Warung Mie Ayam Ngudiroso jadi hidden gem pecinta mie ayam di Yogyakarta. Jatuh bangun warung ini tak membuat pemiliknya menyerah begitu saja. Ada ‘mimpi’ yang ingin ia wujudkan.
***
Bagi saya, sebuah warung makan pantas mendapatkan predikat hidden gem sederhana saja. Pertama, jelas, letaknya harus tersembunyi. Ada petualangan saat menuju ke sana. Kedua, enak saja tidak cukup. Harus ada ciri khas kuat yang melekat padanya. Ketiga, kalau pun banyak yang tahu biasanya penduduk sekitar saja.
Warung mie ayam yang saya datangi satu ini jelas memenuhi semua kriteria tersebut. Mie Ayam Ngudiroso namanya. Terletak di Ledok, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Perjalanan menuju tempat ini adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan. Apabila datang dari arah utara, anda akan menyusuri gang kecil perkampungan Kotagede sekaligus menikmati beberapa bangunan kuno yang ada.
Memang cukup banyak belokan, tapi tenang, tidak sepusing keliling area labirin Pogung yang termasyhur itu. Saran saya, datanglah ke sini pakai sepeda motor. Lebih seru!
Soal rasa, tentu saja masing-masing punya selera pribadi. Tapi bagi saya, Mie Ayam Ngudiroso ini boleh dikata jenis mie ayam yang menenangkan. Bikin tenteram di lidah, di tenggorokan, di perut dan tentunya di kantong. Kuahnya segar dengan rasa asin gurih yang pas. Kematangan mie-nya level paripurna, al dente, kulminasi dari pengalaman belasan tahun menekuni dunia permieayaman.
Ditambah minyak bawangnya yang lekat erat dalam setiap helai mie. Tidak saja menambah kelezatan di setiap gigitan, tetapi juga memberikan sensasi unik ketika mie meluncur ke tenggorokan. Ayamnya tak kalah menggoda. Berwarna coklat kekuningan dengan potongan yang cukup besar. Rasa gurih ayamnya cukup kalem sehingga bisa padu dengan kuah dan mie ketika dikunyah bersama. Tak ada yang saling unggul, semua sama rata sama rasa.
Oh, masih ada yang terlewat. Yang saya pesan adalah mie ayam bakso tetelan. Menu paling komplit yang ada di sana. Baksonya halus dengan rasa yang lagi-lagi cukup kalem sehingga tidak mendominasi ketika dimakan bersama mie ayamnya. Tetelannya? tetelan di sini adalah salah satu yang bisa saya makan. Tidak ada bau amis sama sekali. Malah justru menambah tekstur kenyal ketika dimakan. Sensasinya menyenangkan.
Gua dan gunung sawi
Nggak pakai lama, seporsi Mie Ayam Ngudiroso tandas saya habiskan. Mie ayam yang sederhana. Porsinya sedang tapi membuat saya bahagia. Tak banyak pembeli kala itu, hanya satu dua saja dan cukup sering anak kecil beli untuk dibawa pulang. Pantas porsinya tak banyak karena memang boleh dikata porsi tadi pas sekali untuk anak kecil.
Pak Wadi, pemilik warung ini mulai duduk di depan saya setelah selesai melayani pelanggan. Bapak kelahiran tahun 1954 asal Wonosari, Gunungkidul, ini mulai menyampaikan kisahnya. “Panjang mas kalau diceritakan,” ucapnya. Saya merekahkan senyum, yang tentu tak bisa dilihat pak Wadi karena masker menutupi. Saya mengangguk, meminta beliau menceritakan apapun yang ingin diceritakan.
“Sejak kecil saya sudah jadi buruh tani, Mas. Siang nggarap sawah, panas-panasan. Kalau malam harus ke gua. Ambil air dari tetesan batu yang ada di gua. Begitu terus setiap hari. Ya hidup di daerah gunung ya begitu, Mas. Hingga kemudian suatu hari saya merenung di gua itu. Saya bertanya pada kawan saya “Mosok meh ngene terus? Dadi buruh tani terus?! (Masa mau seperti ini terus? Mau jadi buruh tani terus?).”
Pak Wadi remaja, sekitar umur 15 tahunan, akhirnya nekat pergi ke Kotagede dengan menjual dua ayamnya. Tanpa bekal pengetahuan apapun, sesampainya di Kotagede beliau mendatangi setiap rumah untuk mendapatkan pekerjaan. Beruntung, beliau bertemu kerabat dan kemudian mendapat pekerjaan sebagai pengrajin perhiasan imitasi dan sempat juga jadi pengrajin perak selama beberapa tahun.
Tak lama seorang kerabat di Wonosari menawarinya pekerjaan. Kali ini Pak Wadi muda harus belajar fotografi karena si kerabat hendak membuka studio foto di Wonosari. Tak dinyana, studio itu laris manis. Pesanan foto datang silih berganti, apalagi ketika akhir tahun. Selain karena memang piawai, Pak Wadi dikenal ramah dengan anak dan kreatif dalam menangani pelanggan sehingga banyak yang terkesan.
