Sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan yang kerap bolak-balik ke Gunungkidul, ada satu kuliner yang membuat saya penasaran untuk mencobanya. Walang goreng. Saya harus segera menuntaskan rasa penasaran saya pada makanan ini karena sebentar lagi musim kemarau. Musim paceklik walang.
***
Awal April lalu, saya ke Gunungkidul, ketika sampai di sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder, saya mulai celingak celinguk memperhatikan meja kosong bertulis ‘Walang Goreng Dadakan’ yang berjejeran di pinggir jalan. Sepertinya kedatangan saya masih terlalu pagi, para penjual belum datang dan bersiap. Para penjual walang goreng dadakan di sini memang biasa berjualan hanya bemodal meja dengan payung sebagai pelindung, tak ada gerobak ataupun warung.
Setelah mengendarai motor hingga daerah Playen, ternyata para penjual walang goreng dadakan memang belum ada yang buka satupun. Ya sudah, saya mencoba berhenti di angkringan yang telah buka sambil menunggu hari agak siang. Saat tangan ingin mencomot sate telur kesayangan, sebuah plastik kecil rupanya mengalihkan perhatian saya, “Ini apa, Pak?”
“Walang goreng, Mbak. Cuma tiga ribu rupiah saja,” jawaban si bapak-bapak angkringan ini membuat mata saya berbinar, tanpa berpikir panjang saya ambil dua bungkus. Belum selesai menyobek plastik bungkus walang goreng, sebuah suara membuat saya menoleh, “Baru pertama kali coba ya, mbak?”. Sebut saja Mas Ibnu, si mas yang tak mau diajak kenalan ini memiliki umur sekitar 22 tahun. Tanpa sadar, dirinya ternyata sudah duduk di sebelah saya sejak tadi.
Saya pun mengangguk. Membuat Mas Ibnu ikut mengangguk-angguk sambil menghisap putung rokoknya, “Hmm, coba makan satu dulu mbak, jika tidak ada reaksi berarti aman.”
Mendengar perkataan Mas Ibnu membuat saya sempat bingung. Ternyata setelah mengobrol panjang, walang goreng ini merupakan makanan yang pilih-pilih. Hanya orang yang beruntung dapat merasakan kenikmatannya. Pasalnya, beberapa orang mengaku langsung alergi alias gatal-gatal setelah memakan makanan ini. Ada yang bentol-bentol di tangan, ada yang lidahnya langsung gatal, dan masih banyak gejala alergi akibat walang goreng ini. Dirinya menceritakan lidahnya langsung terasa gatal begitu menyantap walang goreng untuk pertama kali, padahal hanya satu buah saja. Semenjak itu, ia tidak berani memakan walang ini lagi.
Cita rasa unik, mirip seperti udang
Sungguh unik rasanya ketika saya merasakan gigitan pertama sajian walang goreng ini. Satu gigitan membuat alis saya bertaut. Sambil mengecap beberapa kali, saya mencoba mendeskripsikan rasa dari makanan berwarna cokelat ini. Rasa gurih dan tekstur yang –ah saya bingung menjelaskannya. Teksturnya mirip sekali dengan kulit udang tanpa daging, bahkan rasanya pun juga hampir mirip dengan udang. Mungkin akan lebih tepatnya jika disamakan dengan udang kecil alias rebon yang digoreng kering.
“Semua bagiannya dimakan, dari kepala hingga kaki,” ucap Mas Ibnu sambil tertawa melihat saya hanya memakan bagian belakangnya saja. Sedikit ragu, saya memasukan walang utuh ke dalam mulut. Rasanya kriuk- kriuk, namun sedikit pahit pada bagian kepala. Bagian kakinya, mirip seperti kaki udang, menusuk- nusuk di gigi.
Serangga yang disebut-sebut memiliki protein tinggi ini diolah dengan resep baceman khas angkringan. Bumbu gurih dan manis ala olahan bacem saya akui sangat kuat, sehingga tidak terlalu aneh bagi yang mencicip walang goreng untuk pertama kalinya.
