Venzha Christ, UFO, dan Kegemarannya Menangkap Kode Rahasia Luar Angkasa

Sedang bangun simulasi hidup di Mars di Yogyakarta.

Venzha Christ. (Galih Yoga/Mojok)

Venzha Christ, seorang seniman dan peneliti yang telah bertualang ke berbagai negara, menyatukan komunitas-komunitas pengamat UFO di seluruh Indonesia. Lewat alat yang dibuatnya, ia punya hobi menangkap suara-suara yang bisa jadi adalah kode rahasia dari luar angkasa.  

***

Rabu itu (13/04/2022), saya pertama kali bertandang ke rumah Venzha, yang sekaligus merupakan studio v.u.f.o.c Lab, di kawasan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Sebagaimana yang telah saya lihat di sejumlah media, ia tampil mengenakan topi hoodie dengan bagian ujung berlubang sehingga rambut dreadlock-nya bisa menjuntai ke belakang.

Begitu memasuki rumah Venzha, perhatian saya langsung tersita oleh berbagai benda artefak bertema teknologi, luar angkasa, UFO, dan alien yang nyaris tak terhitung jumlahnya. Mainan-mainan action figure berupa robot, pesawat antariksa, astronot, juga buku-buku berbahasa asing, fiksi maupun non-fiksi, dengan topik seputar astronomi, entitas dari planet lain, dunia paralel, sampai fisika kuantum, semuanya terpacak rapi di rak dan lemari-lemari pria berusia 45 tahun tersebut.

Selain artefak-artefak itu, kita juga bisa melihat beberapa karya Venzha, salah satunya Do It Yourself (DIY) Radio Astronomi, yang bisa menangkap sinyal-sinyal dari luar Bumi. Salah satu komponen radio ini adalah antena yang berbentuk satelit berupa receiver dan benda tersebut menggantung di ruang depan. Sedangkan transmiternya berwujud tabung silinder besar berisi replika alien yang serupa makhluk hibrida, perpaduan antara burung dengan gurita.

Venzha sosok yang cukup hangat dan ramah. Setidaknya, untuk orang yang awam sekali dengan astronomi, luar angkasa atau fenomena-fenomena berkaitan dengan UFO seperti saya. Ia bersedia menjelaskan istilah-istilah tertentu dengan sabar dan telaten di sela-sela menceritakan perjalanannya secara ringkas.

Transmitter berwujud tabung dengan replikas alien di dalamnya. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co).
Transmitter berwujud tabung dengan replikas alien di dalamnya. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

Tumbuh bersama cerita-cerita science fiction

Venzha Christ lahir pada 1975 dari keluarga berpendidikan di Banyuwangi, Jawa Timur. Bapaknya adalah kepala sekolah SMP Katolik Santa Maria, yang tak bisa melewatkan satu hari pun tanpa membaca dan ketat dalam hal belajar. Tidak heran kalau Venzha pun telah akrab dengan buku sejak belia, meski yang ia gemari tidak jauh-jauh dari cerita fiksi mengenai teknologi luar angkasa dan alien.    

Dalam wawancara dengan saya, ia sempat memperlihatkan beberapa koleksinya seperti Superman dan Flash Gordon (baik yang original maupun saduran versi Indonesia) sampai Gundala dan Petruk-Gareng. Bahkan Casper, Snoopy, Donal Bebek, serta Popeye, dan lain-lain yang kesemuanya merupakan edisi khusus bertemakan luar angkasa atau science fiction. Komik-komik ini telah menanamkan ketertarikan dalam dirinya, bukan cuma terhadap alien, melainkan juga perkembangan teknologi.

Ketika remaja, misalnya, Venzha jadi gemar menabung uang jajan buat membeli komponen-komponen elektronik untuk merakit walkie-talkie, pemancar radio, dan penangkap gelombang suara. Bahkan sempat pula ia membentuk grup bersama teman-teman semasa SMP untuk bermain dengan komponen-komponen elektronik itu.

“Dari beberapa kasus, memang pekerjaan membuat device antena, menangkap dan mengirim sinyal, itu sudah jadi minat dari dulu. Hubungannya sama sekarang mungkin bagaimana saya berusaha menangkap frekuensi aneh-aneh ya,” ujarnya dengan nada gurauan.

Saya kira banyak orang Indonesia yang dulu sangat menyukai cerita-cerita sci-fi soal makhluk luar angkasa atau dunia lain di luar bumi dan ingin terus mempertahankan dan meneruskan hobinya kalau bisa. Namun, tidak sedikit dari mereka berhenti meneruskan hobi dan minatnya setelah dewasa.  

Venzha Christ secara pribadi tidak bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana ia mempertahankan ketertarikannya terhadap luar angkasa maupun alien, bahkan hingga memasuki usia kepala empat.

