Soto Sapi EDS di Wonosobo ini terkenal dengan potongan daging sapinya yang besar-besar. Berdiri sejak 1985, pemilik soto ini tak pelit untuk berbagi resep. Siapapun yang minta, pemiliknya akan dengan senang hati menuliskan resep sotonya.
***
Menu sarapan wajib hukumnya dengan sajian makanan yang “panas”. Apalagi di Wonosobo yang udaranya dingin. Ada banyak pilihan menu sarapan favorit di Wonosobo seperti mie ongklok, nasi megono, atau soto. Semuanya tentu saja belum lengkap tanpa ditemani dengan tempe kemul yang hangat.
Nah, kali ini tujuan saya adalah sarapan di warung soto sapi yang sudah dikenal di Wonosobo: Soto Sapi EDS. Kamis (17/2/2022) pagi saya mampir di warung soto ini pukul 08.50 WIB. Sesampainya di sana saya langsung memesan menu andalan warung itu, apalagi kalau bukan soto sapi seharga Rp19.000, dengan tempe kemul Rp1.000 , dan tak luput segelas Teh Tambi hangat Rp2.000.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu pesanan datang. Saya memang sengaja untuk datang di jam yang agak nanggung itu—bukan di waktu sarapan dan bukan pula di waktu makan siang. Tentunya dengan tujuan bisa bertemu dengan pemilik dari warung Soto Sapi EDS.
Pesanan sudah siap dan tersaji di meja. Soto ini berjenis soto bening tanpa lemak. Potongan daging sapinya tak pelit. Oya, berbicara soal soto, ini adalah menu yang paling familiar di Indonesia. Kuliner soto ragamnya bervariasi. Bahkan menurut Murdijati Gardjito (pakar kuliner tradisional UGM) seperti yang dikutip dari Lokadata.id, soto layak menjadi representasi kuliner di Indonesia. Dalam penelitiannya, setidaknya ada 75 jenis soto di 22 daerah kuliner di Indonesia dengan 48 jenis bumbu yang digunakan. Data ini cukup membuktikan bahwa negeri kita kaya akan kuliner jenis soto.
Kini yang tersaji di depan saya adalah Soto Sapi EDS yang populer itu. Diiringi suara radio, saya mulai menyantap soto daging sapi dengan nasi. Satu lagi yang membedakan soto ini dengan yang lain adalah adanya rasa manis dalam kuahnya yang hadir dari campuran kunir dan gula jawa. Semua kelezatan ini tercampur dalam semangkuk Soto Sapi EDS. Satu porsi soto yang panas ini saya lengkapi dengan menyantap tempe kemul hangat. Rasanya tak usah ditanya lagi, kemepyar!
Setelah saya selesai menghabiskan sajian soto seger ini, saya lantas berkenalan dengan pemilik dari warung Soto Sapi EDS. Suasana warung yang tak begitu ramai—karena sudah hampir lewat jam sarapan—membuat saya leluasa berbincang dengan si empunya warung soto.
Namanya Dwi Budi (50) atau yang akrab di sapa Budi. Sambil menikmati segelas Teh Tambi hangat, saya mengajak Pak Budi untuk bercerita tentang warung soto yang telah menyandang gelar “Khas Wonosobo” ini. Pak Budi merupakan generasi ke-2 dari warung Soto Sapi Khas Wonosobo EDS.
“Warung soto ini sudah ada sejak tahun 1985, yang mendirikan orang tua saya, dulu warungnya belum seperti sekarang, masih pakai tenda,” ungkapnya.
“Dulu tidak langsung jualan soto, jadi awalnya orang tua saya itu jualan bakso dan jualannya door to door, menjajakan dari satu rumah ke rumah lain, nah baru setelah bakso mulai jualan soto,” cerita dari Budi ini menjelaskan kenapa menu bakso masih tetap tersaji di warung ini.
Soal nama “EDS” yang melekat di belakang nama soto sapi tentu bikin saya penasaran, apa arti singkatan tersebut. Rasa penasaran itu lantas saya tanyakan kepada Pak Budi. “Saya juga tidak tahu itu singkatannya apa, Mas,” jawaban ini sontak membuat saya bingung dan tertawa.
“Sebenarnya nama EDS itu bukan saya yang buat, jadi kan saat warung ini masih dipegang orang tua saya itu tidak ada namanya, lalu saudara saya buka konter HP di sini,” ujar Pak Budi sambil menunjuk warung bagian depan di mana konter berada.
Ia melanjutkan ceritanya, “Nah, nama konter HP saudara saya itu EDS, jadi orang-orang taunya kalau sini itu namanya EDS, kemudian sepuluh tahun lalu saat saya dipasrahi untuk meneruskan warung ini saya bingung mau dikasih nama apa, daripada pusing-pusing ya sudah saya pakai saja nama EDS saja,” jelas Budi.
