Sowan Kiai: Gus Ulil, Sang Pendekar Live Streaming Ngaji Ihya

gus ulil

Kata Gus Irwan Mlangi dalam episode Sowan Kiai beberapa waktu yang lewat, yang namanya Kiai itu terbagi menjadi dua, yakni kiai sumur dan kiai ceret. Kiai sumur adalah terminologi untuk menyebut kiai yang mukim dan banyak didatangi oleh orang untuk belajar menimba ilmu, sedangkan kiai ceret sebaliknya, yakni kiai yang berkeliling untuk membagikan ilmunya kepada orang-orang.

Nah, kalau menggunakan terminologi yang digunakan oleh Gus Irwan di atas, maka salah satu sosok Kiai muda yang saat ini memilih jalan pedang untuk menjadi seorang kiai ceret tentu saja adalah Gus Ulil Abshar Abdalla.

Menantu Gus Mus tersebut, bersama istri tercintanya, Ienas Tsuroiya, kini memang sibuk menjalani laku keliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu majlis ke majlis yang lain untuk mengisi pengajian Ihya Ulumuddin. Bukan hanya sekadar ngaji, siaran pengajian tersebut bahkan disiarkan secara langsung melalui Facebook sehingga materi pengajian bisa disimak baik oleh mereka yang datang langsung ke majlis maupun yang tidak.

Laku itulah yang belakangan membuat Ienas Tsuroiya lebih akrab dengan panggilan “Mbak Admin” alih-alih “Ning” seperti laiknya kebanyakan anak kiai besar.

Aktivitas yang dijalani oleh Gus Ulil tersebut sudah sejak lama menarik perhatian kami. Mangkanya, begitu Mojok dan Gusdurian Jogja membikin program sowan kiai, Gus Ulil menjadi salah satu target utama untuk kami sowani.

Dan selayaknya target utama, ia harus terur diburu. Alhamdulillah, perburuan yang dilakukan oleh Mojok dan Gusdurian ternyata tidak sia-sia. Melalui perantara Kalis Mardiasih, kami (Mojok dan Gusdurian Jogja) akhirnya berhasil mendapatkan akses untuk menjalin kontak dengan Mbak Ienas dan akhirnya bisa kebagian waktu untuk bisa sowan dan mewawancarai Gus Ulil di sela-sela jadwalnya yang sangat padat bak selebriti.

Tidak seperti sowan-sowan kiai edisi sebelumnya di mana kami kru Mojok dan Gusdurian Jogja berkunjung ke pondok pesantren, sowan ke Gus Ulil ini justru kami lakukan di sebuah galeri seni milik perupa Nasirun.

Sowan dan wawancara rencananya akan dilakukan di geleri seni bernama SaRanG building milik Mas Jumaldi Alfi. Namun karena satu hal, sesi sowan dan wawancara akhirnya dipindah ke galeri sini milik Pak Nasirun yang juga sahabat dekat Mas Alfi. Kebetulan, lokasi antara galeri seni milik Pak Nasirun memang tak terlalu jauh dari SaRanG building.

Kami datang berdelapan, selain saya, ada pula Dafi (Mojok.co), Ali (Mojok.co), Dyah (Mojok.co), Bahru (Gusdurian Jogja), Fairuz (Gusdurian Jogja), Bahru (Gusdurian Jogja), dan Mukhibullah (Gusdurian Jogja).

Perjalanan ke galeri sini milik Pak Nasirun yang berada di daerah Ngestiharjo, Bantul, tak makan banyak waktu. Maklum saja, galeri dengan nama beken “Nasirun Studio” ini memang sangat terkenal.

Ketika kami tiba di sana, Pak Nasirun bersama istrinya, juga Gus Ulil dan Mbak Ienas baru saja selesai menikmati sarapan.

“Lho, ternyata rombongan, aku pikir cuma dua atau tiga orang,” kata Mbak Ienas.

Wajar jika Mbak Ienas berkata demikian, maklum saja, ia mungkin mengira bahwa yang datang hanya pewawancara dan videografer saja. Ia tak menyangka bahwa akan ada tim hore-hore alias tim rewo-rewo yang juga ikut mengiringi.

“Iya, je, Mbak. Biar ramai…” kata Fairuz.

Kami satu per satu lantas langsung salim dengan Gus Ulil, Mbak Ienas, juga Pak Nasirun dan istrinya.

“Kalis nggak ikut?” Tanya Mbak Ienas.

“Wah, kalau itu, tanya sama pacarnya,” kata Dafi.

“Kalis nggak ikut, Gus?” Mbak Ienas beralih bertanya pada saya.

