Mulai 1 Februari 2022, pedagang kaki lima (PKL) Malioboro harus masuk ke tempat relokasi. Selama sepekan, PKL harus pindahan dan Jalan Maliboro wajib bersih dari PKL. Teras Malioboro 1, tempat rekolasi yang berupa gedung mal, pun dipenuhi hiruk pikuk PKL yang memboyong dagangan mereka, bersama harapan dan kekhawatiran.
***
Pagi-pagi benar, selepas salat subuh, Nur Ningsih (60) sudah bersiap-siap dari rumahnya di Soragan, Kota Yogyakarta. Dibantu putrinya, ia mengemasi barang dagagannya untuk dibawa ke tempat jualan baru. Hari itu, Selasa (1/2), sesuai aturan Pemda DIY, ia tak lagi berjualan di jalan Malioboro.
Sekitar jam 7 pagi, ia sudah tiba di Teras Malioboro 1 (eks Gedung Bioskop Indra), satu dari dua tempat relokasi yang disediakan. “Ini tadi ikut pengajian dulu. Berdoa semoga lancar rezekinya di sini,” ujar ibu-ibu berjilbab yang telah berdagang di Malioboro sejak 1985 ini.
Setelah itu, ia menyiapkan jualannya, seperti kalung, gelang, aksesoris, dan topi. Alhasil menjelang siang, jualannya sudah tertata rapi di lapaknya, di sudut timur lantai 1 gedung bergaya industrial tiga lantai yang megah itu.
Sebenarnya ia berniat langsung jualan hari itu. Namun rupanya pembeli belum datang dan tempat relokasi baru dipenuhi PKL lain yang baru pindahan. “Ya harapannya tetap ramai saja. Kita ngikut saja dari paguyuban dan pemerintah,” kata dia.
Lapak Nur boleh dibilang yang pertama siap di antara jualan lain kala itu. Saat Mojok berkeliling dari lantai dasar hingga dua lantai di atasnya, belum banyak barang dagangan menempati lapak-lapak di sana. Kalau pun ada, dagangan itu baru dalam bungkusan dan belum ditata.
Angkut-angkut pedagang terlihat di trotoar sisi utara Teras Malioboro 1. Sejumlah pedagang sudah mengemasi jualannya dalam tas, terpal biru, dan gerobak. Para pedagang lantas hilir mudik ke tempat jualan baru mereka.
Seorang wisatawan asal Surabaya, Ika (45), pun sempat bingung. Saat mendatangi Teras Malioboro, ia mengira sudah bisa berbelanja di sana. Namun ternyata para pedagang belum siap.
“Tempatnya bagus kayak mal. Memang ciri jalanannya hilang. Tapi yang penting, kalau tempatnya kayak mal gini, harganya tidak naik. Dulu saya beli kaos di Malioboro Rp100 ribu dapat enam,” cerocosnya seraya tertawa.
Para pedagang belum memikirkan soal harga Karena masih berkutat dengan tempat jualan baru. Eko (50), warga Tegalrejo, Kota Yogyakarta, yang sudah tuntas memberesi sandal-sandal dagangannya saja belum bisa bernapas lega. Parasnya masih kecut karena rupanya lapak itu tak muat seluruh dagangannya.
“Ini kira-kira isinya 100 sandal. Padahal ini baru separuh dagangan saya. Sisanya harus ditaruh di mana?” kata dia yang sudah berjualan sandal 30 tahun, meneruskan usaha jualan kerajinan ayahnya.
Di tempat relokasi ini, PKL mendapat lapak berbentuk semacam lemari. Separuh bagian atasnya rangka besi terbuka yang digunakan untuk memajang dagangan, sementara separuh bagian bawahnya berupa laci kayu untuk menyimpan barang. Lebar lapak itu 75 centimeter dan tingginya sekitar 2 meter. Pedagang dikelompokkan ke tiap empat lapak yang saling bersisian.
Lapak itu pun dianggap terlalu sempit, apalagi jika dibandingkan dengan saat pasaran di Malioboro. Untuk menyiasati, ia memasang terali besi baru untuk tempat display sandal yang sekaligus dapat dikunci.
“Tempatnya cilik. Idealnya minimal satu meter atau seperti itu,” kata dia sambil menunjuk lapak untuk penjual makanan di lantai 2.
Namun ia dan para PKL tak bisa menentukan lapak sendiri. Lapak-lapak itu diperolah melalui undian di tiap paguyuban. “Tiap 10 PKL sudah ada nomor untuk lokasi pengelompokannya,” ucap Eko.
Untuk penataan ruang, empat lapak diatur dalam satu posisi yang saling bersisian. Jaraknya dengan empat kelompok lapak lain sekitar satu meter. Dengan penataan ini, pedagang yang duduk di bangku untuk menunggu jualannya akan berdempetan dan membuat akses antar-lapak terbatas.
Kondisi itu juga diakui Eko bakal menyulitkan pengunjung. “Ini kalau pas rame, kangelan (kesulitan),” katanya.
Ia mengakui, jika dibanding lapaknya dulu di trotoar Malioboro yang berupa platform besi untuk memacak sandal, Teras Malioboro beserta lapaknya kini lebih bagus dan bersih. “Tempatnya jelas apik sini. Kan kayak mal,” kata dia.
