Tengkleng Bu Edi, Sepincuk Kehangatan dari Pasar Klewer Solo

Buat kamu yang gemar kuliner olahan kambing, Tengkleng Bu Edi bisa jadi tempat yang wajib kamu kunjungi jika berada di Kota Solo. Berbahan dasar rebusan tulang kambing, makanan ini sudah jadi primadona warga Solo. Tengkleng Bu Edi ini spesial karena rasanya berbeda dengan tengkleng yang biasa kamu temui di kota lain.

***

Hujan selalu mewarnai langit kota Solo saat siang beberapa hari belakangan. Hawa dingin juga cukup kompak mendukung cuaca yang selalu mendung. Tentunya makanan hangat dan berkaldu sangat cocok untuk menjadi teman makan siang.

Untuk kaum mainstream tentunya akan memilih bakso atau sop sebagai menu andalan. Namun saat berada di Solo, apalagi pencinta olahan kambing, tengkleng jadi menu yang tidak bisa dilewatkan.

Salah satu jujugan yang bisa jadi rekomendasi untuk makan tengkleng di Solo adalah Tengkleng Bu Edi. Lokasinya berada tak jauh dari Pasar Klewer, pasar ini merupakan pusat perdagangan sandang terbesar di kota Solo.

Letaknya berada tepat di sebelah Masjid Agung Surakarta dan berada di dalam taman parkir. Warung Tengkleng Bu Edi tidak pernah sepi. Tempat duduk di warung ini selalu terisi penuh.

Begitu pula saat saya datang ke lokasi pada hari Kamis (20/1) siang. Dari empat meja yang berukuran 3×1 meter, semua penuh! Saya terpaksa mengantre terlebih dahulu untuk dapat menikmati seporsi tengkleng ini.

Saat menunggu, saya perhatikan ada tiga orang yang melayani: dua perempuan dan satu lelaki yang tengah sibuk di hadapan empat kuali besar. Tiga kuali berisikan potongan tulang-tulang dan jeroan yang dipotong kecil-kecil. Sedangkan satu kuali lain di sisi terpisah berisikan kuah yang dimasak di atas kompor dengan api kecil. Aromanya sangat menggoda.

Tengkleng Bu Edi Pasar Klewer mojok.co
Suasana di Tengkleng Bu Edi, Pasar Klewer, Solo. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Dua orang perempuan ini terampil memilihkan bagian-bagian yang bisa dinikmati dengan mudah oleh pelanggan dan diukur dalam porsi yang pas. Sementara yang lelaki bertugas menyiramkan kuah panas pada tengkleng yang porsiannya sudah diatur sebelumnya.

Setelah menunggu beberapa saat, tiba akhirnya saya bisa memesan. Di warung Tengkleng Bu Edi ini tidak ada menu lain, hanya ada tengkleng. Untuk menikmatinya, saya sengaja memilih jeruk panas sebagai pendamping. Saya kemudian dipersilakan duduk untuk menunggu makanan saya disajikan. Sembari memesan, saya juga meminta izin untuk berbincang dengan salah satu penjual.

Ia bernama Sulistri atau yang akrab disapa Mbak Tri. Perempuan 43 tahun ini merupakan generasi ketiga di keluarganya yang berjualan tengkleng. Generasi pertama adalah neneknya dulu yang bernama Mbah Saliyem. Dulunya Mbah Saliyem masih berkeliling menjajakan dagangannya.

“Kalau simbah dulu masih keliling, sekitar tahun 40-an mungkin, jaman harga tengklengnya masih Rp50. Baru ibu yang berjualan magrok (menetap) di bawah gapura itu sekitar tahun 1971,” ucap Sulistri menceritakan.

Ibu dari Sulistri yang bernama Ediyem kemudian memilih lokasi di bawah Gapura Pasar Klewer. Dari sinilah kemudian Tengkleng Bu Edi ini dikenal. Orang-orang juga menyebutnya sebagai Tengkleng Gapura Sar Klewer.