“Lagi dines, Mbak,” jawab saya.

Pak Nasirun dan Istrinya sebagai tuan rumah kemudian mempersilahkan kami untuk bersantap sarapan (Oh ya, biar tak menjadi pertanyaan kenapa kami sarapan, kunjungan ini kami lakukan sebelum bulan puasa).

Kami semua, seperti selayaknya manusia Jawa, tentu saja ewuh-pekewuh dan agak malu-malu begitu ditawari untuk sarapan. Tapi ewuh-pekewuh itu perlahan luntur begitu kami melihat gudeg yang tersaji di meja makan.

Pada akhirnya, kami memang mengambil sarapan yang sudah dipersilakan untuk kami.

“Sembari kalian sarapan, Aku tak ngajak Mbak Ienas sama Mas Ulil ini keliling lihat-lihat lukisan dulu, ya?” Kata Pak Nasirun.

“Oh, nggih, Pak…” jawab beberapa dari kami dengan serentak.

Tanpa diawasi oleh tuan rumah, adegan mengambil lauk menjadi lebih berani, brutal, dan kolosal. Sawut sana, sawut sini. Piring harus penuh terisi.

Kami lantas menikmati sarapan kami di sebuah meja panjang dekat dengan ruang terbuka di ujung ruang tengah. Dari meja tersebut, kami bisa melihat taman rumah bagian dalam yang penuh dengan patung dan karya seni lainnya. Indah. Artistik. Estetik. Yah, namanya juga rumah seniman merangkap galeri. Memang selayaknya harus begitu.

Setelah setengah jam berlalu, Pak Nasirun, Mbak Ienas, dan Gus Ulil akhirnya selesai berkeliling. Kami juga sudah selesai menyantap gudeg yang tadi kami ambil dengan sangat sawutan yang sangat bernafsu.

“Gimana, sekarang?” Tanya Gus Ulil.

“Ha siap, Mas.”

Ali, videografer kebanggaan kita langsung tancap gas. Ia langsung mencari tempat yang dianggap cocok untuk mengambil gambar. Pilihannya jatuh pada sebuah arena rindang tak jauh dari musala yang kerap digunakan Pak Nasirun untuk melukis.

“Nah, di situ cocok, kelihatannya asri, artistiknya juga dapet,” kata Gus Ulil sepakat.

Setelah semuanya siap, wawancara pun langsung dilakukan.

Di depan kamera, Gus Ulil diwawancarai oleh Dafi dan Bahru, yang kebetulan, sama-sama pakai kaos hitam, sama seperti warna kaos yang dipakai Gus Ulil. Bahru memakai kaos bergambar Gus Dur, Gus Ulil memakai kaos bergambar Gus Mus mertuanya, sedangkan Dafi memakai kaos bergambar logo ISIS yang diplesetkan.

Pertanyaan pertama dan mungkin juga cukup utama tentu saja adalah perihal program streaming ngaji Ihya yang memang rutin digiatkan oleh Gus Ulil dibantu oleh Mbak Ienas sebagi “Mbak Admin”.

“Sebetulnya (streaming-an) ngaji Ihya itu adalah hasil kolaborasi antara saya dengan istri saya, sejak dari ide, eksekusi, sampai sekarang ini.” Terang Gus Ulil.

Gus Ulil bercerita bahwa program streaming ngaji Ihya tersebut ia mulai sejak tiga tahun yang lalu. Hal tersebut bermula dari rasa kangen Gus Ulil pada kegiatan ngaji kitab semasa ia di pesantren.

“Karena saya kangen, jadi saya kepengin ngaji lagi.”

Nah,sedangkan pemilihan kitab Ihya Ulumuddin yang selama ini dingajikan sengaja dipilih karena kitab tersebut memang menjadi salah satu kitab favorit bagi Gus Ulil.

“Baik pengarangnya maupun kitabnya merupakan favorit saya, saya ini pengagum Al-Ghazali. Kitab ini menjadi favorit bacaan saya sejak lama.”

Ide untuk ngaji kitab tersebut kemudian mendapat masukan dari istrinya agar di-live-streaming-kan lewat Facebook, sehingga kajiannya bisa diikuti oleh banyak orang. “Kebetulan pas saya ngaji Ihya itu, Facebook baru menawarkan fasilitas live-streaming, sebelumnya kan Facebook cuma menawarkan text, foto, sama video, tapi kalau live-streaming itu ya baru dikenalkan ketika saya mulai ngaji Ihya itu.”

