Tidak jauh dari Stasiun Banyuwangi Kota, Jawa Timur, ada Rumah Singgah Backpacker yang terbuka gratis untuk para traveler. Mojok.co berbincang dengan Rahmat (40), pemilik rumah singgah tersebut mengenai motivasinya menyediakan rumah singgah secara gratisan. Apa untungnya bagi dirinya?
***
Dua hari berada di Banyuwangi, baru di hari ketiga saya akhirnya bisa bertemu langsung dengan Mas Rahmat, demikian ia dipanggil. Pada dua malam sebelumnya, sebenarnya ia sempat main ke rumah singgah, ngobrol dengan satu dua traveler yang sedang bercengkerama di teras kamar. Sayangnya, di dua malam itu saya mesti sudah tertidur pulas di bawah pukul 23.00 WIB, alhasil belum sempat bersua dengan pemilik rumah singgah tersebut.
Baru pada Selasa, (8/3/2022), dua jam sebelum pulang ke Surabaya, saya bisa ngobrol agak panjang dengan Mas Rahmat. Ditemani salah satu karyawan Mas Rahmat, saya menemuinya di kantor rental motor miliknya, tak jauh dari pintu masuk stasiun.
“Mumpung melek beliaunya. Siang-siang begini biasanya istirahat,” terang seorang karyawan menyetujui permintaan saya untuk wawancara.
Atas nama hobi dan empati
Rumah Singgah Backpacker—atau kemudian lebih dikenal dengan sebutan rumah singgah Banyuwangi—pertama kali dibuka Mas Rahmat pada tahun 2012. Awal mula bertempat di area rumahnya sendiri, sebelum akhirnya ia pindahkan di lahan terpisah dengan fasilitas yang, menurut ukuran para traveler, sudah cukup worth it. Apalagi toh ini cuma gratisan belaka.
Tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, para traveler dari berbagai daerah bisa singgah; menginap berhari-hari selama yang diinginkan. Mandi gratis, tidur nyaman, dan fasilitas listrik untuk men-charger perangkat-perangkat elektronik bisa dipakai secara cuma-cuma.
Pertama kali saya singgah pada November 2020 lalu, sebenarnya ada juga dapur yang bisa dipakai untuk sekadar membuat kopi atau memasak. Tapi untuk kunjungan saya kali ini, ruang dapur sepertinya dikosongkan sementara waktu.
“Dulu itu nggak kepikiran bakal ramai, Mas. Karena awalnya saya itu niatnya cuma mau nampung temen-temen pendaki. Mereka yang mau mendaki ke Gunung Raung atau Kawah Ijen bisa istirahat di rumah saya. Eh lah kok nyebar dari mulut ke mulut, terus ramai. Jadinya ya saya buatkan sekalian rumah singgah,” terang Mas Rahmat.
Mas Rahmat menambahkan, awal mula terbesit ide untuk menyediakan rumah singgah gratis untuk para traveler adalah karena didorong oleh rasa empati sebagai sesama traveler. Sewaktu masih muda, seturut pengakuannya, ia terbilang sering traveling keliling berbagai daerah. Utamanya untuk urusan mendaki gunung.
Dengan budget seadanya, ia merasa sangat tertolong oleh sesama traveler yang ia temui di jalan. Tak jarang ia bisa mendapat penginapan gratis hingga makan gratis dari kenalan-kenalan barunya tersebut. Dari situ lah ia mulai terdorong untuk melakukan hal serupa. Hal itu ia wujudkan dengan membuka Rumah Singgah Backpacker sejak 2012 silam.
“Saya penginnya biar traveler-traveler ini nggak perlu bingung kalau ke Banyuwangi. Nggak usah mikir budget buat cari penginapan. Sudah cukup menginap di tempat saya saja. Apalagi bagi yang low budget,” ujar bapak dua anak itu.
Rumah Singgah Backpacker juga dimaksudkan Mas Rahmat untuk menciptakan koneksi antar traveler dari berbagai daerah. Sebab, bagi Mas Rahmat, traveling itu bukan hanya soal berkeliling ke tempat-tempat jauh. Melainkan juga soal bagaimana menempatkan diri; menjalin hubungan persaudaraan dengan orang-orang baru.
“Rasa persaudaraan yang disatukan karena kesamaan hobi itu kan sulit dijelaskan to, Mas. Ya intinya dari rumah singgah ini nanti akhirnya bisa punya saudara baru dari mana-mana. Kalau mau ke mana gitu jadi ada kenalan. Kan akhirnya punya tempat buat mampir,” jelasnya dengan sesungging senyum.
