Burger Monalisa di Yogyakarta muncul pertama kalinya tahun 1988 dari seorang nenek yang tidak puas dengan rasa burger yang dimakannya. Ia kemudian membuat racikan sendiri. Tak dinyana, setelah dijual burger ini laris manis. Bahkan setelah 34 tahun, burger ini masih memiliki banyak pelanggan.
***
Bersama seorang teman, saya mengendarai motor matic kesayangan dari arah Jalan Kaliurang menuju arah Jalan Persatuan, di kawasan UGM Yogyakarta, tepat di seberang BNI Bulaksumur. Di depan bangunan mangkrak bercat merah muda, terlihat sebuah tenda berwarna merah dan kuning. Malam ini, kami berdua memilih mengisi perut dengan Burger Monalisa, untuk pertama kalinya.
Cita rasa burger ‘jawa’ yang unik
Saya melirik jam tangan, rupanya sudah pukul 9 malam. Beberapa orang masih berdiri di depan tenda bercorak merah dan kuning itu untuk menunggu pesanan bungkus. Sebenarnya, Burger Monalisa juga menyediakan makan di tempat dengan gelaran tikar di samping tenda. Ya, makan burger dengan suasana kaki lima, diiringi genjrengan gitar dari pengamen-pengamen yang lewat.
Setelah memesan seporsi burger dan pisang bakar, kami berdua duduk di tikar lesehan. Pandangan saya beralih ke jalanan yang mulai agak sepi. Beberapa orang yang tadi mengantre di depan tenda pun berangsur-angsur pulang. Warung burger ini biasanya buka dari pukul 5 sore hingga 10 malam, namun tak menutup kemungkinan akan tutup lebih awal jika cepat habis.
Soal rasa, burger ini tidak eneg, rasanya juga unik karena lebih berbumbu dibanding patty burger lainnya. Lebih kaya rempah dan rasa. Konon, beberapa pelanggan lama sering memesan daging saja untuk dimakan bersama nasi karena enak.
Hari Kamis (17/02/2022), saya pun mengunjungi outlet utama sekaligus dapur Burger Monalisa. Lokasinya sekitar 9 kilometer dari outlet di Jalan Persatuan, tepatnya di sekitaran kawasan Prawirotaman yang selama ini dikenal sebagai kampung Turis. Lebih tepatnya lagi, tetap lurus ke arah Jalan Sisingamaraja, belok ke selatan. Lalu tujuan berada di sebelah kanan. Tak banyak yang tau jika garasi yang telah disulap sebagai tempat makan bernuansa kuning merah ngejreng ini merupakan outlet utama burger yang terkenal di Jalan Kaliurang itu. Outlet di sini buka dari pukul 10 pagi hingga 9 malam.
Saya bertemu dengan Prima Oktiviani (33) dan Almira Puspitarini (28). Mereka merupakan dua orang dari tiga orang penerus usaha Burger Monalisa generasi ketiga. Sebenarnya, saat ini usaha masih secara resmi dikelola oleh generasi kedua. Namun, pelan-pelan mereka mencoba belajar dan ikut membantu untuk mempertahankan Burger Monalisa supaya bisa diterima oleh anak-anak muda. Dari mereka juga saya menemukan fakta-fakta tentang Burger Monalisa.
Lahir karena racikan nenek
“Dulu kan banyak jajanan burger di gerobak-gerobak, nah nenek terinspirasi dari situ,” Viani memulai cerita. Semenjak mencoba beberapa rasa burger, nenek Viani merasa kurang cocok hingga akhirnya sang nenek mencoba membuat racikan burger sendiri. Di mulai dari dagingnya hingga mayones.
“Singkat cerita, setelah ketemu formula yang pas terus dijual. Waktu itu dibantu sama om yang masih mahasiswa,” ucapnya lagi. Kebetulan, mendiang nenek Viani waktu itu memang gemar berjualan. Beliau pun sempat menjual batik atau barang-barang lainnya sebelum memiliki warung Burger Monalisa.
Nama Burger Monalisa terinspirasi dari lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci yang terkenal di dunia. Dengan nama yang sama, nenek mereka ingin Burger Monalisa bisa eksis sampai kapanpun juga.