Gus Ulil tadinya pesimis, sebab menurutnya, kitab Ihya adalah kitab yang dianggap hanya dikaji oleh orang-orang tua. Kitab yang lumayan angker, kata Gus Ulil.

Namun ketika live-streaming itu ditawarkan di wall Facebook Gus Ulil, tak dinyana, ternyata banyak yang berminat dan ikut bergabung.

Jumlah orang yang ikut ngaji dalam pengajian online Gus Ulil ini terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Banyak orang yang suka dengan pengajian Gus Ulil, sebab menurut mereka, di tangan Gus Ulil, Ihya menjadi ringan dan mudah dipahami. Hal tersebut salah satunya karena Gus Ulil kerap memakai contoh-contoh dan analogi yang relevan dalam pengajiannya.

Ngaji Ihya yang dibawakan oleh Gus Ulil ini membawa dampak yang sangat besar, salah satu yang utama tentu saja adalah terhadap citra Gus Ulil sendiri.

Sebelumnya, Gus Ulil memang lebih banyak dikenal sebagai salah satu pentolan Jaringan Islam Liberal. Mangkanya, ketika dirinya menekuni ngaji Ihya dari satu majlis ke majlis yang lain, bahkan kerap ngisi keliling dari pesantren satu ke pesantren yang lain, banyak yang lantas menyebutnya sebagai sebuah jalan pertobatan.

“Kalau tobat dalam artian saya menekuni kembali tradisi pesantren itu betul,” terangnya, “Tapi kalau tobat dalam pengertian saya meninggalkan ide-ide yang saya kembangkan dalam islam liberal, ya itu tidak benar, karena apa yang saya kerjakan sekarang itu seperti memperluas cakrawala, horizon, jadi berpikir rasional itu tidak cukup jika tidak disempurnakan dengan dimensi spiritual.”

Selama proses syuting berlangsung, Mbak Ienas a.k.a Mbak Admin terus memantau dari belakang kamera. Naluri adminnya agaknya benar-benar bekerja.

Sebelum syuting, beliau bahkan beberapa kali mencoba membenarkan posisi kaos dan juga menyeka keringat di dahi sang suami tercinta dengan tissu. Ia benar-benar memastikan suami tercinta tampil dengan penampilan yang maksimal dengan menerapkan standar operasional yang amat tinggi.

Perhatiannya tersebut tampak menjadi sangat relevan tatkala Dafi menanyakan tentang muasal kisah pertemuan Gus Ulil dengan Mbak Ienas sampai bisa menjadi sepasang suami istri.

“Saya kira kisah cinta saya sudah terlalu terkenal,” kata Gus Ulil serata tertawa. Kami semua ikut tertawa dengan jawaban yang memang agak kemaki ini.

“Intinya, saya itu mengena istri saya dengan syar’i.” Gus Ulil tampak agak memerah. “Ya tidak ada pacaran seperti anak jaman sekarang, tapi ya ada proses perkenalan, melalui Gus Mus, dan Gus Mus mengizinkan, lalu saya berkenalan dengan istri saya. Jadi sangat-sangat syar’i sekali.”

Gus Ulil mengatakan bahwa mertuanya adalah sosok yang sangat demokratis dalam urusan pernikahan anak-anaknya.

“Dulu Gus Mus ketika saya meminta izin untuk berkenalan dengan putrinya, ya beliau bilang ‘ya kamu mau menikah dengan saya apa dengan anak saya? Kalau kau mau menikah dengan anak saya ya sana kenalan sama anak saya, kenapa harus melewati saya dulu,’ Jadi Gus Mus itu menyerahkan semuanya kepada putri-putrinya.”

Sesi wawancara selama kurang lebih setengah jam tersebut berakhir tepat saat azan zuhur.

Gus Ulil bersama Mbak Ienas memang sudah ada agenda lain bersama Mas Alfi dan beberapa kawan untuk bersantap sate klathak di warung sate klathak legendaris Sor Talok.

Sungguh setengah jam yang terlalu singkat, namun sangat menyenangkan.

Kami kemudian pamit pada Gus Ulil, Mbak Ienas, juga pada Pak Nasirun yang ternyata sedang sibuk menemani tamu yang berkunjung untuk melihat koleksi karya seni di galeri miliknya.

“Lho, kok pulang sekarang, nggak nanti saja, Nggak mau lihat saya nipu pengunjung galeri?” kata Pak Nasirun sembari melirik dua pengunjung galeri seninya.

Tawa kami pecah.

Di mobil, kami berseloroh, “Sekarang bisa wawancara sama mantunya, semoga besok bisa wawancara sama mertuanya.”

Exit mobile version