Namun kelahiran putri pertamanya mengubah segalanya. Saat itu kondisi pekerjaan foto di Wonosari sedang banyak sehingga beliau tidak bisa menemani istri yang sedang hamil di Yogya. Ketika sang istri melahirkan, Pak Wadi tak bisa mendampingi. Oleh keluarga, Pak Wadi dianggap menelantarkan. Semenjak saat itu, pekerjaan sebagai fotografer yang sedang bagus-bagusnya ia tinggalkan demi keluarga. Mulailah ia menetap di Kotagede.
Dari karir yang menanjak, Pak Wadi harus terjun memulai dari nol kembali. Hingga pada suatu malam ia Salat Tahajud. Usai salat, ia berdzikir dan dimulailah sebuah pengalaman spiritual yang menakjubkan.
Beliau merasa sajadah yang dipakai mengambang dan kemudian terbang bak permadani. Sajadah itu membawa ke sebuah gunung yang cukup tinggi. Ada sebuah bangunan megah mirip masjid, berkilau layaknya emas, berdiri tegak di puncak gunung. Di sekitar masjid itu terhampar tanaman sawi begitu banyaknya.
Pak Wadi takjub sekaligus kebingungan melihat tempat macam apa itu. Agak panik ia mencoba mencari tasbih yang digunakan untuk zikir dan tersadar bahwa selama ini ia masih berada di atas sajadah. Matanya berkaca mengisahkan kembali kejadian itu. Saya tak bisa berkata-kata. Takjub.
“Semenjak itu, Mas, saya merasa saya harus menjual sesuatu yang berhubungan dengan sawi,” ucapnya. Kisah legendaris pun dimulai.
Kenyang asam garam dan gangguan mistis
Di awal 1970-an sebelum berjualan mie ayam Pak Wadi berjualan bakso terlebih dahulu. Lagi-lagi berbekal kenekatan dan kegigihan. Ia belajar sendiri tentang bagaimana membuat bakso dengan mengamati para penjual bakso lain.
“Waktu itu belum ada gilingan, Mas. Jadi ya dagingnya saya cincang sendiri pakai pisau di atas kayu telenan besar sampai halus,” ucapnya sembari mengenang masa itu.
Beberapa tahun berjualan bakso keliling, ia kemudian banting setir jual mie ayam keliling. Cukup mengejutkan, mie ayam pertama yang Pak Wadi jual adalah Mie Ayam Tumini! Sekitar dua tahun Pak Wadi berjualan secara keliling di kampung sekitar Kotagede.
“Berarti lumayan tahu pak rahasia dan seluk beluk Mie Ayam Tumini?” tanya saya.
“Ya tahu mas. Misalnya yang bikin Mie Ayam Tumini kental itu,” jawabnya.
Namun, maaf saya tidak bisa lanjutkan cerita sial Tumini ini. Soal Tumini nanti biar diulik Mas Hammam saja. Penulis yang akan bercerita soal Mie Ayam Tumini di Project Peta Mie Ayam ini.
Selesai jualan singkat mie ayam, Pak Wadi kembali berjualan bakso keliling cukup lama. Tentu, tidak bisa dihindari ketika berjualan hingga larut malam, kisah-kisah mistis seolah tak hanya jadi pemanis, tetapi juga jadi cerita wajib.
“Banyak mas. Buanyak banget!”, begitu jawab Pak Wadi ketika saya tanya soal kisah seram saat jualan keliling dulu.
“Sering, Mas. Apalagi saya jualannya sampai dinihari. Dulu wilayah sekitar sini belum seramai sekarang. Masih banyak kebun yang mirip hutan, terutama bambu. Pernah suatu malam saya didatangi seseorang mau beli tapi kok pancinya bolong-bolong. Saya katakan mana bisa panci itu digunakan untuk wadah bakso tapi dia ngeyel. Ya sudah tetap saya layani lalu tiba-tiba ngilang itu orangnya.”
Saya mulai begidik ngeri. Mulai lupa tanya soal mie ayam, mengulik lagi kisah ngeri-ngeri sedap dari beliau.
“Pernah juga, Mas, suatu malam lewat kuburan. Tiba-tiba dari beberapa kijing (nisan) keluar api mirip kembang api gitu, lalu terbang mendekat. Nah pas saya lihat ternyata di regol (gerbang) kuburan ada celana putih yang puanjang banget! Celana itu tiba-tiba melengkung lalu berubah jadi pelangi. Aneh pokoknya, Mas. Setelah itu saya cuma bisa ngalor ngidul karena bingung arah,” kisah Pak Wadi. Merinding lur!
