Rasanya Jadi Mahasiswa Indonesia Saat Perang Sudan, Pesawat Tempur dan Rudal di Atas Kepala 

Ilustrasi Rasanya Jadi Mahasiswa Indonesia Saat Perang Sudan, Pesawat Tempur dan Rudal di Atas Kepala. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Mahasiswa Indonesia di Sudan merasakan langsung bagaimana deru pesawat tempur, desing peluru, dan tembakan rudal melintas di atas kepala mereka. Lokasi mereka tinggal tak jauh dari keberadaan pasukan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan lawannya, paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Sewaktu-waktu bisa saja peluru atau rudal mengenai mereka.

Mojok berbincang dengan salah seorang mahasiswa asal Indonesia, Rif’an Ali Hafidz (26) yang kuliah di Sudan. Ia sudah tinggal di negara tersebut sejak 2017, mengalami dua kali konflik besar di negara yang ada di benua Afrika ini.

***

16 April 2023 konflik di Sudan mulai mencapai titik puncaknya. Desing peluru dan tembakan senjata anti pesawat tak henti terdengar oleh Rif’an Ali Hafidz (26) yang tinggal di Arkawit, Khartoum, Sudan. Daerah tempatnya tinggal itu jadi salah satu area konflik antara pasukan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Jarak bangunan tempat Rif’an dan beberapa rekan mahasiswa asal Indonesia, terletak cukup dekat dengan salah satu pangkalan militer RSF di bawah komando Mohammed Hamdan Dagalo atau Hemedti. Kondisi itu membuat wilayah itu panas, baik cuaca maupun situasinya.

“Jaraknya itu sekitar dua kilometer saja,” ujarnya saat Mojok hubungi, Selasa (2/5). Saat kami berbincang, ia baru saja sampai di Jakarta setelah terbang dari Jeddah, Arab Saudi menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Ingatan tentang hari-hari paling kelam dalam hidupnya masih begitu detail.

“Dengan jarak pangkalan yang dekat itu, medan tempur hanya berkisar ratusan meter dari tempat kami,” katanya. Tak heran jika dari tempat ia tinggal, asap dari bangunan yang terkena rudal dapat terlihat jelas.

Pesawat-pesawat SAF kerap terbang di atas atap tempat tinggal para mahasiswa Indonesia. Pasukan SAF memang unggul dalam kekuatan udara. Namun, RAF juga punya bekal senjata anti pesawat, yang terus menembak saat ada objek terbang mendekat.

“Ini bukan konflik yang biasa terjadi, ini sesama militer dengan senjata. Kami semua khawatir,” kenang mahasiswa Khartoum International Institute for Arabic Language Sudan ini.

Kepulan asap tampak dari tempat tinggal Rif'an, mahasiswa Indonesia di Sudan. MOJOK.CO
Kepulan asap tampak dari tempat tinggal Rif’an, mahasiswa Indonesia di Sudan. (Dok. Rif’an/Mojok.co)

Menjadi saksi hari bersejarah di Sudan

Perang antara SAF dan RSF bukan konflik pertama yang Rif’an saksikan di Sudan. Sebelumnya, setahun setelah ia tiba di Sudan, momen bersejarah terjadi. 

Pada Desember 2018, demonstrasi besar-besaran menuntut kemunduran Pemimpin Sudan, Omar Al Bashir mulai terjadi. Saat itu para mahasiswa di sana menjadi saksi lengsernya sosok yang telah memimpin Sudan selama 30 tahun. Bashir, mundur dari jabatannya pada April 2019.

Namun saat itu, situasinya berbeda. Konflik terjadi antara sipil dengan penguasa militer. Sehingga tidak terlalu banyak tembakan dan bom-bom yang berjatuhan.

“Dulu yang saya saksikan itu ya paling masyarakat bakar ban, aksi, gotong royong untuk menghalangi mobil militer masuk perkampungan,” kenangnya.

Saat itu, jalan masuk warga menutup jalan masuk perkampungan dengan bebatuan dan tanah. Hal itu mereka lalukan supaya bisa menghambat kendaraan militer masuk ke kampung saat warga lari dari kekacauan.

Sejak gelombang demonstrasi mulai masif, pada awal 2019, perkuliahan Rif’an pun mulai terhenti. Menurutnya, mayoritas mahasiswa asli Sudan, turut turun aksi sehingga pembelajaran di universitas sudah tidak kondusif. Ia pun mulai libur.

Pandemi menyusul, sehingga perkuliahan pun kembali tidak aktif. Hingga konflik semakin antar dua pasukan militer terjadi, pembelajaran belum normal.

