Kembali maraknya aksi klitih di Yogyakarta membuat resah warganya. Tuntutan agar Sultan turun tangan menggema di media sosial. Ketua geng terbesar di Yogyakarta, Joxzin, turut bersuara atas maraknya kasus kekerasan di jalanan ini.
***
Sembari melinting tembakau untuk rokoknya, Ervian Parmunadi (53) mengutarakan keresahannya atas kekerasan jalanan alias klitih di Yogyakarta.
Sebagai pendiri kelompok jalanan terbesar di Yogyakarta, Joxzin, Ervi merasa bentuk kenakalan anak muda saat ini berbeda. “Sekarang orang nggak kenal, yang ke sawah, pergi kerja, dibacok,” ujar eks anggota DPRD Kota Yogyakarta ini.
Setelah meninggalkan kehidupan jalanan, personel Joxzin kembali berkumpul. Mereka membentuk Yayasan Joxzin Lawas Indonesia, Oktober 2021 lalu, untuk menebus kesalahan masa lalu.
Seperti apa pandangannya pada aksi klitih saat ini, Mojok mengajak Ervi berbincang di sebuah kafe di bilangan Bausasran, Kota Yogyakarta, Kamis (29/12/2021) malam. Dengan kalem dan suara pelan, kendati dengan nada tegas, Ervi menuturkan pengalamannya.
Dari pengalaman anda, bagaimana kekerasan pemuda bisa muncul?
Anak mencari lingkungan yang sesuai dengan karakternya. Jika cocok, mereka akan merasa nyaman. Yang baik tentu akan mencari yang sesuai. Tapi bagi yang punya masalah akan mencari yang cenderung sama. Lingkungan positif akan membuka hal-hal positif, tapi juga sebaliknya, yang negatif makin permisif dan makin nggak terkontrol.
Makin tidak ada yang mencegah mereka, semisal minum miras, obat-obatan, narkotika. Setelah itu, yang tertanam dalam kebiasaan, seperti game atau bacaan sarat kekerasan, muncul tanpa disadari. Akhirnya jadi ribut. Tapi dulu kami tidak terkontaminasi game online, misal yang paten-patenan. Dulu yang marai (nakal) itu ‘oh dia kelompoknya ini’.
Geng di Jogja dulu seperti apa?
Sejak dulu, geng sudah ada. Waktu masih kecil, saya punya kelompok sepeda BMX, Cithul Gank. Bukan geng, tapi nulisnya Gank, Gabungan Anak Kauman. Usia SD-SMP awal. Tambah umur, kami dibelikan motor, terus dolan makin jauh ngumpul di pojok bensin, pengkolan Jalan Kauman.
Nama Joxzin itu aslinya ya dari pojok bensin. Tambah banyak anggotanya pindah ke PDHI di Alun-alun Utara. Waktu itu setelah penembakan Petrus 1983. Tahun 1985 Joxzin berdiri. Ada 300 orang, 200-an motor, sampai ke Temanggung, dolan sampai sana, di jalan ngosak-asik.
Waktu itu (geng) yang gede ada 3: Joxzin, TRB, sama Qzruh. Kali itu tidak bisa lepas dari 3K: Kauman, Karangkajen, Kotagede—Ini yg membesarkan, lalu sekolah-sekolah lain. Joxzin, kebanyakan yang gabung dari sekolah Muhammadiyah. Jadi kecenderungan kami ijo. Kalau yang lain kuning atau abang. Selain Joxzin, ada Qzruh di Kaliurang atau Terban, lalu TRB (Trah Butek) di Tamansari dan Ngasem.
Bagaimana bentuk kenakalan geng masa itu?
Aura dan keadaannya memang beda banget. Dulu mbeling pada Orde Baru. Dulu kalau (kami) diobrak-abrik (aparat), digebuki tenan. Semua geng itu sama dari dulu sampai sekarang. Jadi pasti ada orang yang rumangsa dituwakke dalam hal ndugal, gali, mreman. Anak-anak yang sekarakter ngumpul pasti butuh semacam pelindung. Zamanku pun ada, 15 tahun di atas kami. Gali gede itu yang lolos dari petrus. Di atas kita 2-3 tahun juga ada, cah SMA. (Geng) Ecek-ecek diidak-idak liyane.
Kalau dibandingkan dengan kenakalan geng sekarang?
Di masa itu kami bukan waton nakal. Nakal kita dengan geng liyo yang ceto geng. Kami geng A mereka geng B. Pedang-pedangan, ya musuhnya ya itu. Bukan orang yang nggak ngerti apa-apa. Kami punya semacam aturan. Yang kena kelompok lain. Titis tenan (tepat sasaran).
Kalau sekarang waton bacok. Mau ke pasar, nyambut gawe, dibacok. Itu dari mana. Mungkin apa yang dibaca, dimainkan, itu tertanam di bawah sadarnya. Saat menganiaya kayak main game. Kadang sampai nggak ngerti tadi malam ngapain karena minum atau obat.