Makanan yang Lazim, bagi warga Gunungkidul
Walang atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan belalang merupakan hewan yang sering dianggap sebagai hama pertanian. Walang sangat mudah dijumpai di Gunungkidul, apalagi saat musim penghujan. Serangan hama serangga seperti belalang melonjak bebarengan dengan suburnya tanaman. Maklum, Gunungkidul terkenal dengan suasana yang panas dan kering ketika musim kemarau. Semak- semak kering, bahkan dedaunan pohon banyak yang berguguran karena didominasi oleh pohon Jati. Jadi ingat waktu materi sekolah rantai makanan, ketika sumber pakan dari suatu hewan menurun, pasti populasi hewan tersrbut juga menurun. Sama seperti si walang ini!
Bagi sebagian orang di Gunungkidul, kuliner ini merupakan kuliner yang lazim bahkan mereka selalu membuat walang goreng untuk persediaan makanan rumah, seperti Ibu Supiyah dan Warti, warga Dusun Banaran, Playen, Gunungkidul. Kebetulan, saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke rumah yang terletak berdekatan dengan angkringan tadi.
Ternyata, hampir tiap minggu mereka membuat walang goreng untuk persediaan. Menurut Supiyah, serangga ini merupakan makanan yang tahan lama, apalagi jika disimpan di kulkas. Rasa dan tekstur tak akan berubah walau disimpan berhari-hari, berbeda dengan daging ayam ataupun udang yang mudah mengeras jika sudah masuk kulkas.
“Jika orang kota memiliki abon untuk stok makanan, kami juga punya walang goreng,” Warti tertawa renyah sambil menyodorkan walang goreng buatannya yang baru saja diambil dari kulkas. Berbeda dengan yang saya coba saat di angkringan, walang goreng buatan Ibu Warti ini lebih asin karena hanya digoreng dengan bawang dan garam. Rasa walangnya lebih kuat, namun sedikit aneh dengan penyajian yang dingin.
Biasanya, Warti dan Supiyah selalu membersihkan bagian bulu yang berada di kaki walang terlebih dahulu. Namun, beberapa orang juga tak mengindahkan hal tersebut. Tergantung selera masing- masing. Yang terpenting bagian dalam perut walang dibersihkan hingga bersih. Terkadang kotoran yang masih berada di perut tersebut memicu rasa gatal-gatal.
Ketika ditanya berniat jualan atau tidak, keduanya menggeleng serempak. Katanya, mereka membuat walang goreng ini karena memang menjadi makanan favorit sejak kecil. Bahkan, mereka juga sering mengirimnya untuk keluarga besar yang berada di luar kota.
“Kemarin saya mengirim walang goreng 2 kg ke Jakarta,” cerita Warti. Katanya, walang goreng menjadi salah satu hal yang dirindukan keluarganya ketika pulang dari Gunungkidul. Saya mengangguk menyetujui, pasalnya hanya di Gunungkidul ini saya mengetahui bahwa walang bisa dimakan. Bahkan, dahulu saya sempat terheran- heran dan berpikir seribu kali untuk mencoba kuliner yang menurut saya cukup ekstrim.
Akhirnya, bertemu dengan penjual walang goreng dadakan!
Tak terasa hari mulai sore, saya bergegas untuk kembali ke Yogya sebelum hujan turun. Akhir-akhir ini, Gunungkidul sering dilanda hujan deras disertai angin. Rasanya ngeri juga membayangkan berkendara sendirian dengan jalanan naik-turun sambil bergoyang terkena terpaan angin kencang. Sebelum langit mulai menggelap, saya langsung tancap gas menuju rumah sambil berharap menemukan penjual walang goreng dadakan di pinggir jalan.
Benar saja, ketika sampai di kawasan Bunder, beberapa penjual walang goreng dadakan sudah menjajakan dagangannya. Saya langsung meminggirkan motor di penjual walang yang pertama kali saya lihat, lokasinya berada di kiri jalan jika berjalan dari arah Playen.
Namanya, Sarni. Sama seperti pedagang lainnya, meja kecil yang digunakan sebagai lapak ibu berumur 43 tahun ini hanya berisi kompor kecil, wajan, dan walang yang sudah dikemas dengan toples kecil bening. Pertama kali bertemu dengan saya, Sarni tersenyum ramah sambil tetap duduk di kursi plastik berwarna merah yang setia menemani saat berjualan.