Namun soal rezeki, menurut Eko, jalanan Malioboro lebih jelas. Saat ramai-ramainya ia bisa meraup di atas Rp1 juta per hari. “Dari jualan sandal ini saya bisa nguliahke anak mbarep saya sampai sarjana,” kata bapak dua anak ini.
Jualan di Malioboro juga tak dibatasi waktu. “Dulu bisa sampai jam 12 malam, sak enteke wong. Kalau yang di sini denger-denger sampai jam 9 malam,” tuturnya.
Eko bilang, jika bisa berandai-andai, ia akan tetap memilih berjualan di jalanan Malioboro. Soalnya, pendapatan di Jalan Malioboro sudah pasti dan tak semisteri di tempat relokasi ini. “Di sana jelas ramai. Kalau ning kene rung reti (di sini, belum tahu),” katanya.
Eko pun tak bakal menolak jika ada aturan baru, misal pihak toko berbagi pajak dengan para PKL. Selama ini hanya membayar retribusi ke paguyuban PKL dan iuran sampah dengan total Rp60 ribu per bulan.
Menurutnya, hubungannya dengan pemilik toko tempatnya berjualan selama ini baik. Pihak toko juga tak pernah menegur, apalagi mengusirnya. “Tapi kalau dari teman-teman, benturan selalu ada,” katanya.
Sejumlah pemilik toko keberatan PKL memasang lapak yang terlalu tinggi atau lebar sehingga menutupi toko. Ada pula “oknum” pemilik lapak yang menyewakan lapaknya ke pedagang lain.
Namun keputusan sudah diambil, bahwa PKL harus pindah dari Malioboro. Ia pun akan mengikuti ketentuan untuk berjualan di tempat relokasi. Jika menolak, ia khawatir tak akan tak lapak di Teras Malioboro.
“Ditampa ikhlas wae, wong maune nggak duwe. Ngko ora oleh nggon malah repot. Wong enggak ada pilihan lain,” ucapnya.
Ketua Paguyuban PKL Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni) Slamet Santoso menyatakan 431 anggota Pemalni akan masuk di Teras Malioboro 1 secara bertahap. “Kami melakukan undian terbuka. Undian kelompok, ada 10 kelompok yang mengambil nomor urut,” ujarnya.
Selain Pemalni, ada sembilan komunitas menempati ‘mal’ Teras Malioboro 1. Sejak awal, kata Slamet, komunitas itu sudah setuju relokasi. “Anggota Pemalni dari awal sudah diberi pehamanan. Tidak ada penolakan bahkan tidak ada yang minta penundaan karena kami sudah sosialisasikan,” katanya.
Slamet yakin tempat relokasi bakal sepi. Meski semula ada keraguan, setelah ada komunikasi dengan Pemda DIY, ia menyebut bakal ada ajang promosi, seperti penyelenggaran acara, seperti pentas musik dan seni budaya di pelataran dan lantai atas Teras Malioboro 1.
Menurut dia, ciri Malioboro bakal tetap bertahan di tempat relokasi, termasuk harga produk PKL. “Harganya masih standar, terukur, dan tetap akan ada daftar harga. Tidak ada perubahan harga meski tempatnya baru,” katanya.
Untuk membersihkan Malioboro dari PKL, Satpol PP DIY pun menerjunkan personel. Mereka diminta segera memindah dagangannya ke Teras Malioboro. Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad menyatakan tindakan tersebut sudah sesuai kesepakatan dan Surat Edaran dari Pemerintah Kota Yogyakarta.
“Tanggal 1-7 (Februari) itu masa pemindahan seluruh PKL ke Teras maliboro. Kami sudah mengingatkan bahwa mulai tanggal 1 sudah tidak diperbolehkan jualan. Tapi kenyataan masih banyak yang jualan. Kami datangi satu-satu masih banyak yang ngeyel,” tuturnya.
Pada hari ini, ia mempekirakan sekitar 30 persen PKL sudah pindah. Banyak pula yang menyatakan bersedia pindah besok. Menurutnya, selama sepekan ini, pihaknya akan melakukan langkah persuasi, seperti imbauan dan membantu PKL pindahan.
Setelah itu, Satpol PP tak segan mengambil tindakan represif. “Direpresi mulai tanggal 8. Langsung penyitaan. Kami sita taruh di sini. kami proses,” ujar dia saat ditemui di Teras Malioboro 1.
Hingga pertengahan Februari Satpol PP dan Jogoboro (petugas keamanan dan ketertiban) akan berpatroli di Malioboro. Langkah ini untuk memastikan Maliboro bersih dari PKL. “Setelah tidak ada PKL, toko juga tidak boleh menempati tempat yang ditinggalkan PKL,” katanya.
Selain itu, Noviar menyatakan, petugas juga akan melarang munculnya PKL baru di jalanan Malioboro sesuai instruksi Gubernur DIY. PKL harus berada di Teras Malioboro. Jika tidak, itu artinya PKL tak tergabung di paguyuban. “Solusinya ya harus ke luar dari sini karena mereka tidak resmi,” ujar Noviar.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Suara Warga Malioboro di Hari Relokasi PKL dan liputan menarik lainnya di Susul.