Burger yang berdiri sejak 1988 itu memiliki warung tenda pertama yang lokasinya tak jauh dari outlet di Jalan Kaliurang. Jika dulu ada di sisi kiri kalau dari arah selatan, maka sekarang hanya berpindah ke sisi kanan. Perpindahan itupun sebenarnya sangat disayangkan oleh pihak keluarga. Sebab, lokasi yang telah dipertahankan selama 30 tahunan itu memiliki banyak kenangan bagi pengelola ataupun pelanggannya.
“Kami pindah karena ada pembangunan, sekarang cuma pindah seberangnya sih. Tapi rasanya sedih banget,” ujar Mira.
Tidak akan buka franchise
Ditanya ingin membuka franchise atau tidak, Mira dan Viani serempak menggeleng. Mereka berdua teringat pesan mendiang nenek, jika Burger Monalisa harus dipertahankan sebagai usaha keluarga saja.
“Ya, kalo dipikir-pikir emang menjanjikan. Tapi nenek nggak suka kalo dibuat franchise, jadi kami sepakat untuk menjadikan Burger Monalisa sebagai usaha keluarga yang turun-temurun,” ungkap Viani. Meski tak dipungkiri, dulu burger ini sempat memiliki beberapa cabang dengan konsep kerja sama pihak lain. Sayangnya, harus tutup.
“Dulu juga ada cabang di Semarang, lho! Waktu jaman nenek,” Viani tersenyum lebar, lalu terkekeh “tapi sayangnya gak laku. Kok bisa ya,” ujarnya lagi
Mira yang waktu itu ikut mengingat-ingat tampak tersenyum masam. “Iya ya. Padahal di pusat kota, Simpang Lima,” imbuhnya.
Mendengar itu, saya jadi terheran. Sebagai warga asli kota Semarang, saya tahu Simpang Lima itu selalu ramai saat pagi, siang, sore, ataupun malam. Benar juga, kok bisa nggak laku ya?
Lalu, kami bertiga pun tertawa. Setiap warung memang punya lokasi larisnya sendiri- sendiri!
Alasan Burger Monalisa hanya awet 3 hari
Viani memandang lurus ke depan, jalanan sore itu nampak ramai. Beberapa orang memilih menambah kecepatan untuk menghindari rintikan hujan yang diprediksi akan segera datang, sebab langit pada sore itu mendung. Sebuah mobil box berwarna putih membuyarkan lamunan Viani, ia langsung beranjak dari kursi, pamit sebentar menuju dapur.
Dua orang berkaos hitam keluar dari mobil itu, rupanya mereka adalah karyawan burger Monalisa Cabang Jalan Kaliurang. Setiap harinya, ketika jarum jam menunjukan pukul 15.30 WIB, mereka akan datang untul membawa bahan-bahan jadi dari dapur.
“Semua bahan di sini tanpa pengawet, Mbak. Termasuk roti dan dagingnya, setiap hari kami produksi dan bahan-bahan fresh from the oven,” ucap Viani yang tiba- tiba datang dan duduk lagi di hadapan saya. Jika dibandingkan dengan burger lainnya, khususnya bun dan patty, burger ini tergolong burger homemade. Setiap pukul 5 pagi, tim dapur akan mulai membuat seluruh bahan-bahan burger untuk didagangkan pada pukul 9 pagi, di cabang utama.
“Bikin dan langsung didagangkan hari itu juga?” tanya saya penasaran. Dalam benak saya, salah satu keuntungan penjual fast food adalah mereka tak perlu memasak setiap hari. Sebab, bahan-bahan seperti roti, patty, ataupun saus bisa disimpan dalam jangka waktu lama.
“Iya dong. Semua roti dan patty pasti baru. Kami tidak memakai pengawet, jadi cuma tahan tiga harian,” ucap Viani.
