Al-Quran tua di Kecamatan Ponjong jadi saksi penyebaran agama Islam di Gunungkidul. Al-Quran tersebut dilestarikan secara turun temurun oleh anak cucu keturunan Tumenggung Hiroyudo yang konon masih keturunan Raja Brawijaya.
***
Langit yang sedikit mendung tidak mengurungkan niat saya untuk berkunjung ke salah satu tanah tua di Gunungkidul: Ponjong. Banyak sekali bangunan tua dan peninggalan bersejarah di wilayah ini. Salah satunya Al-Quran tulisan tangan yang konon sudah berusia hampir 200 tahun.
Sudah lama saya mendengar terkait adanya bangunan masjid dan Al-Quran kuno di Dusun Wonodoyo, Desa Sumbergiri, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul. Akhirnya, Sabtu (19/3/2022), saya ditemani seorang teman, Andika Fau, berkesempatan menemui pemilik Al-Quran tersebut, Jazari Zaini (85).
Setiba di Dusun Wonodoyo, saya diantarkan oleh salah seorang warga ke rumah Jazari Zaini. Pria yang akrab disapa Pak Jazari itu, langsung menyambut saya dengan ramah dan mempersilakan masuk ke dalam rumahnya yang bergaya limasan.
Seolah tahu maksud kedatangan saya, Pak Jazari langsung mengeluarkan Al-Quran bersampul hitam tersebut dari dalam kotak berwarna cokelat. Kitab suci ini memiliki ukuran panjang sekitar 32 cm dengan ketebalan kurang lebih 6 cm. Sementara, tampak dari samping isi lembaran-lembaran kertas di dalamnya berwarna kuning kecokelatan.
“Saya generasi keempat yang menyimpan Al-Quran ini. Sekitar tahun 1997 saya mulai merawatnya. Sebelumnya, kitab ini disimpan oleh bapak saya yang bernama Muhammad Zaini,” tutur Pak Jazari mengawali perbincangan.
Saat pertama kali membukanya, saya mencium aroma harum yang keluar dari dalam Al-Quran kuno ini. Selain itu, lembaran kertas tersebut juga lebih tebal jika dibandingkan dengan Al-Quran pada umumnya. Meski tulisan tangan, huruf-huruf yang dihasilkan tampak begitu rapi.
Di halaman pertama, ada coretan atau tulisan aksara Jawa yang ditulis menggunakan pensil. Menurut Pak Jazari, tulisan tersebut bukan sebuah terjemahan atau tidak ada kaitannya dengan isi Al-Quran, melainkan hanya sebagai tanda atau pengingat saja.
“Ndak tahu siapa dulu yang menulis aksara Jawa itu. Pas waktu saya masih kecil sudah ada coretan-coretan itu. Oh, ya itu sampulnya pakai bahan kulit binatang lho, Mas. Jadi, lebih awet dibanding dengan kertas,” tutur Pak Jazari.
Sambil membuka beberapa lembar halaman, Pak Jazari kemudian menceritakan mengenai asal usul Al-Quran tulisan tangan miliknya. Sejak kecil, beliau mengaku sering melihat Alquran itu dibawa simbah-nya yang bernama Kiai Haji Muhammad Ali.
Setelah KH. Muhammad Ali wafat, Al-Quran tersebut kemudian diturunkan kepada anaknya, KH. Muhammad Zaini, yang merupakan ayah kandung Pak Jazari. “Saya sendiri mendapatkan Al-Quran itu dari bapak. Pokoknya turun temurun dari nenek moyang,” lanjut Pak Jazari.
Menurut Pak Jazari, kitab ini diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1820-an. Hal ini tak lepas dari sejarah Masjid Al Jami di depan rumahnya yang konon dibangun pada tahun 1824.
“Kemungkinan kitab ini sudah berusia lebih dari seratus tahun. Soalnya masjid itu saja dibangun pada tahun 1824. Otomatis, usia Al-Quran ini lebih tua dari bangunan itu,” tutur Pak Jazari sambil menunjuk sebuah masjid di depan rumahnya.
Pak Jazari mengaku tidak tahu persis siapa nama orang yang menulis Al-Quran bersampul hitam itu. Pria yang telah dikaruniai empat orang anak ini, hanya mendapatkan cerita dari ayahnya bahwa Alquran tulisan tangan tersebut peninggalan dari Kiai Haji Muhammad Ikhsan, ayah kandung Kiai Haji Muhammad Ali.
Al-Quran peninggalan Kiai Ikhsan
Kiai Haji Muhammad Ikhsan atau yang kerap dipanggil Kiai Ikhsan sendiri merupakan salah seorang ulama yang menyiarkan agama Islam di Gunungkidul. Beliau adalah putra dari Tumenggung Hiroyudo, seorang tokoh dari Kerajaan Majapahit, yang konon masih keturunan Raja Brawijaya.