Permintaan sederhana untuk para traveler
Kepada saya Mas Rahmat mengaku saat ini sudah memiliki wacana untuk membangun satu lagi bangunan rumah singgah. Tentu dengan fasilitas yang ia upayakan lebih baik dari rumah singgah yang sekarang. Mengingat, semakin ke sini semakin banyak saja traveler yang mengenal rumah singgahnya; menjadikannya sebagai jujukan tiap kali ke Banyuwangi.
Mas Rahmat juga mengaku, tidak terbesit sedikit pun dalam benaknya untuk mengomersilkan rumah singgahnya tersebut. Ia menegaskan bahwa ia tak akan pernah memungut uang sewa atau semacamnya. Ia masih ingin setia pada niat awal mendirikan rumah singgah, seperti yang ia jelaskan sebelumnya.
“Saya dapat uangnya bisa dari rental motor ini atau dari hasil setor pisang saja lah, Mas. Untuk rumah singgah ini akan tetap gratis. Kalau saya niatnya menolong sesama (temen-temen traveler), nanti saya kan ditolong juga sama Tuhan, dikasih rezekinya dari mana saja,” ujar Mas Rahmat beberapa saat setelah obrolan kami sempat terjeda oleh sepasang traveler yang baru saja tiba dan mengonfirmasi hendak bermalam di rumah singgah.
Mas Rahmat menerangkan, baru dalam beberapa tahun terakhir ini ia merintis bisnis rental motor. Itu pun karena sebelumnya ia merasa tak tega melihat para traveler yang agak sedikit kesulitan untuk menuju Kawah Ijen.
Kata Mas Rahmat, dulu akses untuk ke Kawah Ijen amat tidak praktis. Karena para traveler masih harus nebeng truk-truk pengangkut belerang yang punya jadwal mengangkut belerang dari Kawah Ijen. Sementara kalau sewa motor, tempatnya agak jauh dari rumah singgah.
“Untuk nunggu ada truk berangkat itu bisa sampai berhari-hari, Mas. Terlalu lama. Alhasil ya saya rintis lah rental motor ini. Rp75 ribu per 24 jam,” bebernya.
“Sorry, Mas. Berarti rumah singgah ini betul-betul gratis, atau ada keharusan untuk nyewa motor di sini juga?” tanya saya mencoba memastikan.
Dengan tegas Mas Rahmat mengatakan, tidak ada keharusan sama sekali bahwa para traveler harus menyewa motor di tempatnya terlebih dulu baru bisa menginap di rumah singgahnya. Mau bawa motor sendiri, mau nyewa kendaraan dari tempat lain, selama butuh tempat istirahat, maka rumah singgah akan selalu terbuka bagi mereka.
“Mau sewa ya monggo, nggak juga nggak masalah. Tetep saya bolehkan menginap (di rumah singgah). Pokok’e lhooosss,” katanya.
Mas Rahmat hanya menekankan kepada para traveler agar jaga sikap; tidak berbuat macam-macam dan tidak membuang sampah sembarangan. Selain itu, ia juga mengimbau agar para traveler juga punya etika atau adab selayaknya orang bertamu. Artinya bisa serawung, baik dengan Mas Rahmat sendiri, para karyawannya yang mengurus rumah singgah, atau dengan para traveler lain.
“Pas mau datang konfirmasi, pas mau cabut juga usahakan konfirmasi lah. Gitu saja saya sudah seneng kok. Intinya tahu diri saja lah kalau di rumah singgah ini,” ungkapnya.
“Kadang ada juga yang, mungkin karena pekewuh atau gimana, sebelum pulang itu ninggalin rokok lah, apa lah, ada juga yang begitu. Ya saya terima. Tapi saya tegaskan, nggak perlu begitu-begitu. Pokoknya kalau mau menginap, saya sediakan tempat,” imbuhnya.
Cerita-cerita dari rumah singgah
Rumah Singgah Backpacker telah merekam berbagai cerita dari para traveler. Dari yang kocak hingga yang memprihatinkan. Di antara yang dituturkan Mas Rahmat, misalnya cerita masa-masa awal ketika Rumah Singgah Backpacker dipindah dari belakang rumahnya ke bekas kebun yang jadi lokasi rumah singgah saat ini.