Baru sebentar mengobrol, tiba- tiba sebuah motor plat luar kota berhenti tepat di depan kami. Dua ibu- ibu turun dari motor menghampiri walang goreng Sarni. Rupanya, satu toples kecil dibanderol dengan harga 25 ribu rupiah. Mereka membelinya langsung dua toples untuk oleh-oleh. Tidak tahu ukuran beratnya berapa, karena Sarni menjualnya sesuai ukuran toples bukan berat.
“Saya dari pantai, sepanjang perjalanan nggak nemu walang goreng. Baru di sini ketemunya,” cerita si ibu pembeli walang goreng sekaligus pelanggan pertama bagi Sarni.
“Wah, iya Bu. Memang yang paling banyak di daerah sini, sama mungkin Paliyan. Cuma nggak sebanyak di sini,” Sarni juga menceritakan bahwa dirinya pun tidak setiap hari berjualan, jika sedang tidak ada kerjaan saja di rumah. Menjadi penjual walang goreng ini bukan merupakan pekerjaan yang bisa diandalkan di masa pandemi seperti sekarang. Sebab, pendapatan yang dihasilkan sangat tidak menentu dan hampir selisih setengah dari pendapatan sebelum masa pandemi.
Setelah sedikit bercerita dan menyelesaikan transaksi, kedua ibu- ibu tersebut melenggang untuk melanjutkan perjalanannya. Sarni kembali duduk di kursi merahnya, lalu melanjutkan cerita.
Sarni merupakan orang yang terbilang cukup terlambat berjualan walang goreng di kawasan Bunder, terbilang junior. Awalnya, dirinya terinspirasi dari penjual lain yang sudah terlebih dahulu berjualan walang goreng. Tak ada alasan khusus, hanya ingin bekerja dan mendapat uang. Lokasi lapak Sarni terbilang cukup strategis karena berada di jalan utama ketika menuju Wonosari, terletak di pinggir jalan raya yang membelah hutan. Penerangan pun tak ada jika hari telah menjelang malam, oleh sebab itu Sarni selalu mengemasi dagangannya jika hari sudah mulai gelap.
“Paling jam 5 sudah tutup, mbak,” ucapnya.
Walang, jadi sumber pendapatan yang menjanjikan
Target utama pembeli walang goreng Sarni ini adalah para wisatawan yang berlalu lalang di Gunungkidul. Sayangnya, masa pandemi membuat jumlah kunjungan wisatawan menurun, begitu pula dengan jumlah pembeli. Biasanya, Sarni bisa mendapatkan hasil sebesar 600 ribuan dalam sehari, tapi sekarang dapat pembeli lebih dari 10 saja sudah sangat beruntung.
Nama walang goreng dadakan diambil karena memang waktu menggorengnya dadakan alias langsung di lokasi jualan, mirip dengan tahu bulat yang digoreng langsung di atas pick up. Bedanya, walang ini telah dibumbui terlebih dahulu agar lebih meresap namun tak menghilangkan rasa segar dari walang goreng.
Wanita yang telah berjualan selama 4-5 tahun ini biasa membeli walang mentah di pasar Playen, Gunungkidul dengan harga 50-60 ribu per kilogramnya. Namun terkadang dirinya juga menangkap sendiri di pinggir hutan atau kebun bersama sang suami. “Tapi sekarang jarang mbak cari sendiri, mendingan beli,” ungkap Sarni. Menurut dia, berat walang goreng bisa menyusut hingga setengah dari walang yang masih mentah.
Saya mulai melirik toples walang goreng yang telah tersusun rapi di meja kecil milik Sarni. Walau digoreng dadakan, Sarni tetap membawa walang yang telah dikemas sebagai pajangan dan bagi pelanggan yang tak ingin menunggu lama. Saya bergumam, pasti ini merupakan walang goreng rasa asin gurih seperti milik Ibu Warti dan Ibu Supiyah. Seolah bisa membaca pikiran saya, Sarni langsung memamerkan dua toples walang dagangannya. “Jangan salah. Ini rasanya beda-beda loh, mbak.”
Saya pun nyengir, padahal warnanya sama saja, sama- sama cokelat. Rupanya, ada dua varian rasa yang dibawa Sarni saat itu, yaitu asin-gurih dan pedas-manis. Seharusnya masih ada satu lagi, yaitu: baceman! Varian rasa pertama dari walang goreng yang saya coba di angkringan, rasa yang menjadi favorit saya hingga saat ini. Namun, Sarni mengungkapkan membuat walang goreng baceman lebih ribet dan membuat diirnya malas. Toh, yang banyak dicari yaitu rasa pedas manis.