Mira yang sedari tadi menampilkan ekspresi sumringahnya ikut menimpali, “Kalau lagi sepi banget ya, maksimal dua hari sekali lah kami ke dapur lagi,”
Burger tanpa pengawet menjadi ciri dari Burger Monalisa sejak zaman dahulu. Sayangnya, hal ini terkadang membuat kebingungan pengelola. Mereka tetap ingin mempertahankan tanpa pengawet, tapi kadangkala mereka ingin inovasi supaya burger ini menjadi lebih banyak dikenal. Apalagi, banyak langganan Burger Monalisa yang berasal dari generasi lama, kebanyakan sudah tidak menetap di Jogja lagi karena sudah lulus kuliah.
“Kemarin ada yang minta dikirim ke Jakarta, Kalimantan, sampai Sumatera,” ucap Viani. Tapi, lagi-lagi ia tak terlalu berani mengambil risiko, bisa saja pengiriman ke luar Jawa membuat kualitas burger menjadi turun. Sebab, tak ada pengawet yang digunakan, tak ada yang bisa menjamin burger itu bisa ‘selamat’ sampai tujuan.
“Tapi kemarin masih ada yang ngeyel, Mbak. Katanya nggak apa-apa, dicoba dulu, karena saking kangennya,” Viani terkekeh. Akhirnya, ia mengirimkan burger dalam bentuk vacuum dan setengah matang. “Dikirim 4 pack, eh yang 1 pack berjamur,” ucapnya lagi. Tapi pelanggannya waktu itu tak komplain, malahan senang karena akhirnya bisa menikmati burger Monalisa lagi setelah sekian lama.
Sebenarnya, inovasi burger vacuum ini telah ada sejak awal pandemi, ketika burger Monalisa sepi pembeli dan merasa terpuruk. Tak banyak lagi pesanan yang diterima. Bahkan, cabang Jakal yang biasanya selalu ramai pembeli menjadi sangat sepi. Terlebih, pada saat itu banyak pedagang kaki lima yang harus tutup cepat dan tidak boleh dine in.
Akhirnya, Viani dan anggota keluarga lainnya mencoba memutar otak agar dagangan mereka tetap laku. Salah satunya dengan, burger vacuum.
“Ya walaupun vacuum, tetep cuma bertahan tiga harian,” ucap Viani menghela napas. Hal ini terkadang membuat Viani menolak beberapa pesanan, apalagi yang jauh.
Generasi ketiga berjuang jadikan Burger Monalisa oleh-oleh khas Jogja
Langit mulai cerah kembali. Rintikan hujan tergantikan dengan terik sinar matahari sore. Tiba-tiba seorang pria berkaos hitam dengan sablon burger kecil di sisi kanan melangkah ke arah kami. Sorot matanya menandakan ia sedang tersenyum walau tertutup masker. Rupanya ia adalah Aldino Ichsan (25) yang juga merupakan generasi ketiga penerus Burger Monalisa. Sekarang, ketiganya telah lengkap di hadapan saya.
“Aku tu pengen bikin burger ini jadi oleh-oleh khas Jogja, tapi burgernya gak bisa bertahan lama. Jadi ragu buat melangkah kesana,” Viani tiba- tiba berceloteh. Apalagi, ia sering melihat banyak bus-bus pariwisata lewat atau numpang parkir di outletnya. Rasa-rasanya ia ingin bekerjasama dengan banyak pengusaha wisata itu. Tapi, tempat untuk dine in nya saja belum memenuhi.
“Nggak ada lahan parkirnya kita tuh,” ucap Aldi.
Viani menoleh ke saya, “hah, kalo parkir mah bisa dimana aja. Nyatanya bus sering parkir di depan kita, loh!”
Saya dan Mira hanya saling lirik-lirikan melihat perdebatan antarsaudara mengenai ketidaksediaan tempat untuk skala besar. Lalu kami berempat tertawa bersama karena semua yang dibilang ada benarnya. Tempat kurang memadai, parkir pun tidak ada. Baik disini, ataupun di outlet Jalan Kaliurang.
“Bagaimanapun kondisinya. Sedih rasanya, padahal burger ini punya banyak kesempatan,” ucap Aldi. Kami bertiga pun mengangguk setuju.
Reporter: Rahma Ayu Nabila
Editor: Agung Purwandono