Beberapa koleksi komik Venzha. F(Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

Imajinasi-imajinasi Venzha, dalam perjalanan hidupnya, justru terus berkembang sampai kemudian ia memperoleh panggilan jiwa sebagai seniman space art: cabang seni baru yang berelaborasi dengan astronomi, sains antariksa, dan eksplorasi ruang angkasa.  

Mendunia dengan space art  

Selepas menamatkan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, pada 1999 Venzha bersama sejumlah rekannya membentuk HONF Foundation, sebuah komunitas dan open platform, tapi kemudian menjadi lembaga resmi yang berorientasi pada art, science, technology, and society. Sepanjang berdirinya, HONF telah menginisiasi  berbagai kerja kolaboratif bersama sejumlah institusi, lembaga, dan universitas, baik dalam negeri maupun luar negeri, berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi.

Setelah itu, tahun 2011 ia membikin v.u.f.o.c Lab, sebagai salah satu divisi utama dalam tubuh HONF Foundation, yang fokus pada karya-karya space art dan space science (sains antariksa). Lantas,  bersama dengan semakin berkembangnya HONF Foundation serta jejaring internasional Venzha, persisnya tahun 2014, v.u.f.o.c menginisasi platform bernama Indonesian Space Science Society (ISSS) yang kemudian diresmikan pada 2015, dan menyelenggarakan International SETI Conference pada 2016.

Sejauh ini v.u.f.o.c Lab dan ISSS telah mendapat pengalaman atau kesempatan riset ke 40-an negara dengan lembaga-lembaga astronomi dan sains antariksa. Misalnya, NASA, VIRAC, OCA, LAM, NARIT, JAXA, CEOU, SCASS, KARI, SpaceX, SETI Institute, dan lain sebagainya. 

“Tidak hanya melakukan riset, bahkan sempat kolaborasi real. Bikin karya bareng, dipamerkan bareng scientist, astronomer, atau astrophysics, baik di galeri, universitas, maupun museum,” tutur Venzha.

Venzha Christ dan timnya sempat terlibat proyek pameran “A Human Adventure” yang dihelat oleh  NASA pada 2016 dan memajang seni instalasi DIY Radio Astronomi di ArtScience Museum, Singapura. Bentuk radio tersebut hampir menyerupai satelit dan ia memiliki antena-antena yang bisa menangkap sinyal-sinyal dari objek-objek luar angkasa, seperti bintang atau planet. Sinyal-sinyal itu kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk suara serta visualisasi signal yang bisa diperdengarkan telinga manusia dan dilihat langsung.

Setelahnya, karya Space Art dari v.u.f.o.c Lab dan ISSS tersebut juga sempat menuju Korea, Prancis, India, UAE (United Arab Emirates) dan Amerika.

Baru-baru ini, karya Space Art Venzha dan tim kembali mendarat di negara lain dalam ajang Yokohama Triennale, Jepang, dan Bangkok Art Biennale, Thailand. Dalam acara di Jepang tersebut ia memamerkan penangkap frekuensi berbentuk antena trapesium ganda setinggi 3,5 meter. Sedangkan untuk acara di Thailand, ia membangun tiga konstruksi metal berbentuk globe.

Di sela wawancara, Venzha membolehkan saya untuk mendengarkan suara-suara dari luar angkasa hasil tangkapan radio astronominya yang ia kumpulkan dalam sebuah piringan hitam.

Piringan hitam yang menyimpan suara-suara hasil tangkapan teknologi radio astronomi dari luar angkasa. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

“Supaya bisa didengar telinga manusia, sinyal itu harus dikonvert, kemudian di-amplify dulu. Nah, lab di luar negeri yang bisa dan mempunyai perangkatnya. Yang tertarik-tertarik seperti ini selalu di pihak sana,” tutur lelaki kelahiran Banyuwangi tersebut.

Ia pun meletakkan piringan hitamnya pada pemutar musik dan terdengarlah suara-suara aneh. Suara pertama mirip bising gergaji mesin yang berpadu dengan kemeresek gelombang statis radio dan suara selanjutnya hampir menyerupai degup jantung, tapi temponya lebih cepat, juga lebih menghentak. Suara-suara itu berasal dari sinyal-sinyal yang ditangkap radio astronominya dari langit Yogyakarta.

Namun, apakah gelombang-gelombang yang tertangkap radio astronominya merupakan kode rahasia dari makhluk luar angkasa atau semacamnya, menurut Venzha, belum ada teknologi yang bisa menguraikannya dengan pasti sementara ini.

Perihal UFO dan menyatukan para pengamatnya

Pembahasan mengenai sinyal-sinyal itu membuat obrolan kami masuk ke topik entitas dari luar angkasa dan perkara UFO.