Dulunya, Kiai Ikhsan belajar ilmu agama Islam di Arab Saudi. Beliau menimba ilmu di sana selama empat tahun. Sepulang dari tanah Arab, beliau mulai menyiarkan agama Islam di wilayah Gunungkidul bagian utara.
“Eyang (Kyai Ikhsan) dulu menyiarkan agama Islam itu sama adiknya. Beliau syiar ilmu agama di Gunungkidul bagian utara, di sini. Terus, adiknya di wilayah selatan, di daerah Kecamatan Tepus,” tutur Pak Jazari.
“Beliau juga sempat mendekati raja di Keraton Ngayogyakarto dan menjadi abdi dalem Keraton,” imbuhnya.
Melihat jasa-jasa Kiai Ikhsan dalam penyiaran agama Islam, kemudian pihak Keraton memberi hadiah untuknya berupa tanah Perdikan (tanah babas pajak untuk para ulama) di wilayah Kecamatan Ponjong, yang saat ini ditempati Pak Jazari.
Tidak hanya diberi tanah, Kiai Ikhsan juga mendapatkan triman putri (putri pemberian raja) bernama Fatimah untuk diperistri. Bersama istrinya, Kiai Ihsan membangun rumah joglo di Dusun Wonodoyo, Desa Sumbergiri, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul.
Melihat jumlah santrinya yang semakin banyak, membuat Kiai Ikhsan berinisiatif untuk mendirikan sebuah masjid dan pondok pesantren yang diberi nama Toharatul Qulub. Di pondok pesentren ini, setiap hari putra Tumenggung Hiroyudo itu memberikan ilmunya kepada para santri.
“Dulu itu, awalnya, banyak sekali santri yang menginap di rumah untuk ngaji. Melihat jumlah santri semakin banyak, Eyang Ikhsan kemudian membangun masjid dan pondok di depan situ untuk tempat belajar agama Islam. Kegiatan ngaji itu dilanjutkan hingga ke kakek saya, Muhammad Ali,” jelas Pak Jazari sambil menunjuk masjid di depan rumahnya.
“Pas waktu mengajar, Kiai Ikhsan juga sudah pakai Alquran ini. Bisa dibilang, kitab ini jadi saksi pada saat penyebaran agama Islam di Gunungkidul,” tambahnya.
Makam Kiai Ikhsan dan keturunannya
Sepeninggalan Kiai Ikhsan, KH. Muhammad Ali juga sempat meneruskan perjuangan ayahnya dalam menyiarkan agama Islam. Setiap hari Kiai Ali mengajar ngaji di Pondok Pesantren Toharatul Qulub. Selain mendidik para santri, beliau juga ditunjuk sebagai naib (imam/wakil masyarakat) di Kecamatan Ponjong.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, jumlah santri di Pondok Pesantren Toharatul Qulub semakin berkurang. Hingga akhirnya, pesantren tersebut dibongkar untuk dijadikan area persawahan. Sementara, Kiai Ali diminta untuk menjadi juru kunci Makam Ki Ageng Giring III di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul.
“Sampai akhir hayatnya, Mbah Ali jadi juru kunci Makam Ki Ageng Giring. Simbah juga dimakamkan di sana, di komplek Makam Ki Ageng Giring. Sebelum meninggal, Mbah Ali berpesan kepada anaknya atau ayah saya, Muhammad Zaini, untuk menjaga Al-Quran tulis tangan peninggalan Eyang,” tutur Pak Jazari.
Sementara itu, Kiai Ikhsan dan Kiai Zaini dimakamkan di belakang Masjid Al Jami. Ditemani salah seorang tokoh Masjid Al Jami sekaligus keponakan Pak Jazari, Agus Rohdianto (50), saya pun diajak melihat makam Kiai Ikhsan.
“Yang dikelilingi pagar Itu makam eyang Ikhsan, Mas. Di sebelahnya, ada makam istrinya juga. Jadi, ini makam keluarga Kiai Ikhsan,” tutur pria yang diakrab Pak Agus itu sambil menunjuk sebuah makam yang dipagari tembok.
Di sinilah ulama yang memiliki Al-Quran tua itu dimakamkan. Makam itu tampak bersih dan terawat. Lebih dari sepuluh makam berjajar rapi di komplek pemakaman yang dikelilingi pohon-pohon rindang.
Tidak hanya makam Kiai Ikhsan dan sang istri, di sini juga ada makam Muhammad Zaini. “Di sini dulunya cuma ada makam Kiai Ikhsan saja, terus makin lama makin bertambah, termasuk simbah saya (Muhammad Zaini),” lanjut Pak Agus.
Selain Kiai Ikhsan, saya juga sempat membaca beberapa nama yang tertulis di nisan makam ini, di antaranya Njai Dojo, Kjai Moh Mardjuki, Njai Hirodikromo, Njai Kasaanom, Njai Ngabdul Kadir, dan Hadji Fatimah. Hampir semua makam memiliki bentuk dan ukuran yang sama, dengan panjang sekitar 150 cm dengan lebar 40 cm.