“Ada lagi yang sampai sekarang masih terasa ngeri. Saat itu saya sedang melayani pembeli di dekat sungai. Cukup menjorok sungainya. Tiba-tiba dari bawah terlihat sebuah cahaya kuning mirip lampion yang bergerak naik perlahan. Setelah cukup dekat, ternyata cahaya itu dijinjing oleh makhluk tinggi, besar, hitam. Makhluk itu lewat kemudian masuk di rumah dekat situ. Ngeri, Mas!”
Kisah-kisah ngeri dari Pak Wadi saat itu ditambah suasana hujan yang makin deras. Menambah dingin suasana. Bulu kuduk saya berdiri berkali-kali. Sambil membatin: “Ini Mojok kalau butuh cerita Malam Jumat tinggal ke sini aja sekalian ngemie.”
“Masih banyak sebenarnya, Mas,” kata Pak Wadi.
“Sudah pak sudah,” jawab saya.
Dikarenakan usia yang semakin menua dan kondisi fisik tak sekuat kala muda, Pak Wadi lantas memutuskan untuk berhenti keliling. Ia pun mulai berjualan secara menetap. Disewalah sebuah tempat di dekat kantor Kalurahan Jagalan sekitar tahun 2013. Tetapi dunia kuliner memang begitu kejam. Mau keliling atau tidak gangguan mistis tetap saja ada.
“Biasa lah, Mas, kalau jualan pasti ada yang nggak suka lalu menghalalkan segala cara. Makanan yang saya buat misalnya langsung tercium busuk padahal baru matang. Lalu ganti gangguan lain yaitu warung saya dibuat nggak terlihat. Banyak orang yang tadinya parkir langsung tiba-tiba pergi karena warungnya terlihat sudah tutup. Padahal saya masih buka. Sering juga dapat kiriman bunga.”
Anak beliau sempat meminta untuk “melawan” segala gangguan tadi. Tapi Pak Wadi menolak. “Daripada mengalahkan, lebih baik mengalah, Mas. Masih banyak cara lain buat mendapat rejeki. Bagi saya yang penting caranya halal. Kalau mau keliling lagi ya sudah nggak papa.”
Kembali ke rumah dan menikmati hasil
Hanya bertahan sekitar 4 bulan di lokasi tadi, akhirnya Pak Wadi memutuskan membangun “gubuk jualannya” sendiri di rumah. Meski harus merelakan uang sewa yang sudah dibayarkan, namun baginya tak jadi soal.
“Warung ini (yang di rumah) saya bangun perlahan, Mas. Hingga akhirnya jadi seperti sekarang. Meski hanya sederhana tapi saya bahagia. Saya ingat ketika warung ini penuh, yang beli ya cuma orang sekitar, tapi saya senang. Bahagia. Saya menangis, Mas,” ungkapnya. Trenyuh, saya pun mbrebes mili.
“Ya meski nggak banyak yang datang karena di dalam kampung, tetapi saya tetap bahagia. Dulu sebelum pandemi lumayan banyak yang datang dari luar kota sekalipun. Kadang serombongan sekalian. Kata mereka mie ayam ini lah yang mereka datangi tiap ke Yogya. Sekarang pandemi lumayan berkurang banyak, Mas. Saya nggak sedia banyak setiap harinya, 2 kg saja untuk mie-nya (jadi sekitar 20-an porsi). Habis ya alhamdulillah, enggak ya nggak papa.”
Setelah itu Pak Wadi bercerita soal asal nama “ngudiroso”: “Ngudi kan artinya mencari. Roso ya rasa. Mencari rasa. Mie ayam yang saya buat mungkin sederhana saja. Tetapi mungkin bagi orang lain yang mencari rasa, ada yang merasa cocok. Ya monggo dinikmati. Begitu saja saya sudah senang kalau ada yang suka.”
Beberapa tahun lagi Pak Wadi akan menginjak usia 70 tahun. Usia yang jelas berat untuk menjalankan sebuah warung mie ayam, meski pelanggannya tak ramai riuh layaknya mie ayam lainnya. Sebagai penutup, saya tanyakan apakah Mie Ayam Ngudiroso ini akan bertahan ketika kelak tangan beliau kelak mulai lelah meracik mie ayam?
“Ada anak saya, Mas. Itu, yang pertama. Yang membuat saya menetap di sini. Saya senang bisa mewariskan ini kepadanya.”
Saya tersenyum senang. Kemudian teringat lagi rasa khas Mie Ayam Ngudiroso tadi. Dilanjut terngiang kisah yang Pak Wadi ceritakan. Pengalaman dan pengorbanan Pak Wadi selama puluhan tahun menekuni semua ini adalah “bumbu” terbaik. Bumbu yang membuat mie ayam sederhananya menjadi kenangan indah bagi semua yang pernah mencicipi racikannya di lidah.
Reporter: Oktavolama Akbar Budi Santosa
Editor: Purnawan Setyo Adi
===
Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga April 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.