Mas Rahmat menuturkan, di kebun tersebut dulunya ada pohon durian besar yang konon dihuni oleh makhluk halus. Ketika pohon itu ditebang dan lokasinya dijadikan rumah singgah oleh Mas Rahmat, sempat ada kejadian menyeramkan yang dialami oleh beberapa traveler yang kebetulan menginap.
Seturut cerita Mas Rahmat, pernah suatu malam tiba-tiba bangunan rumah singgah serasa seperti digoyang-goyang dari luar; seperti gempa. Padahal malam itu, masih kata Mas Rahmat, di luar pun tidak sedang terjadi apa-apa. Sontak saja para traveler tersebut berlari ketakutan dan akhirnya memilih bermalam di kantor rental motor milik Mas Rahmat.
“Tapi semakin ke sini sudah nggak ada lah, Mas, cerita-cerita begitu. Karena rumah singgah sekarang nyaris selalu ramai. Ditambah lagi, di depan dan belakang rumah singgah kan sekarang ada kafe. Jadi ya sudah nggak semenyeramkan dulu,” tuturnya.
Cerita lain, pernah juga Mas Rahmat menampung dua traveler selama kurang lebih dua bulan, bahkan mereka berdua pun sampai dipekerjakan oleh Mas Rahmat.
Dua traveler itu, kata Mas Rahmat, sedang dalam ekspedisi keliling Indonesia namun dengan budget pas-pasan. Setiba di Banyuwangi, mereka meminta izin agar diberi tempat tinggal sementara oleh Mas Rahmat. Maka, tinggal lah keduanya selama kurang lebih dua bulan. Untuk membantu keuangan mereka, Mas Rahmat dengan murah hati mempekerjakan mereka sebagai guide ke Kawah Ijen.
“Satunya asal Banten, satunya asal Bandung. Dulu per naik (Kawah Ijen) saya kasih Rp200 ribu buat ngantar orang. Uangnya mereka kumpulin, setelah cukup, mereka lanjut lagi keliling Indonesia,” bebernya.
Keuntungan rumah singgah gratis bagi Mas Rahmat
“Memangnya, apa untungnya buat samean dengan semua ini?” tanya saya penasaran kepada Mas Rahmat.
Mendengar pertanyaan saya, Mas Rahmat tertawa renyah, lalu meraih bungkus rokok yang terletak di meja. Ia mengeluarkan sebatang rokok, menyulut, menyesapnya dalam-dalam, sebelum akhirnya memberikan jawaban.
Baginya, keuntungan pertama ada pada kepuasan batin yang ia rasakan. Tentu sukar dijelaskan. Sementara keuntungan yang lain, keberadaan rumah singgah membuatnya bisa punya teman ngobrol dari berbagai latar belakang. Pun ia juga bisa memiliki koneksi dengan para traveler tersebut. Sehingga, ketika ia sedang berkunjung di suatu daerah, ia merasa punya ‘saudara jauh’ yang bisa disinggahi.
“Saya itu orangnya nggak bisa sendiri, suka ngobrol juga. Makanya kalau malam saya sesekali main ke rumah singgah, ngobrol-ngobrol sama temen-temen (traveler), jadi nggak merasa kesepian,” jelasnya.
“Pernah suatu kali saya main ke Yogyakarta, Mas. Terus menghubungi kenalan yang pernah nginep di sini (rumah singgah). Wah, saya itu dikasih tempat nginep, difasilitasi kendaraan, semuanya gratis. Saya yang niatnya cuma dua hari di sana eh malah jadi seminggu,” tambahnya.
Melihat tatapan mata Mas Rahmat yang agak sayu, saya pun lantas mengakhiri obrolan kami, pamit undur diri. Karena sepertinya Mas Rahmat juga butuh waktu untuk tidur siang. Saya pun menyalami satu per satu yang ada di dalam ruangan tersebut; dua karyawan Mas Rahmat, dua orang traveler, dan tentu, Mas Rahmat sendiri. Mas Rahmat lantas menyambut uluran tangan saya sambil berdiri.
“Doakan saja, Mas, semoga tahun depan rumah singgah yang baru bisa terealisasi. Niatnya mau saya kasih perpustakaan juga yang isinya buku-buku sejarah. Khususnya sejarah Jawa. Ya—rumah singgah ini—biar ada sisi edukasinya juga,” pungkasnya yang saya balas dengan ucapan “Amin” berkali-kali.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cak Ubaid, Pelukis Spanduk Pecel Lele yang Bertahan di Tengah Gempuran Printing dan liputan menarik lainnya di Susul.