Takut peluru nyasar, kesulitan membeli kebutuhan pokok

Perang di Sudan mulai terjadi 15 April 2023, ketika pasukan RSF menyerang pasukan SAF. Serangan ini dinilai sebagai upaya kudeta karena baik RSF maupun SAF awalnya sama-sama pasukan keamanan Sudan. 

Kecamuk perang ini membuat mahasiswa Indonesia merasakan banyak kendala. Berhari-hari listrik padam. Saat malam, nyala tembakan di udara tampak. Rif’an hanya bisa mengintipnya dari dalam rumah. 

Hampir semua mahasiswa Indonesia tak berani keluar rumah saat bunyi rentetan tembakan atau suara rudal yang menghantam bangunan terdengar. Mereka takut ada peluru menyasar. Di sejumlah grup WhatsApp, foto-foto sesama mahasiswa memegang pecahan proyektil peluru jadi hal yang lumrah tersebar.

“Beda dengan orang Sudan yang mungkin masih berani berjalan di luar. Kami lebih baik di rumah saja,” katanya.

Susahnya membeli makanan

Listrik padam bukan hanya jadi soal saat malam. Kala siang, mereka harus menahan panas di dalam bangunan tanpa pendingin atau kipas angin. 

Belum lagi, mereka terkendala susahnya membeli pasokan makanan. Toko-toko yang jadi andalan untuk berbelanja terpaksa tutup selama konflik berlangsung. Kalau pun ada yang buka, harga kebutuhan naik tajam.

Sebenarnya para mahasiswa ini sempat menggalang bantuan. Dana pun terkumpul. Namun, sulit untuk membelanjakannya.

“Sistem keuangan bermasalah, bank juga membatasi pengeluaran uang. Kami nggak punya stok uang pound,” curhatnya.

Kondisi itu semakin parah karena jaringan internet yang tidak lancar. Mahasiswa asal Purwokerto ini bercerita kalau hanya ada tiga provider internet di Sudan. Semasa konflik, dua di antaranya mati total. Hanya ada satu jaringan, itu pun sering terputus.

Mereka banyak bertahan dengan stok mie instan hasil bantuan pada masa Ramadan. Sebenarnya, bantuan dari Lazis Muhammadiyah itu hendak mereka bagikan. Namun, kecamuk perang menyebabkan logistik itu tertahan. Memang itu sedikit memberikan bantuan.

“Tapi kami lima belas harian itu makan mie. Kadang cuma dikremes gitu nggak kami masak,” tuturnya tertawa.

Mereka bertahan dengan kondisi serba terbatas di wilayah yang jaraknya ribuan kilometer dari kampung halaman. Rif’an bercerita kalau banyak di antara temannya yang tertekan secara mental. 

“Gimana nggak stress, setiap hari kami dengar suara tembakan,” ujarnya.

Di rumah, dengan segala keterbatasan, mereka hanya bisa saling bercanda dan menguatkan satu sama lain. Mereka menertawakan nasib. Jauh ke Benua Afrika untuk belajar tapi berakhir di tengah perang.

Mereka bertahan di tengan kondisi itu, sampai sebuah ketenangan muncul saat Idulfitri. Harapan semu yang bisa sedikit mereka nikmati.

Kenikmatan opor ayam di saat perang berkecamuk di Sudan

Menjelang Lebaran, pada 20 April, Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menetapkan status siaga satu bagi WNI di Sudan. Konsekuensinya, sudah pasti para perantau ini akan dievakuasi kembali ke tanah air. Namun, prosesnya masih lama.

Makan bersama mahasiswa Indonesia di tengah keterbatasan saat perang di Sudan (Dok. Rifan/Mojok.co)

Kendati masih ada proses panjang mereka bisa bernapas lega. Apalagi, malam Idulfitri tiba-tiba konflik agak mereda. Para mahasiswa ini jadi sempat mempersiapkan lebaran dengan memasak hidangan khas Indonesia.

“Kami akhirnya bisa masak opor. Rasanya itu hening sekali. Syukur sekali saat itu,” kenangnya.

Pagi, mereka bisa melaksanakan salat Idulfitri. Menikmati opor ayam di tengah perang, menurut Rif’an, jadi kenikmatan yang tak terkirakan.

Namun, kenikmatan itu tidak bertahan lama. Pukul 09.30 waktu setempat, tiba-tiba saja tembakan kembali terdengar. Bahkan dengan intensitas yang menurutnya lebih tinggi. Tak berselang lama, pesawat kembali beterbangan di udara menembakan amunisinya. Pasukan lawan yang ada di darat membalasnya lewat tembakan yang tak kalah gencar.