Obrolan saya dengan Sarni ditutup dengan guyonan berbagai jenis walang yang sering saya jumpai. Di mata saya, semua jenis walang sama saja. Namun, Sarni mengelaknya. Banyak sekali jenis walang yang bisa dijumpai dan diamati. Ada walang yang memiliki motif, ada yang polos berwarna hijau ataupun cokelat. Yang biasa dikonsumsi adalah walang cokelat, yang mudah ditemukan dimana saja.
“Walang cokelat yang besar mbak, kalo masih anak- anak kasian nggak bisa berkembang biak, ntar,” ujar Sarni. Kami pun tertawa bersama sambil menikmati langit Gunungkidul yang mulai menguning. Sepertinya firasat saya salah, sore ini Gunungkidul tidak turun hujan seperti biasanya.
Sekolahkan anak dari jualan walang goreng
Di lain hari, saat saya ke Gunungkidul, saya bertemu dengan Bu Karjiyem (50), salah seorang penjual walang goreng dadakan. Karjiyem menjadikan aktivitasnya sebagai penjual walang goreng sebagai pekerjaan utama, penopang tulang punggung keluarga. Di balik meja kecil bertulis ‘Walang Goreng Dadakan’, wanita asli Gunungkidul ini duduk sambil memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang.
Matanya penuh harap ada satu kendaraan yang berhenti, mampir ke lapak yang berada di kiri jalan dari arah Yogya ini. Ibarat yang ditunggu- tunggu datang, Karjiyem langsung berdiri dan tersenyum ramah menyambut kedatangan motor saya, dirinya menawarkan dagangan walang goreng dadakannya “Walangnya mbak, biar laris,”
“Berapa, bu?” jawab saya.
“Dua puluh lima ribu, saja,” Karjiyem membuka toples kecil berisi walang yang sudah ia kemas dari rumah, walang milik Karjiyem digoreng kering dengan sedikit bekas minyak yang masih menempel di toplesnya. Saya tebak, pasti rasa asin-gurih atau pedas manis, seperti millik Sarni beberapa hari lalu.
Benar saja, hari ini Karjiyem hanya menjajakan walang goreng rasa asin-gurih sebanyak dua belas toples. Kala sore hari ketika saya datang ke lapak itu, toples yang tersisa hanya tinggal empat buah, artinya hari ini dirinya telah berhasil menjual sebanyak delapan toples.
“Alhamdulillah,” ucapnya sambil menceritakan bahwa hari ini merupakan hari yang cukup beruntung bagi Karjiyem.
Awalnya, dirinya bukanlah seorang penjual walang goreng, melainkan hanya ibu rumah tangga biasa. Keluarganya pun belum ada yang memiliki riwayat berjualan walang goreng. Bahkan, dirinya tidak terbayang jika hari tuanya ia habiskan di sini, di pinggir jalan yang berada beberapa ratus meter dari Rest Area Bunder. Namun sejak kejadian lima tahun yang lalu, semuanya berubah.
Suaminya yang semula merupakan pekerja proyek tiba- tiba di rumahkan. Tak memiliki pendapatan di tengah kebutuhan rumah tangga yang selalu menuntut membayar ini-itu, Karjiyem memutar otak. Demi bertahan hidup, dirinya mencoba berjualan walang goreng. Lapak tempat saya berdiri saat ini merupakan saksi bisu awal perjuangan Karjiyem untuk menghidupi kembali keluarganya. Demi penghasilan yang lebih tinggi, akhirnya sang suami juga membuka lapak tepat di seberang Karjiyem.
Setiap pagi, pukul 7 mereka bersiap untuk berangkat dengan motor yang sudah mulai tua. Perjalanan tiga puluh menit dari rumah ke lapak, mereka tempuh bersama setiap harinya.
“Wah, jadi bersama tiap saat bu,” celetuk saya. Karjiyem tertawa sambil memandang suaminya yang sedang tidur di lapak seberangnya. Sayang, saya tidak berkesempatan untuk mengobrol dengan sang suami.
