Sebelum ayam goreng mewabah di Yogyakarta, ayam goreng Mbah Cemplung sudah kondang hingga jadi tujuan berbagai tamu luar Jogja. Bermula dari pertautan keluarga tanpa ikatan darah, Mbah Cemplung menolak franchise, termasuk ketika Bondan Winarno, mendiang pakar kuliner ‘maknyus’ itu, menawari kerjasama.
***
Pada mulanya adalah sendang. Sendang Semanggi, namanya. Letaknya di kaki Gunung Sempu, sebuah bukit di Desa Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Pada kurun 1973, sendang itu menjadi jujukan banyak orang. Untuk nenepi, tirakat, atau mencari wahyu.
Orang sekarang akan menyebutnya sebagai ziarah, seperti diistilahkan Tri Widayat (44), generasi ketiga pengelola warung ayam Mbah Cemplung, saat saya temui, Rabu (15/12).
“Ya ada juga yang cari nomor,” kata Dayat, sapaannya, merujuk pada undian angka berhadiah pada masa Orde Baru, SDSB alias Sumbangan Dana Sosial Berhadiah.
Di tengah keramaian tempat wingit itu, seorang perempuan coba mengais rezeki. Dengan menggendong tenong dan menyunggi baki, Rejo Sidal, nama perempuan itu, menjajakan jajanan pada peziarah. Snack yang ia jual kala itu antara lain kacang rebus, intip, dan tempe benguk, serta wedang.
Mbah Rejo kemudian mendirikan gubuk di tepi sendang itu. Ia mulai mengepakkan sayap usaha ayam goreng dengan menjual menu nasi ayam goreng. Mula-mula hanya 3-5 ayam per hari.
Dayat ingat, simbah kerap mencari ayam hingga Kasongan, 2-3 kilometer dari Semanggi, untuk masakannya itu. Yang dicari ayam kampung piaraan warga. “Istilahnya ayam umbaran,” sebut Dayat.
Masakan ayam simbah rupanya cocok di lidah para peziarah. Para penikmatnya kemudian menyebut ayam goreng itu sebagai ayam goreng Mbah Cemplung, sesuai asal Mbah Rejo dari Desa Cemplung, tak jauh dari pabrik gula Madukismo.
Mbah Cemplung adalah wanita tangguh. Ia sempat meninggalkan kampung halamannya di Bantul untuk menikah dengan seorang laki-laki di Kendal, Jawa Tengah. Namun kemudian ia harus pulang dan hidup mandiri dengan berjualan seorang diri. “Beliau sebatang kara,” kata Dayat.
Lantaran kondisi itu, sang ayah, Pak RT pertama di Sembungan, Adi Sutrisno, merawat Mbah Rejo. Perajin mebel itu mengajak tinggal simbah di kediamannya hingga membuatkan tempat jualan yang lebih layak. Seingat Dayat, saat ia kelas 5-6 SD, sekitar akhir 1980-awal 1990, tempat jualan Mbah Cemplung pun pindah ke lokasi saat ini yang terletak di Dusun Sembungan.
“Gubuk di dekat sendang dibongkar, lalu dibuat di dekat di sini, sini juga satu-satunya jalur ke sendang,” papar Dayat.
Cita rasa ayam ala Mbah Rejo
Belakangan Pak Adi meninggalkan usaha mebelnya dan fokus mengelola warung Mbah Cemplung. Sang istri, ibunda Dayat, Suremi, turut membantu mengurus dapur dan masakan hingga kini.
Warung awal Mbah Cemplung ini berada di sisi selatan dari dua area tempat jualan di Sembungan saat ini. Di warung sisi selatan ini, ayam goreng Mbah Cemplung disiapkan dengan mempertahankan resep dan cara masak aslinya.
Di dapurnya, sebuah tungku batu dengan kayu bakar terlihat menyala berkobar-kobar, memanasi sebuah dandang berisi belasan ingkung di dalamnya.
Seperti disebut tadi, ayam goreng yang dipakai adalah ayam kampung umbaran—ayam yang diumbar alias suka dolan. Soalnya, lantaran permintaan ayam kampung untuk masakan meningkat, saat ini ayam kampung ada juga yang diternak.
Mungkin karena suka keluyuran itu ayam umbaran lebih kuat saat dimasak. Sebab ayam di warung Mbah Cemplung harus direbus dua kali. Setelah dipotong ayam direbus sekitar satu jam dan akan didiamkan bersama bumbu semalaman.
Nah, esoknya, ayam itu direbus lagi, sebelum akhirnya digoreng dan disajikan ke pembeli. “Ayam kampung umbaran itu kuat direbus dua kali. Kalau ayam ternakan, itu sudah hancur. Jenis ini ada pengaruhnya juga ke rasa,” ujar Dayat.
