenangan dari semua pelanggannya itu. Dan seiring saya menjauh, saya beberapa kali melihat ke arah spion, mendapati penerangan warung kopi itu mulai dipadamkan.

“Selamat beristirahat, Pak Sasongko. Sampai bertemu pada obrolan panjang pada malam-malam berikutnya.” Ya, saya meneguhkan hati untuk semakin sering berkunjung ke sana.

BACA JUGA Polisi Tidur Jalan Persatuan UGM dan Teriakan Para Korbannya liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version