Pelanggan mulai ramai saat saya sedang berbincang dengan Pak Budi, ada yang minta dibungkus dan tak sedikit yang makan di tempat. “Total di sini ada enam karyawan, Mas, tiga jaga pagi sampai sore dan tiga lagi dari sore sampai malam, warung ini kan buka dari jam tujuh pagi sampai sembilan malam,” ungkapnya.
“Tetapi saya masih kerap beberapakali juga melayani pembeli, bukan karena saya tidak percaya karyawan, tapi bagi saya melayani pembeli itu adalah cara saya refreshing, itu hiburan bagi saya mas,” imbuh Pak Budi.
Pelanggan kini sudah terlihat terus berdatangan. Warung Soto Sapi EDS yang terletak di Jalan Ahmad Yani No.118, Ngepelan, Wonosobo, ini sudah menyandang gelar soto “khas Wonosobo”. Soto dengan cita rasa gurih dan agak manis ini sudah jadi favorit masyarakat dan pengunjung yang datang ke kota ini.
“Jadi kan ada banyak jenis soto, di sini itu punya ciri khas rasanya yang lebih manis sesuai dengan selera lidah orang sini, rasa manis itu dari gula jawa sehingga warna kuahnya menjadi agak merah, dan yang terpenting adalah daging sapinya yang besar dan empuk, itu yang menjadi ciri di sini,” jawaban ini seperti mengonfirmasi dugaan saya bahwa soto ini dicari karena memang daging sapinya yang lezat. Potongannya besar dan empuk.
“Saya juga ambil daging sapi yang benar-benar berkualitas tinggi, meskipun lebih mahal, tetapi saya lakukan demi mengutamakan kesehatan konsumen, itu adalah prioritas saya.” Jelas Pak Budi.
Kualitas dari bahan pilihan itu nyatanya membuahkan hasil. Warung Soto Sapi EDS bisa menghabiskan 10 kg daging sapi dalam sehari. “Saya olah satu hari sebelum siap disajikan agar bumbunya bisa meresap, kalau belum ada sehari saya tidak berani jual,” imbuhnya.
Kualitas dan rasa yang terjaga hampir empat dekade membuat soto ini digemari banyak orang sehingga menyandang soto “khas Wonosobo”. Tak jarang tawaran franchise datang ke pihak warung untuk membuka cabang di lokasi yang lain. “Ya saya memang memiliki keinginan membuka di kota lain, tetapi kalau di Wonosobo cukup satu saja, meskipun banyak warung soto lain tetapi saya cukup di sini saja.”
Banyaknya warung soto lain yang terus bermunculan juga tak dianggap pesaing oleh Pak Budi. Ia malah makin senang dengan adanya warung-warung soto yang hadir di dekat warungnya. “Saya itu malah senang kalau ada yang jualan di dekat sini, karena bisa membuat Jalan Ahmad Yani ini menjadi tujuan wisata kuliner, untuk yang mau jualan soto juga tidak masalah, bahkan resep yang saya punya kerap saya bagikan.”
Bagi Pak Budi resep bukan sesuatu yang sakral dan rahasia. “Kalau ada yang mau minta resep pasti saya tuliskan dengan senang hati, entah itu sekadar untuk konsumsi pribadi atau bahkan mau dibuat warung, mangga saja,” imbuhnya.
Bagi, Budi, resep itu bukan kunci, bisa saja dengan resep yang sama tetapi rasa berbeda. “Mengapa itu bisa terjadi saya juga tidak tahu, yang jelas dengan kita memberikan resep ke orang lain maka akan mampu mendorong kita untuk menjadi lebih baik, mengembangkan sesuatu yang dimiliki, sehingga tidak hanya diam di tempat dan nyaman dengan sesuatu yang sudah ada, konsepnya sama yaitu saat kita memberi maka akan menerima lebih,” paparnya panjang lebar.
Segelas Teh Tambi yang sudah tersisa sedikit lalu saya habiskan. Terakhir, Pak Budi meminta masukan dari soto yang telah saya santap. “Saya itu suka mendengar masukan dari orang-orang, itu membuat saya bisa berbenah, kalau respon baik atau pujian justru saya tidak begitu peduli,” ujarnya. Alhasil saya memberikan beberapa masukan kecil dari sotonya yang sudah mantap dan sekaligus mengakhiri obrolan.
Reporter: Galih Nugroho
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Cepuri Parangkusumo, Saksi Cinta Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati dan liputan menarik lainnya di Susul.