Gusti Pangeran Haryo (GHP) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo dikukuhkan menjadi KGPAA Mangkunegara X pada Sabtu (12/3/2022). Putra bungsu dari KGPAA Mangkunegara IX ini naik takhta di usia muda, yakni 24 tahun.
***
Acara pengukuhan penguasa Mangkunegara ini dimulai pada Sabtu (12/3/2022) sekitar pukul 10.00 WIB. Suasana berlangsung khidmad dengan dihadiri oleh para tamu undangan yang terdiri dari kerabat Mangkunegaran hingga pejabat di kalangan sipil dan militer.
Semua penguasa pewaris Mataram Islam atau yang disebut sebagai Catur Sagatra hadir dalam acara ini. Mulai dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana XIII, Raja dari Keraton Yogyakarta Ngarsa Dalem Ingkang Susuhunan Kanjeng Sultan Hamengkubuwana X, dan Penguasa Kadipaten Pakualaman Sampeyan Dalem Ingkang Jumeneng Adipati Aryo Pakualaman X datang menyaksikan upacara sakral tersebut.
Sementara para pejabat dan petinggi kota Solo yang hadir dalam acara ini juga banyak. Mulai dari Wakil Wali Kota Solo teguh Prakosa, Ketua DPRD Kota Solo Budi Prasetyo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hingga Presiden Joko Widodo juga menyempatkan hadir.
Upacara pengukuhan dimulai pukul 10.00 WIB dengan Bhre yang berhadapan dengan ibundanya, Kanjeng Gusti Putri Mangkunegara IX di Pendhapi Ageng Pura Mangkunegaran. Bhre mengenakan beskap Langenharjan, beskap khas Mangkunegaran yang identik dengan dasi kupu-kupu. Pakaian adat ini dibuat oleh Mangkunegara VII. Beskapnya berwarna hitam berpadu dengan bawahan kain batik bermotif parang. Sementara ibunya berkebaya berwarna biru tua dan bersanggul.
Disusul kemudian para abdi dalem yang membawa pusaka Kadipaten Mangkunegaran yang secara turun temurun digunakan untuk mengukuhkan para penguasanya dari generasi ke generasi. Ada dua barang yang diserahkan pada Bhre, piagam dan keris. Keduanya menjadi simbol penyerahan takhta pada pemimpin Kadipaten pecahan kerajaan Mataram Islam ini.
Setelah prosesi pengukuhan selesai, Bhre membacakan enam sumpah dalam bahasa Jawa, yang intinya dirinya berjanji menjadi penerus takhta Mangkunegaran yang tetap melestarikan kebudayaan Jawa dan berada di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, ia juga menyampaikan pidato yang isinya hampir sama dalam bahasa Indonesia.
“Pada hakekatnya ikatan manusia dengan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” ucapnya.
Penguasa Pura Mangkunegaran yang masih berusia 24 tahun ini, secara garis besar berbicara mengenai kebudayaan. Menurutnya kebudayaan terbentuk dari berbagai macam hal. Mulai dari interaksi manusia, kebiasaan sehari-hari, cara menjalani hidup, cara makan, berpakaian, berbicara, berkesenian, hingga menghasilkan produk hukum.
“Kebudayaan adalah jati diri yang kita hasilkan. Saya menyadari bahwa Pura Mangkunegaran memiliki kebudayaan yang adiluhung, tidak serta merta diturunkan secara biologis. Namun berusaha nglampahaken (menjalankan). Sehingga bisa diwariskan untuk generasi yang akan datang,” urai pria kelahiran 27 Maret 1997 ini.
Tari Bedhaya Anglir Mendung
Selesai pidato dari Gusti Bhre langsung memasuki Paringgitan dan duduk di kursi singgasananya. Kemudian tujuh penari memasuki Pendhapi dan menghadap pangeran yang sudah dikukuhkan menjadi KGPAA Mangkunegara X.
Tujuh penari ini menarikan tarian khas yang hanya ditampilkan dalam dua momen saja, yakni Jumenengan (pengukuhan) dan Pengetan Jumenengan (peringatan pengukuhan) tiap penguasa Mangkunegaran. Tarian ini bernama Bedaya Anglir Mendung.
“Hanya ditarikan di sini, dan tidak boleh keluar. Seperti Bedaya Ketawang yang hanya ditarikan di dalam Keraton Kasunanan Surakarta,” ucapnya.
Tarian sakral yang hanya bisa disaksikan di dalam Pura Mangkunegaran dan menjadi persembahan bagi penguasa takhta Mangkunegaran. Karena tampilnya hanya saat spesial, maka untuk menarikannya harus ada persiapan matang. Termasuk para penarinya juga harus pilihan. Ada tujuh orang penari yang kesemuanya harus lajang.
“Penarinya harus masih lajang, yang usianya batasnya 30 tahun. Makanya kita regenerasi terus karena usia panggung penarinya terbatas,” ucap Plt Kadipaten Mondropuro Puro Mangkunegaran Raden Tumenggung Supriyanto Waluyo.
Untuk mempersiapkan tarian yang berlangsung sekitar 45 menit ini, tujuh gadis ini pun harus dipersiapkan dengan matang. Mereka sudah dilatih dalam beberapa bulan belakangan. Bahkan mereka perlu menjalani karantina dan ritual khusus untuk tampil mempersembahkannya.
