Kuliner pecel lele identik dengan Lamongan. Pernyataan ini bukan tanpa sebab karena hampir kebanyakan penjual pecel lele berasal dari sana. Lantas bagaimana sejarahnya menu pecel lele dari Lamongan menyebar ke seluruh Indonesia? Berikut ini penelusuran kontributor kami.
***
Sebagai orang Lamongan, sebuah kota di Jawa Timur yang terkenal dengan pecel lelenya, saya menjadi tertarik untuk menulis tentang makanan yang satu ini. Bagaimana tidak, meski enggan disebut fasis kedaerahan, ketika orang tahu bahwa kita orang Lamongan, orang tersebut pasti menyebut kuliner-kuliner yang terkenal dari daerah ini. Seperti soto, tahu campur, nasi boran, dan tentunya pecel lele.
Selain Persela, di Lamongan yang terkenal barangkali memang makanan-makanannya yang menyebar ke seantero Indonesia. Dari pedagang kaki lima, kedai dalam ruko, restoran, pujasera, hingga foodcourt di mal makanan khas Lamongan ini selalu ada. Ada di mana-mana hingga mungkin di dekat rumahmu.
Kita mungkin sering melihat tenda-tenda pecel lele yang menyebar di trotoar jalanan. Gambar spanduk pecel lele ini kerap dijadikan kaos. Gambar lele, ayam, tahu, tempe, dan kadang terong yang menjadi penanda otentik bahwa itu merupakan pecel lele dan yang berjualan pasti dari Lamongan.
Alasan Lamongan terkenal karena pecel lelenya
Budayawan Lamongan, Syarif Hidayat mengungkapkan dilihat secara antropologis, dulunya Lamongan adalah daerah yang menyedihkan. Kerap menjadi omongan bahwa di beberapa daerah di Kecamatan Lamongan setiap hujan terjadi banjir, setiap kemarau terjadi kekeringan. “Hingga muncul istilah bahwa di Lamongan itu saat musim hujan kalau berak nggak ndodok, kalau musim ketiga atau kemarau kalau berak nggak bisa cebok,” kata Syarif Hidayat menggambarkan kondisi Lamongan di masa lalu.
Situasi tersebut menurut Syarif menjadi bencana tersendiri bagi warga yang mengandalkan pertanian dan tambak. Belum serangan hama wereng dan tikus menyebabkan petani tak bisa berkutik. Maka dari itu banyak dari mereka memutuskan untuk merantau. Merantau ke kota besar ini mereka tentu membawa kerabat dari daerahnya untuk diboyong. Kebanyakan para kerabat itu awalnya hanya membantu berjualan.
“Lama kelamaan jika sudah tahu ilmunya, mereka jadi punya keinginan untuk membuat sendiri. Setelah itu menyebarlah orang Lamongan berjualan pecel lele atau soto dari Sabang hingga Merauke,” ujar Syarif.
Fenomena ini terjadi pada kisaran tahun 1980-an. Cak Badri, salah seorang penjual pecel lela yang lebih dari 30 tahun menjelaskan fenomena tersebut. “Waktu itu masih jarang ada orang Lamongan yang berjualan soto atau pecel lele di Jakarta ini. Bisa dibilang yang mengawali adalah Haji Rawi dari Tanah Abang, ketika di Lamongan saya diajak dan mau. Setelah lama ikut dan merasa bisa sendiri, saya bikin warung sendiri di Palmerah ini lalu bikin juga di Bogor,” ceritanya.
Usaha ini pun menjadi buah bibir di desa-desa seantero Lamongan. Hingga banyak orang yang jadi ikut-ikutan merantau untuk berjualan makanan. Hingar bingar kota besar telah membuat mereka untuk meninggalkan kota kelahiran. Mereka mengadu nasib selain untuk dirinya, tentu juga untuk keluarga yang ada di Lamongan.
Karena sambal bisa bertahan hidup
Di Lamongan ada pesan yang turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka percaya selama, bisa membuat sambal itu pasti bisa bertahan hidup. Dawuh ini bisa memiliki makna ganda. Satu bisa dimaknai bahwa jika kelak tidak punya uang, kita bisa makan cukup dengan memakan sambal buatan kita sendiri. Kedua, jika ingin mempunyai pekerjaan, maka berdaganglah pecel lele.
Maka tidak heran, dengan tidak bermaksud membahas gender, di Lamongan banyak sekali laki-laki yang bisa membuat sambal enak, tidak kalah dengan yang dibuat perempuan. Sejak kecil anak-anak sudah diajari orangtua mereka untuk tidak sungkan ke dapur membantu mereka membuat makanan, setidaknya membuat sambal.