Ada juga karena psikologi massa. Ketika bergerombol, jadi yak yak’o, apalagi ada temen yang bawa senjata. Jadi brutal. Masalah sitik jadi masalah besar.
Apakah perkembangan Kota Yogya sekarang berpengaruh ke kenakalan remaja?
Hampir sama soal masalah kota dan remaja. Tapi sekarang yang kena orang nggak tahu apa-apa. Dulu di Jogja nggak kayak gitu. Kalau ada 50 kejadian, salah sasaran itu 2-3. Dulu dimatke tenan si A atau dudu, didekati, kalau bukan, mbalik. Kalau targetnya si Fulan, ya yang kena si Fulan.
Tahun 1995-an masih seperti itu. Habis itu kami sendiri lulus, kuliah, kerja. Setelah itu kelompok angkatan kami vakum. Ketika ada fenomena klitih ramai, 2017, kami kaget. Ora mutu meneh. Selama vakum, ada adik-adik anggota Joxzin itu bikin kelompok, menjadi sayap partai. Ya wes ra masalah.
Apakah ada senioritas dan kaderisasi dalam aksi kekerasan ini?
Belum tentu. Kalau ada apa-apa (senior) baru melu. Tapi boleh jadi bisa disebut (kaderisasi) itu juga. Ini kan saling menguntungkan. Senior kalau ada musuh, junior jadi perhitungan mereka, balaku akeh.
Masih ada hubungan geng dulu dan sekarang?
Putus. Artinya nggak ada hubungannya. Bentuk kenakalan sama, sasarannya yang beda.
Lalu apa aktivitas Joxzin kemudian?
Tahun 2017 kami reuni dan syawalan. Menjalin silaturahmi untuk menjadi lebih berarti. Terus terang saya dan teman-teman merasa bersalah selama masa muda. Kami mohon maaf pada masyarakat dan kami mengganti masa lalu dengan membuat kegiatan bermanfaat. Bikin masjid, beli ambulans, sumbangan-sumbangan, Jumat berkah, donor darah.
Kami bikin yayasan untuk njaluk ngapuro tenan karena sudah bikin resah. Ini untuk membalas semua yang kami lakukan dulu. Saat ini hampir 200 orang, ada juga di Magelang dan Temanggung.
Apakah Joxzin Lawas akan turut menangani klitih?
Itu ada polisi, biar polisi saja. Itu bukan tugas kami. Biar tidak tambah ruwet. Kalau kami cerita saja, (mereka) dipandu beneran. Skala keluarga jadi tiang anak untuk memberi filter. Dalam pengertian pegangan supaya tidak larut ke yang negatif. Miras, obat (terlarang), narkotika itu polisi harus cepat bersihkan. Kalau tidak, akibatnya orang yang ora kendel jadi wani mbacok, lalu nggak ingat. Bahaya sekali untuk orang lain.
Apa yang seharusnya dilakukan aparat?
Ditangani, diurutke tenan, dibina, sesuai aturan polisi. Kelompok itu atasnya pasti ada. Nggak mungkin anak-anak kecil kendel, kalau enggak ana nduwure.
Sultan berencana membuka Prayuwana, tempat pendidikan anak nakal, itu bagaimana?
Kalau Sultan yang bilang, dihidupkan lagi lebih baik. Orang kan menganggap sepele karena yang kena bukan saudara, adik atau masnya. Tapi kalau kena, lalu cacat atau mati, itu sudah telat. Korban kakehan. Kalau hukum memungkinkan, diberatkan (hukumannya). Di celah mana, coba ditelaah lagi. Agar golnya orang itu jadi lebih baik.
Ada anggapan kalau dipenjara bisa jadi tambah nakal?
Sepanjang mereka ada jaminan di penjara tidak terkontaminasi (tidak akan begitu). Mungkin sistem (penahanan) dibedakan. Monggo. Itu semua memungkinkan. Ini untuk menyelamatkan generasi muda. Daripada menganggap (menghukum) 1-2 anak tidak adil, tapi merusak semuanya. Ini demi menyelamatkan orang banyak.
Tips mencegah remaja tidak terbawa klitih?
Kami di Joxzin lawas ini tidak ada yang sambat, anak-anak kami ikut klitih. Artinya (kenakalan) geng ini nggak diwariskan. Anak mesti selalu diarahkan ke yang positif, misalnya olahraga. Kalau positif, dia akan menjauh dari yang negatif. Kebaikan lalu akan terbuka semua. Itu sudah hukum alam.
BACA JUGA Cerita Siksa Para Napi Diospek Petugas Lapas Narkotika Yogyakarta dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.
Reporter : Arief Hernawan
Editor : Purnawan Setyo Adi