Perkara ayam ini, selain cara memasaknya, model bisnis ala Mbah Rejo juga masih diikuti. Meski sudah ada pemasok ayam langganan demi mencukupi stok ayam, cara berburu ayam simbah tetap dipertahankan. Sejak zaman dikelola Pak Adi hingga kini oleh Dayat, mereka hunting ayam umbaran ke kampung-kampung.
Kalau ada tetangga atau orang yang datang menjual ayam, kendati pun seekor, mereka juga bakal menerimanya. “Yang penting ukurannya gede, mau babon atau jago, asal bobotnya minimal satu maksimal 2,5 kilogram,” kata Dayat.
Untuk resep dan racikan bumbu, Dayat mengaku seperti memasak ayam goreng pada umumnya. “Tidak ada yang rahasia. Tapi memang jumlahnya itu ada pakemnya.”
Mojok lantas mencicipi ayam goreng ini, saat disantap, ayam goreng Mbah Cemplung berasa gurih. Ini berbeda dengan langgam kebanyakan ayam goreng di Yogyakarta yang condong ke manis.
“Rasa khasnya waktu panas terasa gurihnya. Cocok buat yang suka ayam bukan bacem. Ukuran ayamnya juga gede-gede,” kata Fajar (54) warga Godean yang rutin ke Mbah Cemplung 8 tahunan ini.
Dengan mempertahankan cita rasa ayam ala Mbah Rejo, inovasi sajian ada pada sambal. Jika di masa simbah, sambalnya hanya satu yakni sambal merah dari tomat yang cenderung manis, saat ini setiap sajian ayam dilengkapi dua sambal. Selain sambal merah, ada sambal bawang yang kehijauan dan cenderung berasa asin.
Menurut Dayat, ayam goreng Mbah Cemplung mulai ramai sekitar 2004-2005.”Promonya ya gethok tular saja, dari lidah ke lidah,” tutur Dayat seraya tertawa. Seingat Dayat, saat itu foto-foto ayam Mbah Cemplung juga sudah beredar di dunia maya dan makin kondang setelah era medsos, vlog, dan Youtuber.
Saat ramai-ramainya, termasuk sebelum pandemi menyerang, warung Mbah Cemplung sanggup menyajikan 100-150 ekor ayam per hari. “Kalau hari libur, dua kali lipatnya,” imbuh Dayat.
Saat jualan sedang menanjak itu, pada 2005 Mbah Cemplung alias Mbah Rejo Sidal berpulang di usia sekitar 80 tahun. Simbah dimakamkan di desa asalnya yang melambungkan namanya, kampung Cemplung. Sejak itu, usaha ayam goreng dikelola keluarga Adi.
Setahun kemudian, peristiwa duka kembali mengguncang. Kali ini skalanya seantero Yogyakarta, yakni lindu dahsyat pada 2006. Warung Mbah Cemplung aman, meski beberapa rumah di selatan warung hancur.
Para warga, termasuk mereka yang terluka, berkumpul di pelataran warung yang saat itu masih lapang. Tak sedikit pula yang mendaki Gunung Sempu gara-gara tersiar kabar terjadi tsunami di pantai selatan.
“Ayam-ayam yang sudah disiapkan akhirnya dibagi-bagi. Warung sini jadi tempat mengungsi sementara. Saya juga mengantar beberapa korban ke rumah sakit,” kenang Dayat sambil menunjuk mobil pikap abu-abu yang terparkir di halaman warung.
Selama beberapa hari setelah gempa saat itu, warung Mbah Cemplung tutup. Namun, menurut Dayat, guncangan lindu itu tak sedahsyat dampak gebukan pagebluk saat ini. Tutup beberapa bulan di awal pandemi, warung buka tutup mengikuti kebijakan pemerintah.
Dayat dan istri juga sempat terpapar Covid-19 hingga ia harus opname dan warung harus lockdown dua pekan. “Bukan kena dari tamu, wong karyawan nggak ada yang kena. Sepertinya dari pasar,” katanya.
Saat ini, ketika pandemi landai dan aturan diperlonggar, warung mulai ramai. Tamu dari pasangan muda, turis luar kota, hingga pegawai negeri berseragam datang silih berganti hingga sore hari. Jumlah ayam yang dimasak mulai naik lagi, sekitar 80 ayam per hari.
Menolak franchise
Medio 2013, warung sisi utara dibuka dengan kapasitas lebih besar. Pengelolaan dipercayakan ke Dayat dan adik bungsunya. Di usia senjanya, 70 tahun lebih dengan 6 cucu, Adi kini lebih banyak meracik jamu yang hanya dijual di warung Mbah Cemplung.
