Nusantara sudah seharusnya mlungsungsi atau terlahir kembali. Namun, melihat kondisi yang terjadi saat ini, bisa jadi mereka malah justru ingin runtuh.
***
Seorang perempuan telentang di tengah pentas. Dengan iringan musik nan magis, perlahan ia bangkit menari dan menggeliat-geliat di atas hamparan kain berbentuk lingkaran. Dua sosok lain mengelilingi perempuan itu, mengudar kain-kain yang membelitnya, menggantungkan tumpukan itu dan mengereknya ke atas panggung. Adapun Sang Penari seolah lepas dari segala belenggu dan muncul dengan wujud baru.
Itulah bagian pembuka dari pertunjukan drama ‘Mlungsungi’ yang ditampilkan di auditorium Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (25/3) malam. Tajuk kata berbahasa Jawa itu punya subjudul dalam bahasa Indonesia yang sesuai maknanya: Lahir Kembali.
Lakon ini dipentaskan para pegiat teater lintas generasi di Jogja. Sekitar 90 pemain dan tim produksi yang terlibat berusia 20 tahun hingga yang tertua, 84 tahun, yakni aktor Tertib Suratmo.
Pertunjukan ini lahir setelah sejumlah pegiat teater bertemu di rumah mendiang tokoh teater Jogja, Azwar AN, pada 16 November 2021. Lima hari kemudian, para seniman itu menggelar ‘reriyungan’ di Rumah Maiyah Kadipiro, kediaman budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun.
Sekitar 200 orang bertemu saat itu dan sepakat untuk menjalin silaturahmi tanpa melihat sekat-sekat kelompok di masa lalu. Dari situ lahirlah rencana mementaskan drama berjudul Mlungsungi di bawah nama Reriungan tiga generasi teaterawan Jogja.
Cak Nun dipercaya menulis naskah lakonnya.Tiga orang bertindak selaku sutradara, yakni Fajar Suharno, Meritz Hindra, dan Jujuk Prabowo, yang juga ikut mengambil peran di panggung.
‘Mlungsungi’ dipentaskan dua kali pada 25 dan 26 Maret 2022 di TBY. Pada pertunjukan pertama, kapasitas penonton nyaris maksimal dengan sistem duduk selang-seling demi menerapkan protokol kesehatan.
Setelah sekilas pengantar tentang latar belakang teater itu, dua pembawa acara membacakan nama para pemain, termasuk usia mereka.
“Dilarang merekam seluruh pertunjukan dan menyebarkan videonya di media sosial, apalagi memotong dan memelintirnya,” kata pembawa acara mengingatkan penonton.
Bukan hanya menyangkut properti intelektual, imbauan itu juga wajib disampaikan mengingat muatan teater ini memang harus disaksikan secara utuh sejak dimulai pada jam 20.00 WIB hingga nyaris 3,5 jam kemudian.
Mlungsungi atau Tidur?
Kisah ‘Mlungsungi’ bertolak dari tabiat Prabu Durgoneluh (Agus Leyloor) dalam memimpin negeri Nusantara. Ia muncul ke panggung di atas sebuah singgasana merangkap ranjang dan kelambunya yang diusung oleh tiga prajurit.
Tampil dalam kacamata gelap dan balutan baju kebesaran berwarna hijau—senada pula dengan kelir kaus kaki panjangnya, raja yang terlihat ringkih ini terlihat amat berkuasa.
Segala tindak tanduknya diikuti oleh tiga pengawalnya. Mulai dari angop, berdehem, sampai tidur. Aksi tiru-tiru itu berhenti setelah sang raja memberi perintah.
“Itu yang demo, yang ngotori istana, usir!”
“Siap, Baginda! Seru para prajurit, kompak.
Sejurus setelah itu, panggung riuh dipenuhi belasan pemain muda yang tampil bak unjuk rasa. Tiga prajurit dengan tongkat dan kata-kata kasar menghalau mereka.
Panggung lalu kembali sepi; hanya diisi ranjang sang raja. Ia lantas membagikan beberapa lembaran dari sakunya. Namun, setelah dibuka, lembaran itu membuat tiga pengawalnya kecewa. Lembar-lembar itu ternyata berupa kain untuk mengelap sepatu sang raja.
“Kalian pikir itu uang! Hehehe… Ambil sepedanya sana!” titah Prabu Durgoneluh disambut tawa dan tepuk tangan penonton.
Setelah raja masuk peraduan dan kelambunya ditutup, tiga aktor gaek (Fajar Suharno, Daning Hudaya, dan Tertib Suratmo), beserta sebuah kursi kayu kosong—representasi almarhum Azwar AN–hadir sebagai para leluhur Nusantara.
Mereka menyampaikan bahwa sesuai amanat mendiang Kanjeng Sepuh, sudah waktunya pemimpin negeri Nusantara untuk berubah dan lahir kembali saat ini.
Panggung gelap, berganti lampu di sudut bawah pentas yang menyala. Di situ dibuat platform bak bola besar dengan bagian atas terbuka—mirip cangkang telur yang sudah pecah. Di atasnya, ada tiga aktor kampiun (Djaka Kamto, Margono Wedyopranasworo, dan Nevy Budianto) berperan sebagai makhluk supramanusia: Mbah Dunung, Mbah Bayan, dan Mbah Kilir.
Ternyata segala pergolakan di bumi Nusantara disaksikan ketiga dewa itu. Mereka bertukar cerita, memberi komentar, dan berdebat sampai eyel-eyelan, hingga melontarkan wejangan dan banyolan untuk merespons semua lakon di Nusantara. Informatif, filosofis, tapi tetap lentur dan asyik didengarkan.
