Umi Azizah, perempuan berusia 19 tahun yang tinggal di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan ini mendulang dolar dari smartphone yang ia punya. Apa yang dilakukannya melalui aplikasi CapCut sempat dipandang sebelah mata bahkan ada yang menyebut melakukan pekerjaan sia-sia.
Dari apa yang disebut pekerjaan sia-sia itu, saat ini Umi mendapatkan gaji dolar dari memanfaatkan aplikasi CapCut untuk memproduksi video. Dengan nama pengguna gabut[AM], ia telah membuat 3.2 ribu proyek dengan jumlah followers mencapai 316.8 ribu.
Mojok berbincang dengan Umi Azizah di rumahnya, Dusun Sentulrejo, Desa Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Bantul. Kampungnya merupakan salah satu lokasi yang terdampak TPST Piyungan. Kedua orang tuanya adalah pemulung.
Umi sendiri telah berhenti sekolah usai lulus SMP pada tahun 2018. Pencapaiannya saat ini adalah pembuktian bagi orang-orang yang pernah meremehkannya.
***
Sore itu, 31 Oktober 2022, TPST Piyungan diguyur gerimis tipis. Di tengah jebakan bau yang menyengat, seorang Ibu memanggil saya yang sedang melintas. “Mbak-mbak mbonceng yo tekan omah.” Meski sempat kaget karena merasa tidak kenal, permintaan Ibu ini saya iyakan.
Dari perbincangan di atas motor itu, saya mengetahui jika ia bernama Nadzifah. Perempuan berusia 36 tahun ini bekerja sebagai pemulung setelah menikah. Ia terpaksa pulang berjalan kaki karena suami yang biasa menjemput sedang mengantarkan sang Ibu ke dokter. Mertuanya sedang sakit.
Cerita Nadzifah dalam perjalanan ke pemukiman di balik TPST Piyungan ternyata cukup membuat saya tercengang. Di tengah jalanan terjal, ia bercerita tentang pekerjaan lain yang sedang digeluti. “Saya itu bukan cuma pemulung, Mba. Saya itu konten kreator.”
Sontak saya hampir tertawa karena mengira Nadzifah hanya bercanda. Namun, lanjutan ceritanya yang begitu menggebu membuat saya tertarik. Akhirnya, saya turut berkunjung ke rumahnya demi bisa mendapatkan cerita ini secara utuh.
“Kreator itu bebas ya, Mba. Mau bikin apa yang penting penonton suka. Kalau saya sukanya ya bikin yang seperti itu,” ujar Nadzifah sembari memperlihatkan video yang ia buat.
Dari HP yang ia sodorkan, saya tahu akun CapCutnya bernama Selamet Barkoni [AM]. Jumlah followersnya mencapai 12.000 dengan proyek sebanyak 2.4 ribu. Keren juga, batin saya.
“Kamu lihat aja yang lain boleh kok. Pokoknya komentarnya banyak yang suka dengan buatan saya. Kamu simpen aja mana yang kamu suka buat kenang-kenangan,” tutur Nadzifah.
Konten yang dibuat berupa video dengan durasi antara 15 hingga 30 detik. Untuk foto dan lagu cukup ia ambil dari internet. Sasaran kontennya adalah orang yang sudah tua.
Ia juga sesumbar jika kemampuannya telah banyak meningkat. “Ini lama Mbak belajarnya, susah. Itu kan harus pas titik-titiknya, itu namanya beat. Titik kuning-kuning itu, lho. Waktu di tempat sampah coba aku video. Kalau masukin ke SnackVideo atau YouTube aku juga udah bisa caranya.”
Nadzifah mengaku bisa menggunakan smartphone karena anaknya. Putranya yang bernama Barkoni ini turut memandu mengenai teknis pembuatan konten. “Aku kalau suruh liat sendiri secara gamblang di YouTube nggak paham, rumit. Tapi saya yang mengelola supaya bagus. Model kerjanya kan harus konsisten,” jelasnya.
Selama hampir satu tahun menggeluti kegiatan ini, ia telah mendapatkan bayaran sebesar Rp500.000. “Tapi tetangga itu bisa dapat banyak banget. Dia sampai 13 juta.”