Sejauh ini keberadaan entitas dari luar bumi masih sangat misterius. Paling banter, kita hanya bisa menduga-duga lewat berita mengenai fenomena-fenomena penampakan UFO atau benda terbang tak dikenal. Saya pun sempat bertanya apakah Venzha juga pernah melihat penampakan UFO dalam perjalanan riset-risetnya dan ia mengiyakan.

Salah satunya sewaktu ia berkunjung ke JAXA (Japan Aerospace Exploration Agenxy) di Jepang pada 2002. Ketika sedang bersepeda pagi-pagi, ia dan warga setempat menyaksikan benda terbang berbentuk bulat melayang di langit. Sayangnya, waktu itu Venzha masih belum memiliki gadget canggih untuk bisa mengabadikannya.

Persinggungan Venzha dengan penampakan benda terbang aneh selanjutnya terjadi sewaktu ia mengadakan riset ke New Mexico, tepatnya ke daerah Roswell, yang terkenal dengan cerita jatuhnya pesawat UFO berisi jasad-jasad misterius pada 1947. Kejadiannya tahun 2012, pukul sembilan malam di Albuquerque. Saat itu Venzha sedang jalan-jalan untuk mencari makan ketika ia melihat sebuah benda, yang juga berbentuk bulat, melayang dengan ketinggian selayaknya pesawat pada umumnya.

“Warnanya seperti pelangi, tapi gonta-ganti, dan bentuknya kaya bola tenis,” ungkap lelaki tersebut.

Venzha juga sempat berkemah di Area 51, Nevada, dan  lagi-lagi memperoleh penampakan yang diduga UFO. Itu terjadi sekitar tahun 2013 ketika ia memperoleh undangan residensi dari University of California, Riverside.

Area 51 selama ini terkenal dengan kisah-kisah misteri soal konspirasi dan eksperimen-eksperimen rahasia, sehingga militer Amerika Serikat biasanya cenderung melarang siapa pun mendekati daerah itu kecuali sekadar ‘berkemah’. Beruntunglah Venzha waktu itu berhasil meyakinkan militer dan memperoleh izin. Namun soal penampakan benda terbang itu ia dapati setelah memeriksa hasil foto selama berkemah.

“Tapi aku tidak percaya kalau itu alien, paling ya eksperimen teknologi militer Amerika,” Venzha menerangkan. Menurutnya, Area 51 merupakan salah satu pangkalan militer terbesar di dunia, sehingga kejadian-kejadian ganjil di sana, seperti penampakan benda terbang aneh yang ia dapati, besar kemungkinan adalah hasil percobaan senjata.  

Venzha Christ di Area 51, Amerika Serikat. (Dok. Venzha Christ)

Memang kebenaran-kebenaran mengenai penampakan UFO, baik yang Venzha saksikan maupun yang selama ini kita dengar dari berita-berita, masih belum bisa dipastikan. Tetapi, sebagaimana ia merefleksikan pengalaman risetnya ke berbagai negara selama ini, kita bisa menyelidiki suatu misteri dan meski tak memperoleh temuan, paling tidak, kita dapat membuat skenario-skenario penjelasannya dari beragam perspektif. Misteri, bagaimanapun, mewarnai hidup.  

Indonesia juga memiliki berbagai komunitas yang tertarik pada misteri di balik UFO. Bahkan secara perspektif gagasan dan wacanapun mereka sangat beragam. Ada yang berusaha menyingkap soal UFO dari perspektif sejarah peradaban seperti Lemurian atau Atlantis, ada juga yang melakukan pendekatan melalui sains dan teknologi, pendekatan teori religi, dan bahkan dari perspektif kultur/budaya, seperti kejawen.

Ketika ISSS menghelat program International SETI Conference yang pertama di Asia Tenggara pada 2016, banyak dari komunitas-komunitas pengamat UFO di Indonesia yang menghadirinya. Ini membuat Venzha berpikir untuk menyatukan komunitas-komunitas tersebut supaya mereka  saling berbagi sudut pandang dan hasil riset masing-masing.

“Poin utamanya adalah bagaimana kita menggabungkan fenomena-fenomena yang kita alami,” kata Venzha. Dengan menganalisis satu kasus secara spesifik melalui beragam pendekatan, lanjut Venzha, nantinya riset-riset itu dapat menumbuhkan kesadaran bahwa masih banyak pertanyaan yang harus dijawab.

“Seperti saat ini, misalnya, kita cuma bisa melihat artefak, benda-benda masa lalu yang tercecer, dan sulit untuk menyatakannya sebagai satu definisi tertentu yang pasti,” ujarnya.