Menurut Syarif Hidayat, selalu muncul pertanyaan kenapa pecel lele berbeda dengan pecel lainnya yang merupakan urap-urap yang ditaburi kuah kacang layaknya pecel Madiun. Istilah ‘pecel’ memang identik dengan kacang panjang, taoge, mentimun, daun singkong, dan daun kemangi yang disiram dengan saus kacang yang terbuat dari campuran kencur, gula merah, garam, cabai, kecombrang, daun jeruk purut, dan kacang tanah sangrai yang dicampur, ditumbuk, atau diulek.
Secara etimologi, dalam bahasa Jawa, bahwa pecel dapat diartikan sebagai ‘tumbuk’ atau ‘dihancurkan dengan cara ditumbuk’. Muncul nama pecel ini adalah karena sambal pecel yang merupakan saus kacang tersebut.
Kenapa pecel lele Lamongan ini berbeda dengan istilah pecel pada umumnya itu? Konon, ada yang bilang bahwasannya pecel lele Lamongan ini sebetulnya salah sebut. Yang benar adalah pecek, bukan pecel. Pecek ini berarti penyet.
Sebuah istilah yang mengacu pada memenyetkan sesuatu menggunakan ulekan. Karena menyebutnya tidak enak yaitu pecek lele, maka seiring bergantinya zaman berubahlah menjadi pecel lele. Dulunya memang kebanyakan pecel lele ini disajikan diatas cobek batu, dengan ikan lele yang sudah dipenyet dengan sambal terasi. Namun, karena efisiensi sekarang jarang terlihat lele yang dipenyet itu, hanya lele yang ditabur sambal terasi.
Sambal ini rata-rata terbuat dari cabai merah besar, cabai rawit, tomat, bawang putih, bawang merah, dan terasi yang telah digoreng, lalu disatukan dalam cobek batu dicampur dengan kemiri, garam, gula merah, dan air jeruk untuk menambah kesegaran. Biasanya yang membedakan dari itu semua ada pada terasinya. Para penjaja pecel lele dari manapun kebanyakan mempunyai terasi tersendiri dari Lamongan yang tidak biasa dijual di pasar biasanya.
Zaman dulu mungkin akan menemui sambal-sambal itu diuleg langsung oleh tangan penjualnya. Namun, seiring berkembangnya zaman, sekarang ini banyak sambal itu digiling menggunakan blender. Sambal ini tersaji dengan lauk ikan lele, ayam, tempe, tahu, dan terong dengan lalapan kacang panjang, potongan kubis, dan timun.
Di dalam tenda-tenda pecel lele banyak orang Lamongan menggantungkan hidupnya. Di sana mereka terus berjuang melawan kerasnya hidup. Mereka terus berjuang meski kerap tendanya mendapat gusuran dari petugas Satpol PP atau ancaman dari preman setempat.
Pekerja penyetan yang tak kenal lelah
Saya salut dengan perjuangan mereka ini. Pernah beberapa kali saya melihat, mengamati, bahkan akhirnya ikut bekerja bersama rekanan yang dipersatukan kedaerahan ini. Mereka bekerja tidak pernah lelah, rutinitas yang sama setiap harinya, dengan sedikit tidur.
Bayangkan, mereka biasa membongkar tenda menjelang tengah malam atau bahkan mendekati subuh. Lalu ketika pagi buta itu mereka harus ke pasar berbelanja segala perlengkapan yang harus dijajakan malamnya. Sepulang dari pasar mereka harus membersihkan lalu memasak semuanya. Memasak ini biasanya cukup lama jika makanan yang ingin mereka jual ini banyak.
Lalu ketika sore tiba mereka harus sudah bersiap di tempat untuk memasang tenda dan mempersiapkan berjualan. Berapa jam mereka tidur? Bayangkan sendiri itu dilakukan setiap hari tanpa ada hari libur.
Seperti yang diceritakan Cak Mat (37) yang berjualan di daerah Rawamangun, Jakarta Timur, ia menceritakan selama berdagang pecel lele ini ia sudah berjualan berpindah-pindah tempat hingga mendapatkan tempat di pinggiran Jakarta ini.
“Dulunya awalnya sempat berjualan ikut orang di Bali sama Pasuruan selama 3 tahun. Setelah mendapat kabar dari teman bahwa ada tempat di Jakarta, tidak berpikir panjang saya langsung ke Jakarta dengan modal uang pinjaman dari koperasi simpan pinjam,” cerita bapak satu anak asal Desa Guminingrejo, Kecamatan Tikung, Lamongan.
Maka dari itu cukup bisa membuat sambal yang enak, orang Lamongan bisa hidup. Konon Mbah Lamong pendiri Kabupaten Lamongan, dulunya merupakan juru masak Sunan Giri. Maka dari itu mungkin banyak orang Lamongan jadi banyak menjual makanan.