Dari celetukan inilah, saya akhirnya bisa bertemu dengan Umi Azizah. Perempuan muda yang menginspirasi Nadzifah untuk menjadi content creator di CapCut.
Belajar dari YouTube
Tidak seperti generasi milenial lainnya, Umi tidak menghabiskan waktu dengan bersekolah. Hari-harinya diisi dengan menjaga sang Nenek. Ketika pagi dan siang, ia juga bertugas mengantar dan menjemput adiknya yang duduk di kelas 3 Sekolah Dasar.
Umi sempat berada di pondok pesantren selama tiga tahun setelah lulus SMP. Pondoknya ini bukanlah SMA. Hanya tempat untuk belajar mengaji dan melakukan kegiatan kemasyarakatan, seperti kerja bakti. “Kan aku nggak betah di situ,” tuturnya.
Mengenai alasannya tidak bersekolah, perempuan dua bersaudara ini mengaku dilarang oleh orang tuanya. Jarak sekolah jauh serta banyaknya ongkos yang dikeluarkan juga menjadi pertimbangan tersendiri. Sedangkan biaya pondoknya, cukup dengan membayar Rp70 ribu setiap bulan.
Meski sudah memiliki pendapatan sendiri, keinginannya untuk melanjutkan sekolah sekarang sudah hilang. “Udah nggak pengen karena nggak mau mikir. Kalau aku lanjut ya mungkin udah kuliah.”
Selepas dari pesantren, Umi termotivasi untuk mencari kegiatan baru. Ia menggunakan media YouTube sebagai sarana belajar. Minat untuk mengedit video diakuinya telah ada sejak lama. Ia sempat menjajal membuat akun YouTube tapi sukar memperoleh subscriber. TikTok juga pernah dicoba, tetapi menurutnya rumit.
“Awalnya aku nggak tau kalau ngedit bisa berpenghasilan. Paling banyak seminggu pernah dapet 3 juta. Tapi nggak pasti, ya kalau nggak upload nggak dapet bayar,” ucapnya sembari tertawa.
Cacian tak membuat menyerah
Penghasilan ini tentu tidak bisa didapatkan begitu saja. Ada perjalanan panjang yang harus ia lewati. Salah satunya adalah proses seleksi yang dilakukan oleh agensi. Ia harus membuat video sama persis dengan yang telah diunggah oleh salah satu leader.
Ia sendiri mengikuti agensi bernama AM. Pilihan ini didasarkan oleh video yang ia lihat dari YouTube. Salah seorang leader dari agensi AM memberikan tutorial yang menginspirasinya.
“Dulu itu sudah daftar berulang kali, tapi nggak diterima. Sudah hampir nyerah. Akhirnya aku bisa masuk Maret terus katanya Mei dapet bayaran. Tapi udah aku tungguin sampai September baru gajian. Ketika itu aku dapet 13 juta,” jelas perempuan yang dijuluki tetangganya master kreator ini.
Selama proses menanti gaji yang tak kunjung cair ini, Umi banyak mendapatkan cacian dari tetangga dan keluarganya. Tekanan dari lingkungan ini semakin membuatnya ingin menyerah. Mereka mengatakan jika dirinya terkena penipuan
“Bikin video banyak, tapi nggak ada yang FYP. Followersnya nggak nambah, nggak ada yang nge-like. Aku pernah ada di titik itu,” kata Umi mengenang.
Ketika berita mengenai keberhasilannya mendapatkan gaji fantastis tersebar, banyak dari mereka berbalik minta diajari. Tukang konter pun sempat dibuat heran karena ia telah tiga kali membeli HP di sana. Ujung-ujungnya, ia diminta untuk mengajari.
“Ada yang ke sini. Ada yang minta ketemu. Kadang ada yang cuma tanya-tanya doang, tapi ya nggak bikin. Yang lain itu pada nyerah. Salah satu yang bertahan itu ya Bu Nadzifah,” tuturnya sembari menunjukkan video di HP yang ia beli seharga 4 juta rupiah itu.