Tidak lama kemudian, terbentuklah sebuah platform bernama Indonesia UFO Network (IUN) yang dideklarasikan pembentukannya pada tanggal 21 Juli 2019 di Yogyakarta dan dihadiri oleh 28 komunitas UFO dari seluruh Indonesia. Tanggal tersebut pada akhrinya juga ditetapkan sebagai  Indonesia UFO Day atau Hari UFO Nasional.

Rencana bikin simulasi mars di Kulonprogo

Kini Venzha Christ dan timnya sedang menggarap rencana program pembangunan simulasi Mars di Kulonprogo, Yogyakarta, tepatnya di kawasan Menoreh. Itu adalah sebuah Analog Mars yang diberi nama VMARS, kepanjangan dari v.u.f.o.c Mars Analogue Research Station. Rencana awal VMARS sudah akan mulai beroperasi pada 2021. Tapi pandemi covid-19 membuatnya harus tertunda hingga, rencananya, akan mulai dibangun pada penghujung 2022.

Venzha Christ dan antena bagian dari komponen radio astronominya. Tampak juga berbagai action figure yang ia koleksi di lemari. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co).

Walau begitu, sejak 2020, VMARS telah dipresentasikan di sejumlah negara, seperti Jepang dan Thailand. Bahkan tahun 2022 ini VMARS juga dipresentasikan dalam acara pameran Digital Resonance, G.MAP – Gwangju Media Art Platform, UNESCO Media Art Creative City Platform, Korea Selatan.

Venzha sendiri telah mempunyai pengalaman mengikuti program simulasi hidup di Planet Mars. Ia adalah orang Indonesia pertama dan, sejauh ini, satu-satunya yang bergabung dengan program bikinan Mars Society (bersama dengan MUSK Foundation, SpaceX, NASA, dan NHK) tersebut pada 2018. Selama dua bulan, ia menjadi bagian dari Team Asia, Crew 191, menghuni kubah di MDRS – Mars Desert Research Station, Utah, Amerika Serikat.     

Sehari-hari Venzha bertugas mengoperasikan alat pendeteksi radiasi matahari dan menulis jurnal. Karena para peserta diposisikan seolah-olah mereka melakukan one way mission  (artinya tidak akan bisa pulang ke bumi), maka setiap tindakan, setiap kegiatan, tidak boleh sia-sia. Dalam artian, segala yang ia lakukan tujuannya harus pasti.

Sementara itu, menurut Venzha, suasana di tempat simulasi Mars betul-betul mirip dengan gurun: bila malam udaranya kelewat dingin dan bila siang panasnya minta ampun.

“Kalau siang 40 derajat, kalau malam bisa minus 20. Tapi di Mars (yang asli) bisa sampai minus 80 atau lebih. Nah yang paling mirip itu Antartika. Ia bisa sampai minus 60. Cairan apa pun yang keluar dari kita akan beku dalam hitungan detik,” imbuhnya.

Pelatihan Mars yang kedua adalah: Simulation of Human Isolation, Research for Antarctica-based Space Engineering – SHIRASE, oleh Field Assistant, di Jepang pada tahun 2019.

Namun demikian, proyek VMARS agak berbeda dengan program simulasi Mars yang pernah Venzha ikuti.  Dalam VMARS, ia ingin lebih berfokus pada teknologi seperti spacefarming atau kegiatan bercocok tanam, menumbuhkan yang manusia butuhkan untuk bertahan hidup di Mars. Kemudian mengenai teknologi alternatif spacefood yang mengajarkan bagaimana cara kita supaya survive dengan tumbuhan yang kita tanam. Terakhir, teraforming atau menghijaukan tempat yang tidak berklorofil. Misalnya, dengan pengembangan teknologi algae, dengan lumut.

“Program VMARS nantinya akan mempertemukan para profesor dari berbagai universitas dan menjadi langkah awal untuk membangun riset-riset yang kolaboratif. Dengan VMARS, harapannya orang bisa terlatih berkolaborasi lintas disiplin serta fokus dengan kebisaan dan ilmunya masing-masing,” demikian Venzha memungkasi obrolan kami.

Venzha optimis bahwa suatu saat manusia bisa dengan mudah bepergian ke bulan atau Planet Mars dan barangkali, juga menyingkap berbagai misteri mengenai UFO. Bagaimanapun, teknologi berkembang sangat cepat dan pesat. Tapi bersama dengan itu, muncul juga pertanyaan seberapa siap kita, bangsa Indonesia, berkontribusi dalam perkembangan teknologi ruang angkasa kelak?

Venzha dan para pegiat v.u.f.o.c serta ISSS menjawabnya dengan berusaha mengembangkan sains antariksa untuk generasi masa depan Indonesia. Dan VMARS menjadi salah satu langkah awal mereka.

Penulis: Khumaid Akhyat Sulkhan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Masjid Jami’ Tegalsari, Tempat Berguru Pakubuwono II dan Ronggowarsito dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version