Seminggu sekali, Pak Agus membersihkan komplek pemakaman. Biasanya, setiap malam Jumat, pihak keluarga dan masyarakat sekitar kerap berziarah di tempat ini. Namun, tidak sedikit juga para tamu Pak Jazari, setelah melihat Al-Quran tua, kerap meluangkan waktu untuk berziarah di makam Kiai Ikhsan.
“Banyak kok tokoh-tokoh masyarakat yang berziarah ke sini. Biasanya, setelah melihat Al-Quran itu, mereka penasaran ingin melihat makam Kiai Ikhsan,” tutur Pak Agus.
Kisah masjid dan bedug peninggalan Kiai Ikhsan
Keberadaan Al-Quran berusia ratusan tahun tersebut juga tidak lepas dari bangunan masjid di depan rumah Pak Jazari. Masjid yang diberi nama Al Jami Wonodoyo ini, berdiri pada tahun 1824. Masjid ini yang kemudian menjadi saksi keberadaan Alquran tua dan tempat para santri untuk menimba ilmu kepada Kiai Ikhsan.
Masjid Al Jami berdiri di atas tanah wakaf seluas 265 meter persegi. Menurut Pak Jazari, masjid ini dulunya hanya seluas 116 meter persegi dengan bentuk bangunan berupa kayu, atap dari sirap, dan dinding anyaman bambu atau gedhek. Sama seperti masjid-masjid Keraton, awalnya masjid ini terdiri dari ruang utama, serambi, dan terdapat sebuah kolam di depan masjid.
“Sekitar tahun 1921, masjid ini dirombak oleh simbah saya, Kiai Haji Ali. Kemudian pada 1980-an, masjid ini diperluas lagi di bagian serambi, soalnya dulu jamaah sangat banyak, Mas,” tutur Pak Jazari.
Setelah dilakukan pengembangan, sekarang ukuran Masjid Al Jami menjadi 265 meter persegi. Saat ini, bangunan masjid sudah berupa tembok permanen dan terdapat tiga pelengkung atau lengkungan di pintu masuk masjid dengan cat berwarna putih.
Suasana di komplek masjid ini begitu sejuk. Beberapa pohon rindang tumbuh di depan masjid. Sementara, di samping masjid terdapat area persawahan yang hijau sehingga membuat kawasan masjid tampak begitu asri.
Di depan Masjid Al Jami, saya melihat bedug yang berukuran sekitar panjang 2 meter dengan diameter kurang lebih 1,5 meter. Bedug berwarna cokelat itu, menjadi salah satu peninggalan masjid sejak zaman dulu. “Bedug itu sudah ada sejak masjid ini berdiri. Itu terbuat dari kayu utuh, kalau dipukul sangat nyaring,” ujar Pak Jazari.
Pak Jazari menambahkan, bedug ini dulunya dibuat oleh murid Kiai Ikhsan. Adapun proses pembuatan bedug tersebut tidak ditatah, tetapi menggunakan bara api. Konon, hal ini yang kemudian membuatnya awet dan lebih nyaring saat dipukul.
Selain bedug, juga terdapat peninggalan berupa saka guru atau tiang utama masjid yang hingga kini masih dijaga keasliannya. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai penyangga kerangka dan atap masjid. Agar keasliannya tetap terjaga, saat ini saka guru Masjid Al Jami dilapisi triplek yang tahan air.
“Masjid Al Jami masuk daftar salah satu masjid bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sudah menjadi cagar budaya. Selain menjadi bukti tempat penyiaran agama Islam di Gunungkidul, adanya bedug dan Al-Quran tua peninggalan ini, juga menjadi keistimewaan tersendiri,” tutur Pak Jazari.
Sementara itu, adanya Al-Quran tulisan tangan ini, juga menjadi berkah tersendiri Pak Jazari. Tidak jarang, beliau diundang ke berbagai event benda-benda peninggalan bersejarah di Yogyakarta. Dinas Kebudayaan Gunungkidul sendiri juga mencatat bahwa kitab ini menjadi salah satu Al-Quran tertua di Gunungkidul.
Bagi Pak Jazari, menjaga warisan atau benda peninggalan dari nenek moyang itu menjadi kewajiban dan tanggung setiap orang. Sebab, satu benda peninggalan masa lalu, akan selalu menyimpan cerita-cerita yang kelak bisa menjadi pelajaran berharga bagi anak cucu.
Sama seperti apa yang disampaikan generasi sebelumnya, ayah Pak Jazari juga berpesan kepadanya agar menyimpan dan merawat Al-Quran ini. “Tidak ada wasiat khusus dari bapak mengenai Al-Quran ini. Intinya, semasa bapak masih hidup, saya hanya disuruh merawatnya saja. Apa yang disampaikan bapak, kelak juga akan saya sampaikan kepada anak cucu saya,” pungkasnya mengakhiri percekapan sore itu.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Purnawan Setyo Adi