Membuat ribuan konten
CapCut adalah sebuah aplikasi untuk mengedit video. Para kreator ini bertugas untuk membuat templat yang bisa digunakan untuk media sosial, seperti TikTok, Instagram, hingga WhatsApp. Mereka mengatur lagu, efek, teks, hingga animasi. Karena konsep video sudah beres, siapa pun jadi bisa memproduksi konten karena cukup memasukan foto atau video yang diinginkan.
Untuk mendapatkan gaji 1 dolar, mereka harus mengumpulkan 1.000 orang yang menyimpan konten ke galeri mereka. Persyaratan ini lebih sulit jika dibandingkan sebelumnya yang hanya perlu mendapatkan 1.000 penonton.
Hitungan gaji mereka memang menggunakan dolar. Namun, uang yang mereka terima sudah dikonversi dalam bentuk rupiah. Misalnya saja untuk gajinya yang Rp13 juta itu, jika dikonversikan dalam dolar sekitar 800-an dolar Amerika.
Saat ini ada fitur dompet yang memudahkan pengguna atau kreator untuk melihat jumlah saldo mereka. Nantinya, gaji dolar ini bisa diambil melalui rekening ataupun DANA dalam bentuk rupiah.
Demi bisa menghasilkan uang, mereka harus mengunggah banyak konten. Umi sendiri dalam sehari pernah membuat 50 video. Target ini tentu tidak bisa dicapai oleh semua orang. Banyak pemula merasa kesulitan. Salah satunya Nadzifah sendiri.
“Harusnya sehari upload 20, tapi saya sekuatnya. Seumpama sudah capek ya 2 atau 3 saja. Pokoknya saseloku. Kadang dikerjain malem, aku kan tidurnya malem-malem,” tutur Nadzifah.
Ketika syarat tadi tidak dipenuhi, mereka tentu tidak mendapat gaji. Di ruang tengah rumahnya itu, Nadzifah bercerita jika sesungguhnya ia sekadar ingin mencoba pekerjaan yang nyaman.
“Lehku nyambut gawe karo le tuku paketan adoh, lho. Aku pernah seminggu habis 70 ribu rupiah. Tapi belum tentu nanti saya dapat uang segitu. Sudah hal biasa, namanya juga belajar. Saya tetap berusaha meski nggak dapat bayar, nggak papa. Saya tetap semangat,” jelasnya.
Nadzifah juga mengaku sama meski tantangan yang harus dilewati lebih berat. Ia masih awam dengan teknologi. Suatu ketika gajinya pernah ditunda karena bingung mencari nomor HP-nya.
“Disuruh masukin nomor HP. Lha aku nggoleki nomore bingung. Gak hapal soale fokusku cuma ngedit. Senin kemarin harusnya bayaran, tapi aku tanya tetangga ternyata udah telat, jadi nggak bayaran.” Nadzifah sendiri mengaku untuk menarik gaji juga masih dibantu oleh Umi.
Istri dari Mansur ini menjelaskan jika penghasilannya sebagai pemulung sebenarnya jauh lebih besar. Belum lagi jika ada rezeki yang tak duga. Ketika sedang mencari barang bekas di TPST Piyungan, ia pernah mendapat amplop berisikan uang Rp400 ribu. Namun, Nadzifah merasa dirinya senang melakukan hal tersebut.
Tuntutan untuk mengejar poin
Tidak semua pembuat templat di CapCut bisa langsung mendapatkan gaji dolar. Mereka harus mengumpulkan poin dan mendapatkan respons yang tinggi agar bisa naik level. Ketika baru bergabung, kreator memiliki level 0 dan baru bisa mendapatkan gaji ketika sudah berada di level 2.
Pembuatan video tentu juga harus sesuai dengan ketentuan. Hal-hal yang bernuansa kekerasan, seperti senjata tajam tidak akan diterima.
“Aku pernah nggak diterima juga. Waktu itu karena musiknya ada kata-kata kasar gitu. Tapi aku mikirnya waktu itu baru viral, jadi bisa diterima. Tapi ternyata nggak, jadi kena pelanggaran,” jelas Umi.