“Itu momen yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Mencekam,” katanya.

Tahanan kabur dari penjara

Pada 22 April, kabar evakuasi semakin pasti. Mereka mengadakan Zoom Meeting bersama KBRI Sudan untuk merencanakan ekstraksi WNI dari Khartoum.

Sehari berselang mereka berkumpul di sebuah masjid untuk penjemputan dengan sepuluh unit bus. Namun ternyata, kendaraan yang datang hanya lima. Jumlah tersebut jelas tidak mampu menampung seluruh WNI yang ada di Khartoum.

Akhirnya sebagian dari mereka terpaksa kembali ke tempat tinggal sambil menunggu rencana evakuasi selanjutnya. Saat itu, seluruh WNI sudah terpusat di tiga titik Khartoum yakni Arkawit, Makmuroh, dan Asrama Mahasiswa. 

“Malam harinya, ternyata ada kabar penjara sudah mengalami pembobolan. Semua tahanan keluar. Rasanya semakin tidak aman,” terangnya.

Beberapa waktu berselang ia menyaksikan, di tengah gelap malam, ada seseorang yang dikeroyok warga di depan tempat tinggal mereka. Rif’an menduga itu penjahat yang lolos dari tahanan. Ia hanya bisa menengok sekilas dari rumah.

Drama evakuasi berkepanjangan

Para WNI yang masih tertinggal di Khartoum akhirnya memutuskan untuk kembali memesan bus. Kendalanya, para pengelola PO Bus meminta uang muka penuh di depan. 

“Padahal kami nggak punya uang lagi,” ujar Rif’an.

Mereka mendapatkan bantuan dana, tapi uang tunai dalam bentuk dolar itu ada di Port Sudan. Sistem keuangan yang mengalami kerusakan membuat transaksi tidak semudah yang dibayangkan. Membawa dana itu ke Khartoum pun penuh risiko.

Proses evakuasi dengan bus tak mudah, mereka menempuh jarak 800 km melintasi pihak-pihak yang bertikai. (Dok. Rif’an)

Setelah berusaha bernegosiasi, akhirnya berhasil mendapatkan PO Bus yang mau mengantar. Mereka memesan tujuh bus dengan kesepakatan pembayaran melalui agen yang ada di Port Sudan.

“Tanggal 25 April kami baru berangkat keluar dari Khartoum,” terangnya.

Bus mulai bergerak pukul satu siang. Sebagai salah satu penanggung jawab perjalanan, Rif’an memegang dua surat izin. Satu untuk pihak SAF dan sisanya untuk RSF. Sebab di sepanjang perjalanan ada pengecekan oleh dua penguasa wilayah yang berbeda. Perjalanan menuju Port Sudan berjarak sekitar 800 kilometer.

Ternyata halangan belum berakhir. Di jalan, entah karena sopir mengantuk atau kendala lain, salah satu bus tergelincir ke luar jalur. Peristiwa itu menyebabkan tiga orang mengalami cedera yang cukup parah.

Akhirnya kloter terakhir evakuasi WNI itu harus tertahan di tengah jalanan gersang selama sekitar dua jam. Mereka menghubungi ambulans agar korban cedera bisa mendapat perawatan sementara sebelum ke rumah sakit di Port Sudan. 

Setelah ambulans datang, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Dua ambulans mengawal enam bus yang tersisa.

“Saat itu kami seperti mengevakuasi orang yang sedang dievakuasi,” kenang Rif’an pada situasi berat itu.

Setibanya di Port Sudan, beban lengser dari pundak mereka. Kota di tepi Laut Merah ini memang terhindar dari konflik. 

“Kami bertahan di sana dua hari. Kami terbang ke Jedah menggunakan pesawat TNI AU,” ujarnya. Selanjutnya dari Jedah mereka  terbang dengan pesawat Garuda Indonesia menuju Jakarta pada Selasa (2/5). Sesampainya di tanah air, Rif’an bermalam di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.

Mengenang masa studi di Sudan yang menyenangkan

Rif’an pernah menimba ilmu di sebuah pondok pesantren di Jogja. Ia memang punya cita-cita melanjutkan studi di Timur Tengah. Selepas lulus jenjang SMA di ponpes pada 2015, ia melanjutkan pembelajaran Bahasa Arab di STIBA Ar-Raayah, Sukabumi.

Sampai akhirnya, pada 2017, ia mendapatkan beasiswa studi di Sudan. Ia melanjutkan studi di Sudan sejak November tahun itu.