Tarian karya dari Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa ini merupakan kisah perjuangannya sebelum memimpin Pura Mangkunegaran. Perjuangannya ini diabadikan dengan seni tari yang memiliki gerak dan seni koreografi yang tinggi. Tarian ini juga sempat direkonstruksi oleh Mangkunegara VII.
“Makanya para penari harus sehat dan prima. Sebab tidak mudah untuk menarikan koreografi ini dalam 45 menit,” ucap Supriyanto.
Cerita di balik penobatan
Sementara sosok KGPAA Mangkunegara X yang baru saja dikukuhkan, merupakan putra bungsu dari KGPAA Mangkunegara IX dan Gusti Kanjeng Putri (GKP) Mangkunegara IX. Sosok Gusti Bhre memang lekat sejak kecil dengan Mangkunegaran. Hal ini diungkap oleh Wedhana Satrio Pura Mangkunegaran KMRT Lilik Priarso.
“Meski beliau sejak kecil di Jakarta, tapi kalau liburan beliau ke Solo. Kalau di Jakarta itu yang dipunyai hanya teman main saja. Kalau teman mainnya ya abdi dalem,” ucapnya.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini selama beberapa tahun terakhir memang sudah aktif membantu pengelolaan Pura Mangkunegaran. Beberapa kali sebelum KGPAA Mangkunegara IX mangkat pada bulan Agustus lalu, Bhre sudah banyak membantu pada upacara-upacara adat.
“Beliau sudah dua kali ikut njamasi pusoko (memandikan pusaka). Termasuk mengawasi proyek-proyek dari PU (untuk revitalisasi Pura Mangkunegaran),” ucapnya.
Sebelum Jumeneng sebagai Mangkunegara X, Bhre juga sering ke Astana Girilayu, tempat ayahnya disemayamkan. Lilik mengungkap jika Bhre sering tidur di makam ayahnya. “Kebetulan di sana disediakan tenda. Jadi ada tempat istirahatnya,” ucapnya.
Bhre sering berziarah karena setelah menduduki takhta sebagai Mangkunegara X, ia sudah tidak diperbolehkan untuk datang ke makam. Aturan ini sudah sangat dipahami oleh para pemegang takhta dari Catur Sagatra.
“Mungkin dari alasan itu beliau sering ke sana. Saya sendiri sudah mengantarkan dua kali, kalau beliau sendiri lebih sering ke sana,” ucap Lilik.
Nama Bhre memang menjadi kandidat kuat menduduki takhta Mangkunegaran. Nama lain yang sebelumnya menjadi pesaing dalam suksesi Mangkunegaran yakni GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara. Putra sulung dari KGPAA Mangkunegara IX dan Sukmawati, yang juga cucu Presiden Soekarno. Keduanya menjadi kandidat terkuat menggantikan Mangkunegara IX.
Dalam perjalanannya menjadi penguasa Pura Mangkunegaran, Mangkunegara IX menikah dua kali. Pernikahan pertamanya dengan Sukmawati kandas sebelum ia naik takhta 33 tahun lalu. Pernikahan Gusti Mangku IX dengan putri dari Presiden Soekarno ini memiliki dua keturunan, GPH Paundrakarna dan GRA Putri Agung Suniwati atau yang biasa disapa Gusti Menur.
Sementara pernikahan keduanya, Mangkunegara IX mempersunting putri diplomat kenamaan yang pernah menjadi Duta Besar Jepang Yogi Supardi, Prisca Marina. Dari pernikahannya yang kedua, memiliki dua keturunan, GRA Ancilla Sura Sudjiwo dan GPH Bhre Cakrahutama.
Sosok lain yang namanya berhembus dalam suksesi Mangkunegaran yakni KMRH Roy Rahajasa Yamin, cucu dari KGPAA Mangkunegara VIII dan juga cucu pahlawan Mohammad Yamin. Pada akhirnya dalam rembug keluarga bersama dengan Permaisuri, Kanjeng Gusti Putri Mangkunegara IX, akhirnya nama Gusti Bhre disepakati untuk menjadi penerus takhta ayahnya.
“Setelah seratus hari (Mangkunegara IX mangkat) ada rembug keluarga yang membahas penerus takhta,” kata Lilik.
Akhirnya pada 1 Maret 2022 lalu, Lilik mengumumkan bahwa penerus takhta Mangkunegaran adalah Gusti Bhre. Terkait keputusan ini, tersirat bahwa kandidat lainnya GPH Paundra yang merasa keberatan. Hal ini terlihat dari dia dan adiknya, Gusti Menur yang tak hadir dalam upacara sakral Jumenengan Mangkunegara X.
Keberatannya Paundra ini juga terungkap dari pertemuannya dengan Mantan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo. Rudy sempat disowani (didatangi) Paundra sebelum bertolak ke Jakarta Selasa (8/3/2022) lalu. Rudy mengungkap jika Paundra sempat kecewa.
“Ya kecewa jelas, beliau kan pangeran tertua. Tapi keputusan akhir di garwa permaisuri,” ucap Rudy.
Namun dari keterangan Rudy, Paundra sudah merasa legowo (ikhlas). Rudy mengungkap, jika Paundra akan dinobatkan sebagai pangeran sepuh.
“Dia cerita kalau diposisikan sebagai pangeran sepuh,” ucapnya.
Dalam pertemuan itu Rudy juga meminta agar GPH Paundra menjaga iklim kondusifitas dalam keluarga Mangkunegaran. “Jangan sampai ada konflik,” ucapnya.
Reporter: Novita Rahmawati
Editor: Purnawan Setyo Adi