Warung ini buka dari jam 8 pagi sampai jam 7 malam. “Bisa gantian juga. Kalau Senin-Selasa sini (warung selatan) tutup siang, dilanjutkan yang sana (warung utara),” ucapnya.
Satu ingkung kini dibanderol mulai Rp100 ribu hingga Rp180 ribu, tergantung ukuran ayam. Untuk menu satu porsi, seperti paha dan dada, harganya mulai Rp30 ribu. Nasi dan minuman masing-masing Rp5 ribu.
Tepat enam tahun silam, Desember 2015, putri nomor dua Adi dan suaminya, Yuli Rohmayanto, setelah ikut mengurus warung Sembungan membuka warung 2,5 kilometer dari desa itu. Tepatnya di Jalan Padokan Lor, Jogonalan Lor, Tirtonirmolo, Kasihan, tak jauh dari Madukismo, persis di selatan Ring Road Selatan.
Dayat dan Yuli sama-sama berkata kompak dalam mengembangkan usaha ayam goreng Mbah Cemplung. Dengan warisan resep yang sama, warung di dua lokasi itu saling melengkapi.
Keduanya tak punya jadwal libur, tapi saat salah satu warung tutup—seperti kala Dayat kena Covid-19—pengunjung bakal diarahkan ke warung satunya yang buka. Demikian pula kala satu warung kehabisan bahan, warung lain dapat membantu.
“Ndak ada saingan. Kalau ada yang tutup kami kompromi juga. Daripada pelanggan kecewa,” kata Dayat.
Saat ditemui di ayam Mbah Cemplung di Padokan, Yuli (44) bercerita pernah ada rombongan yang merasa keliru dan ingin ke warung di Sembungan. “Kami juga arahkan ke sana,” kata Yuli yang sebelumnya turut bekerja di usaha mebel Adi, mertuanya.
Menurut Yuli, warung dibuka di Padokan juga karena ’jodoh’ dengan Mbah Cemplung karena dekat dengan kampung asalnya. “Saya maunya di utara Ring Road lebih ramai, tapi mau transkasi nggak jadi-jadi, gak tahu kenapa. Mungkin ini lebih berbagi ke tanah lahirnya. Jadi berkah terus rezeki simbah,” tuturnya.
Memang warung di Sembungan punya image kuat sebagai warung ndelik dan tradisional. Sedangkan warung Padokan coba mengembangkan pemasaran ayam Mbah Cemplung lebih modern dengan masuk ke aplikasi dan paket pesan makanan. “Setelah pandemi, kita turun tangan pasarkan lagi,” ujar Yuli.
Namun ayam goreng Mbah Cemplung disebut tak akan membuka franchise. Ajakan bahkan masuk lewat pekerja dapur Mbah Cemplung. Tapi semua tawaran itu ditolak.
“Tawaran sih banyak, tapi pesan Bapak seperti itu,” kata Dayat. Meski Pak Adi tak mengungkap alasannya, Dayat sepakat dengan anggapan bahwa warung dengan banyak cabang bakal kehilangan orisinalitasnya. “Jadi tidak istimewa lagi, istimewanya ndelik-nya itu,” ujarnya.
Sejumlah nama kondang dan pengusaha pernah menawari kerjasama ke keluarga Mbah Cemplung. Sebut saja pasangan aktor lawas Pangky Suwito dan Yati Suwito. Yang mengejutkan pula, wartawan senior serba bisa—yang tenar jadi presenter acara kuliner—Bondan Winarno juga pernah bertandang. “Datang dua kali. Bilang ada tempat di Jakarta. Itu sebelum beliau meninggal,” kata Dayat.
Dayat pun tak masalah jika pasar ayam goreng di Yogyakarta makin ramai. Termasuk saat ada warung yang coba mengikuti ayam Mbah Cemplung, dari menu hingga nama—karena brand Mbah Cemplung belum dipatenkan. “Monggo-monggo aja nyerempet-nyerempet (nama), tapi kalau rasa sama rezeki kan beda. Itu buat pilihan saja,” katanya.
Kalaupun buka cabang, ayam goreng Mbah Cemplung bakal tetap dikelola keluarga. Bocorannya, Dayat membidik di jalur arah bandara Yogyakarta International Airport. “Daripada di area bandaranya, mending punya tempat sendiri,” tutur Dayat.
BACA JUGA Kue Kipo, Kudapan Masa Mataram Islam yang Muncul Kembali dan liputan menarik lainnya di Susul.