Rif’an saat sedang liburan di Sungai Nil. (Dok. Ri’fan/Mojok.co)

Ia mengaku, Sudan memang bukan pilihan pertama bagi banyak calon mahasiswa Indonesia. Pamornya kalah ketimbang Mesir maupun Arab Saudi.

Namun, Sudan memang menyandang predikat sebagai negara dengan studi Bahasa Arab dan Al-quran unggulan. Selain itu, di STIBA Ar-Raayah, ia juga sempat belajar dari sejumlah syeikh asal negeri tepi Sungai Nil tersebut.

“Pernah komunikasi dengan syeikh dari Sudan. AKhirnya tahu sisi menarik negara ini. Secara keilmuan bagus,” ungkapnya.

Ia memahami bahwa Sudan punya sejarah konflik. Infrastruktur negara itu pun masih belum memadahi dalam beragam aspek.

“Aku juga suka tantangan. Mesir terlalu mainstream sudah banyak orang Indonesia di sana,” ucapnya terbahak.

“Sebelum 2019 ya Sudan itu relatif kondusif,” imbuhnya.

Ia tiba di sana saat sedang musim dingin. Cuaca yang membuat badan menggigil tapi dengan kelembapan yang rendah. Kondisi yang membuat banyak mahasiswa asal Indonesia mengalami kulit kering.

Saat musim panas pun, cuacanya tak kalah menantang. Suhu bisa mencapai 40 derajat celcius. 

“Rasanya kaya dekat sama api unggun, hembusan anginnya itu panas,” katanya.

Hal yang ia suka dari negara ini adalah biaya hidup yang murah. Ia menaksir, untuk kebutuhaan selama sebulan, hanya perlu uang Rp1,5 juta. Itu sudah termasuk biaya tempat tinggal. Jika tinggal di asrama, bisa lebih berhemat.

“Itu sudah termasuk biaya internet dan segala macam. Di sana itu lebih murah bensin daripada air. Harganya cuma 1,5 pound, di bawah lima ribu kalau dirupiahkan,” jelasnya.

Salat tepat waktu dan kebiasaan memelihara anjing

Sebelumnya, Reporter Mojok juga pernah berbincang dengan Sidiq Beni (24), mahasiswa Indonesia lain yang studi di Sudan. Ia mengaku terkesan dengan biaya hidup di sana yang begitu terjangkau. 

Kenangan indah mahasiswa Indonesia di Sudan. (Dok.Rif’an)

Mahasiswa International University of Sudan itu mengaku sering membeli bubur khas Sudan, harganya di bawah Rp5 ribu, namun mengenyangkan.  Meski begitu, situasi sudah berubahan sejak krisis politik 2019 yang mengakibatkan lonjakan harga beberapa kali lipat.

Kedua mahasiswa ini juga terkesan dengan budaya salat tepat waktu masyarakat sana. Jika azan berkumandang, mereka langsung beribadah. Bahkan, sopir bus akan berhenti untuk salat di tepi jalan. Begitu pula para pedagang, beribadah di samping barang dagangannya.

Namun, ada budaya hal membuat keduanya kaget. Sidiq misalnya, mengaku kaget di sana ada begitu banyak anjing di jalanan. Sebagai penganut mazhab Maliki, anjing jadi peliharaan layaknya kucing di Indonesia.

“Orang Sudan itu juga suka memberi sesuatu di jalan. Kalau kita tolak, mereka kurang berkenan. Jadi harus kami terima,” ujar Sidiq pada suatu kesempatan wawancara.

Mojok sempat mencoba menghubungi Sidiq kembali saat konflik memanas April lalu. Ia belum membalas pesan sampai tulisan ini tayang. Namun, Rif’an mengonfirmasi bahwa mahasiswa asal Banjarnegara itu telah tiba di Indonesia.

Selain itu, keunikan lain adalah kebiasaan masyarakat Sudan untuk bertegur sapa. Mereka akan menanyakan kabar keluarga hingga sedang memikirkan gerangan apa. Untuk hal ini, Rif’an yang awalnya kaget, cepat terbiasa.

“Mereka itu kalau menyapa orang asing menanyakan banyak hal,” katanya tertawa.

Bagi Rif’an, momen lima tahun di Sudan, hidup dari aliran Sungai Nil merupakan kenangan yang tak terlupa. Ia belum mendapat kepastian kelanjutan studinya.

“Belum ada kepastian kuliah lagi. Ada banyak pendapat kalau perang ini bakalan lama,” pungkasnya.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Suara Hati Warung Kecil di Rest Area Tol yang Sempat Ditutup karena Harga Tak Wajar dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.

Exit mobile version