Mekanisme pemberian poin ini juga semakin menantang para kreator karena adanya kebijakan reset poin setiap dua bulan sekali. Umi mengaku telah memiliki 12.400 poin. Namun, di bulan Oktober kemarin poinnya dikurangi 492. Ia menjelaskan jika pengumpulan poin ini membutuhkan waktu cukup lama sebab satu video terkadang hanya menambah 2, 5, 10, atau 20 poin.
Menurut penjelasan Umi, kebijakan ini bertujuan untuk membuat para kreator bisa terus menghasilkan konten. Ketika mereka berhenti, sedangkan kebijakan reset ini terus berjalan maka bukan tidak mungkin mereka bisa kembali ke level 0.
Perbedaan level menjadi suatu hal yang krusial. Ketika di posisi yang lebih tinggi maka pelayanan yang diberikan dari agensi juga semakin prima. Pesan akan direspons lebih cepat, bisa ditunjuk untuk membuat templat tertentu, hingga terbuka peluang untuk diajak kolaborasi.
Para leader dari agensi sebenarnya juga memberikan bimbingan melalui rapat bulanan yang rutin diadakan. “Ada musyawarah, nama kerennya meeting. Tapi aku cuma dengerin biar tau kerjanya orang kepenak. Aku otodidak dan coba memahami,” papar Nadzifah.
Dalam pertemuan tersebut, leader akan menjelaskan tips untuk bisa For Your Page (FYP), cara menaikan penonton, hingga peraturan. Leader secara konsisten juga terus memberikan rekomendasi templat yang sedang ramai ditonton sebagai referensi.
“Kadang aku engga suka ngikutin arahan dari sana karena kreator lain banyak yang bikin. Terus aku kena saing. Jadi aku bikin sendiri,” tutur Umi.
Baca halaman selanjutnya
Tips dari umi untuk yang mau jadi content creator
Tips dari umi untuk yang mau jadi content creator
Sembari menikmati suguhan es lilin, saya mendengarkan strategi yang dilakukan oleh Umi dalam mengelola akun CapCut-nya. Satu hal yang penting menurutnya adalah fokus video. Konten yang dibuat Umi seputar hal galau, bucin, baper, dan kegabutan karena sasarannya adalah anak muda.
“Harus ada tema di akunnya. Semisal aku bikin video jedag-jedug, ya harus gitu terus. Kalau aku bikin yang lain pasti sepi gak ada peminat,” jelas perempuan ini di tengah aroma TPST Piyungan yang sesekali terasa begitu menyengat.
TikTok baginya adalah sumber inspirasi. Karena itu, scroll TikTok adalah kewajiban demi bisa menghasilkan konten yang FYP. TikTok ia pilih karena berandanya menawarkan konten yang lebih beragam. Berbeda dengan Instagram yang mengacu pada followers atau following.
Templat yang dibuat seringkali turut ia promosikan di TikTok. Dengan begitu, mereka yang ingin menggunakan templatnya cukup menekan logo CapCut di atas nama pengguna. “TikTok sama CapCut bisa dikolaborasi,” kata Umi.
Mengenai harapannya ke depan, ia mengaku sedang mengejar semacam Play Button. Semacam plakat yang diberikan kepada YouTuber, tetapi ini berlogo CapCut. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang berada di level 6. Umi sendiri sudah berada di level 5, tapi untuk mencapai itu ia harus mengumpulkan 20 ribu poin. Ia masih perlu 7.600 poin lagi.
“Tapi ini yang ngasih leader. Bukan dari aplikasi CapCut langsung,” kata Umi.
Perjalanan menjadi konten kreator mengajarkan Umi untuk tidak menunjukkan proses dan usaha kerja kepada orang-orang. Baginya, membiarkan orang lain mengetahui kerja keras yang dilalui hanya akan menghasilkan bantahan.
“Aku nggak ada cerita ke siapa-siapa, tapi orang rumah tahu. Jadi kesebar kemana-mana. Orang-orang kan cuma mau tahu ketika kita sudah berhasil,” pungkasnya di hari yang sudah gelap itu.
Reporter: Delima Purnamasari
Editor: Agung Purwandono