“Ibu juga yang ngasih nama. Dulu saat simbah jualan enggak ada namanya,” katanya.

Pesanan saya kemudian sudah siap. Dari tampilannya sangat sederhana, nasi tengkleng yang disajikan dalam pincuk daun pisang dan kertas minyak dan dialasi dengan mangkok.

Dalam tiap porsi tengkleng ini ada nasi, satu bagian daging atau jeroan yang ditusuk seperti sate, potongan tulang-tulang dan tak lupa dua buah cabai rawit bagi pelanggan pecinta pedas. Untuk seporsi tengkleng ini dibanderol dengan harga Rp50 ribu.

Sendokan pertama nasi dengan potongan daging yang saya ambil dari tulang terasa sangat nikmat. Daging ini hanya saya senggol sekali dari tulangnya dengan sendok dan kemudian lepas. Ini menandakan bahwa tulang ini dimasak dengan sangat lama dan matang sempurna. Kuahnya pun sangat ngaldu. Sehingga saat tengkleng ini bersanding dengan nasi atau tidak, semua bisa cocok.

Cita rasa ini sangat pas dengan suasana hujan yang tak henti-hentinya mengguyur Solo. Apalagi tengkleng yang saya makan tetap panas saya diamkan beberapa saat. Ini menandakan bahwa makanan dimasak dengan api kecil yang sangat lama, hingga panasnya tetap awet.

Usai menandaskan tengkleng dan aksi menggerogoti tulang-tulang selesai, saya kembali berbincang dengan Sulistri. Ia menceritakan bahwa dirinya sudah membantu ibunya sejak SMA. Saat itu dirinya sudah sering membantu sang ibu berjualan di bawah gapura Pasar Klewer.

“Mungkin sekitar tahun 1996,” katanya sembari mengira-ngira.

Sejak dulu tengkleng Bu Edi memang sudah ramai dengan pembeli. Bahkan tak jarang hanya dua hingga tiga jam berjualan, tengkleng ini ludes terjual.

Pelanggannya pun tak hanya datang dari dalam kota. Namun banyak pula pembeli dari luar kota yang singgah ke warung Bu Edi.

“Dari Bandung, Bali, Jogja, Semarang, Jakarta juga datang ke sini,” katanya.

Tengkleng tanpa santan

Pada tahun 2014 Pasar Klewer terbakar. Kejadian ini membuat Sulistri tak bisa berjualan di tempat semula. Kemudian ia dan ibunya memutuskan untuk pindah lokasi jualan.  Lokasi yang baru tak jauh dari lokasi semula. Hanya berjarak beberapa meter menjorok ke dalam dan berada di area taman parkir.

Bagi sebagian orang yang sudah familiar dengan rasa Tengkleng Bu Edi, ada rasa khas dari tengkleng ini. Selain rasa empuk, kuah gurih berkaldu juga menjadi cita rasa tersendiri.

Namun saat ditanya apakah ada treatment khusus agar tengkleng ini terasa spesial, Sulistri mengatakan tengklengnya sama seperti yang lain. Hanya saja, ciri khas tengkleng Solo memang berkuah encer dan tidak memakai santan.

“Kalau sejak zaman nenek, sampai ibu dulu mengajarkan, tengklengnya memang enggak pakai santan. Enggak tau kalau di tempat-tempat lain, kalau di sini memang enggak ada santannya. Jadi ya bisa dibilang ini semacam sop,” kata Sulistri menerangkan.

Tiap harinya Sulistri membuka warung mulai pukul 12.00 siang. Biasanya tak sampai senja datang, empat atau bahkan lima panci besar tengkleng buatannya sudah habis. Bahkan untuk hari Sabtu dan Minggu atau hari-hari libur lainnya, tengklengnya habis lebih cepat.