Namun, kendati dewa, sama seperti para manusia yang menonton lakon itu, mereka bertanya-tanya, apakah di dalam peraduannya yang tertutup kelambu itu, Prabu Durgoneluh tengah dalam proses mlungsungi atau sekadar sedang tidur?
Saat sang raja tak ketahuan lagi apa, Perdana Menteri Kolodadhung–-yang dipanggil Hut, “Yahut, maksudnya”— menangkap empat orang anggota Dewan Reriyungan.
Satu per satu keempatnya disidang oleh para menteri dan dikenai empat pasal kejahatan ujaran kebencian, yakni terkait subversif, hoaks, makar, dan kebohongan publik. Padahal, setelah menyimak paparan-paparan panjang mereka, tampaklah bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran dan keyakinan kita.
Zacharael yang dituduh subversif misalnya, menggugat soal isi Proklamasi yang mengisyaratkan adanya pemindahan kekuasaan yang belum usai hingga sekarang. Atau ucapan Gus Laqus yang dituding hoaks karena membandingkan kondisi surga dan bumi dan Sayid Zabany yang dianggap makar gara-gara menjabarkan berbagai mukjizat para sosok yang disebut ‘tokoh langit’.
“Kenapa tidak sekalian kau katakan kalau tokoh-tokoh langit itu membawa poster Pancasila dan baliho kepak sayap kebhinekaan? seru Perdana Menteri sembari memerintahkan prajurit memenjarakan para anggota Dewan Reriungan.
Di penjara, mereka berempat bukannya patah semangat, tapi justru makin semangat untuk melalukan perubahan untuk Nusantara. Anggota Dewan Reriyungan keempat, Nyi Rachmini, bahkan berpandangan, negara ini semestinya diubah sekalian sebagai perusahaan.
Lho, bukannya negara sudah punya BUMN? Ah, itu juga sudah salah kaprah—seru para anggota dewan. Dengan nama Badan Usaha Milik Negara, negara semestinya tidak bisa memiliki BUMN karena sejatinya dimiliki rakyat dan bernama BUMR, Badan Usaha Milik Rakyat.
“Tapi para pejabat Nusantara tidak punya kesadaran itu. Pucuk pimpinannya juga dipilih tanpa mempertimbangkan keahliannya,” kata Zacharael yang memimpin dewan itu.
“Revolusi tidak bisa ditunda lagi,” lanjutnya. “Bukan revolusi fisik tapi revolusi internal yang dimulai dari istana. Revolusi diri dari Prabu Durgoneluh.”
Mereka sepakat menggelar Reriungan Nasional demi memperbaiki negeri Nusantara yang kian acakadut. Ibarat ular, kupu-kupu, bahkan burung garuda, yang mengalami fase berubah wujud, Nusantara sudah waktunya untuk mlungsungi dan lahir kembali.
Reriungan teater, reriungan bangsa
Selain permainan peran dari para aktor teater lintas generasi, pentas Mlungsungi juga berlangsung semarak dengan iringan musik dan gita berbagai genre pula. Sejumlah instrumen musik modern dan tradisional mengiringi sejumlah tembang Macapat, lagu dolanan dan campursari macam Prau Layar, hingga lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar.
Lagu-lagu itu dibawakan di panggung oleh ‘rombongan lalu lalang’, para pemain multifugsi yang didominasi pemain muda dan fasih ulang alik peran sebagai penari, kawula alit, hingga anak-anak.
Penampilan mereka beserta celetukan-celetukan soal isu aktual mampu menjadi jeda di antara dialog-dialog panjang naskah Mlungsungi yang bertolak dari gagasan khas Cak Nun. Dialog-dialog itu disampaikan oleh hampir semua karakter karena tak ada tokoh dominan di drama ini.
Selain buah pikirannya yang sarat kajian Islam dan khazanah Jawa, Cak Nun juga mencuplik dialog dari sejumlah penggal puisi Chairil Anwar, seperti Aku, Diponegoro, dan Karawang – Bekasi.
Yang jelas, seperti disampaikan Cak Nun dalam tulisan pengantar pertunjukan ini, semangat kebersamaan pentas Mlungsungi selaras dengan kebutuhan bangsa ini.
“Sebenarnya masyarakat nomaden di hutan-hutan jaman dahulu, suku-suku, komunitas, umat, masyarakat, parpol, ormas, golongan-golongan, hingga negara adalah juga wujud dari kebutuhan manusia untuk reriungan,” kata Cak Nun.
“NKRI sekarang ini sangat memerlukan inisiatif reriungan sebagai jalan untuk menyembuhkan sejumlah penyakitnya, untuk melangkah lebih tertata ke masa depan.”
Namun, seperti ditampilkan di ujung pertunjukan, langkah perbaikan diri dan lahir kembali itu ternyata sarat aral, yang di pentas juga datang dari dari wujud-wujud tak kasat mata.
Rombongan Talbis—para setan dan iblis—rupanya punya riwayat panjang dalam memanipulasi dan menggerogoti manusia Nusantara. Di ujung kisah, di tengah kondisi rakyat Nusantara yang bergelimpangan usai menuntut perubahan, para setan yang sempat tumbang itu dapat bangkit dan terkekeh-kekeh.
Dari kejauhan di atas bumi Nusantara, Mbah Dunung pun mewanti-wanti. “Saya khawatir,” kata dia, “bangsa kita akan mengambil pilihan untuk runtuh dan mati konyol daripada tirakat mlungsungi.”
Reporter : Arif Hernawan
Editor : Agung Purwandono