Karjiyem mengingat-ingat kembali masa-masa sulitnya, kala itu kedua anaknya masih bersekolah. Tanggungan biaya dan kebutuhan sekolah menjadi semangat bagi Karjiyem dan suami untuk berjuang bersama hingga kedua anaknya lulus dan telah mendapat pekerjaan masing- masing.
“Perjuangan tidak ada yang sia- sia, pasti ada jalannya,” ucap Karjiyem. Dirinya mengatakan, walang goreng ibarat sebagai bala bantuan yang sengaja didatangkan untuknya. Dengan berjualan walang goreng dadakan, dirinya dan sang suami berhasil menyekolahkan anak- anaknya hingga tamat sekolah dan bekerja. bahkan Karjiyem saat ini telah memiliki satu cucu.
Anak-anaknya menjadi penjahit dan penjaga konter HP di lingkungan rumahnya, dekat dengan Pantai Baron. Anak pertamanya juga telah memberikan cucu kesayangan yang ia pamerkan melalui foto profil Whatsapp. “Masih TK dia, lucu ya,” ucapnya sambil tersenyum.
Rahasia menjalani hidup Karjiyem adalah selalu bersyukur, yang penting ikhlas. Keadaan keluarganya yang mulai stabil beserta cucu pertamanya, ia anggap sebagai imbalan yang telah ia dapat karena perjuangannya dulu. Sambil terus bercerita, terkadang ia menghela napas perlahan. “Yah, walau terkadang cukup tidak cukup, tapi ya dicukup-cukupkan,” cetusnya. Setidaknya, selama satu bulan berjualan Karjiyem akan memeroleh hasil sebanyak dua juta rupiah.
Bagi Karjiyem, walau anak-anaknya sudah mentas tetapi dirinya dan suami masih bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Kedua anaknya yang telah bekerja, tak pernah diberi kewajiban untuk menghidupi kedua orang tuanya ini.
“Selagi saya dan suami masih bisa bekerja, gaji anak-anak ya buat jajan mereka aja,” kalimat Karjiyem membuat saya terenyuh. Sebagai seorang anak, saya langsung teringat dengan kedua orang tua di rumah. Banting tulang untuk keluarga, tanpa berharap balasan sepersen pun.
Ditanya tentang anak- anaknya pernah membantu berjualan walang goreng di sini atau tidak, Karjiyem tertawa. “Tidak ada, tidak ada yang mau kesini, mbak,” celetuknya sambil geleng-geleng, “jenenge bocah enom, kadang isin (namanya anak muda, kadang malu),”Walaupun tak mau berjualan di lapak ini, terkadang anak-anaknya membantu berjualan dengan membuka lapak sendiri di depan rumah yang kebetulan berada di pinggir jalan. Kata Karjiyem, itung- itung belajar dan membiasakan diri, walaupun terkadang pelanggannya adalah tetangga sendiri.
Sambil terus mendengarkan cerita yang keluar dari mulut wanita tangguh dengan berbagai lika-liku kehidupan, mata saya melirik sebuah karung goni besar yang berisi rumput hijau segar. Rasa penasaran yang terlalu tinggi membuat saya bertanya tentang siapa pemilik karung rumput yang berada di belakang Karjiyem duduk.
Satu fakta lagi saya dapatkan dari kehidupan Karjiyem, ketika hari mulai siang, di saat orang lain bersiap untuk tidur siang atau sekedar istirahat merenggangkan otot di siang hari. Karjiyem dan suami memilih untuk masuk ke hutan yang berada tak jauh dari lapak mereka untuk mengambil rumput sebagai pakan sapi di rumah.
“Lapaknya tinggal aja, toh nggak ada yang mau curi walang hahaha,” Karjiyem tertawa kembali. Sorot matanya memancarkan kebahagiaan, memang kuncinya adalah ikhlas. Ikhlas, ikhlas, dan ikhas. Berkat keikhlasan yang dimiliki, Karjiyem memiliki tiga ekor sapi di rumah. Siapa yang menyangka, dari walang seharga puluhan ribu, kini telah menjadi sapi seharga puluhan juta rupiah.
BACA JUGA Di Balik Ayam Geprek Bu Rum, Ada Kasih dan Kisah Ibu yang Mandiri dan liputan menarik lainnya.