“Biasanya kalau hari libur lebih ramai. Banyak orang dari luar kota yang datang. Kalau hari biasa seperti ini juga ada dari luar kota, tapi tidak sebanyak kalau hari libur,” ucapnya.

Sulistri sedang menyiapkan sepincuk tengkleng. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Ia memulai semua persiapan jualan biasanya sejak habis subuh. Terkadang, kalau ada pesanan tengkleng, ia memulai lebih dini, sekitar pukul 03.00 WIB. Mulai dari memilih bahan, seperti tulang, kepala, jeroan hingga daging serta bumbu dan semuanya dilakukan sendiri bersama dengan keluarga.

Sulistri biasanya mendapat tulang dan bahan-bahan tengkleng dari pemasok. Untuk seharinya, ia membutuhkan sekitar 40 kepala kambing, 50 kilogram tulang, 15 kilogram jeroan dan 10 kilogram daging. “Jumlah ini biasanya bisa jadi 4-5 panci. Kalau porsiannya saya enggak bisa ngitung, kira-kira bisa sampai 200 porsi, atau kadang kurang,” katanya.

Lain cerita pula saat ada pesanan, baik pesanan di dalam kota maupun luar kota. Untuk melayani pesanan, biasanya Sulistri  menggunakan kuali atau termos. Tujuannya untuk mempermudah pelanggan agar tidak perlu mengembalikan wadah.

Untuk layanan pemesanan ini Sulistri juga membuka menu lainnya, seperti tongseng ataupun gule. Sebab untuk bantuan tenaga memasak, masih memadai. Sedangkan saat berjualan, ia hanya melayani menu tengkleng saja.

“Ya kalau jualan kan repot kalau harus masak yang lain. Sedangkan kalau ramai kan sudah seperti itu,” katanya.

Alasan ini pula yang membuat Sulistri masih belum membuka cabang baru dan melayani pemesanan melalui aplikasi seperti Gofood, Grab Food ataupun Shopee Food. Pasalnya ia sudah kewalahan melayani pelanggan. Sehingga saat ada sales marketing yang datang ke Tengkleng Bu Edi menawarkan kerjasama oleh Sulistri selalu ditolak.

“Enggak, masih belum pengen (buka di Aplikasi layanan makanan). Lagian rasanya juga beda, kalau pelanggan datang dan makan kan rasanya seneng melihatnya,” ujarnya.

Keseharian, Sulistri dibantu oleh adik dan saudara-saudaranya. Sepeninggal ibunya, Bu Ediyem, pada 2016 lalu, Sulistri melestarikan warung tengkleng warisan ibunya ini. Ia dibantu lima hingga enam orang yang semuanya saudara dan kerabat.

Saat ditanya keinginan membuka cabang atau membesarkan warungnya. Sayangnya saat ini ia sudah kewalahan untuk melayani pelanggan. “Ya gimana pelanggannya banyak. Sebenernya ya pengen buka warung yang lebih besar atau buka cabang. Tapi belum sempat,” katanya.

Salah satu pelanggan yang saya temui adalah Fetty Suciningtyas (20). Perempuan yang tengah bekerja di Yogyakarta ini bersama kawan-kawannya sedang berkunjung ke Solo untuk main dan berlibur. Ia dapat informasi mengenai Tengkleng Bu Edi dari Google dan memang sengaja menyambangi untuk mencicipinya.

“Ya kesini, penasaran aja. Kan banyak yang bilang tentang Tengkleng Bu Edi, makanya tadi lihat di Google dan nyobain ke sini,” ucapnya.

Fetty membenarkan rasa tengkleng ini memang berbeda dengan tengkleng lainnya. Kuahnya encer dan dagingnya empuk. “Ya kuahnya encer, rasanya juga lumayan enak, dagingnya pun empuk,” ucapnya.

Reporter : Novita Rahmasari
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Rahasia Racikan Teh Angkringan, Cita Rasa Khas Tepi Jalan dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version