Prof Koesnadi Hardjasoemantri adalah sosok Rektor UGM yang menjabat saat Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo masih jadi mahasiswa. Rektor ini jadi sosok legendaris karena kepemimpinannya yang dekat dengan mahasiswa sekaligus perintis program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Kedua capres ini pernah berada di bawah kepemimpinan rektor yang sama saat berada di UGM. Ganjar, masuk ke Fakultas Hukum pada 1987 sementara Anies ke Fakultas Ekonomi pada 1989. Sedangkan sosok Prof Koesnadi menjabat sebagai Rektor UGM pada medio 1986-1990.
Anies & Ganjar menjadi mahasiswa UGM di periode rektor yang sama: Pak Koesnadi.
Pak Koes melarang UGM berpagar, tdk menggusur PKL, dan plg penting tdk melarang mahasiswa “berpolitik” di tengah nuansa NKK/BKK.
Almarhum Pak Koes scr tak langsung memberi warna di debat kali ini.
— ardiwilda (@ardiwilda) February 4, 2024
Tokoh kelahiran 9 Desember 1926 itu banyak dikenal khalayak sebagai guru besar Ilmu Hukum sekaligus salah satu pemrakarsa cikal bakal kegiatan KKN yang kini jadi program wajib di hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Namun, ternyata di mata mahasiswa UGM era 80-an, ia adalah sosok yang teramat dekat, tak berjarak meski duduk di kursi hangat rektorat.
Arif Nurcahyo (58), alumnus Fakultas Psikologi UGM angkatan 1983 mengenang sosok Koesnadi sebagai rektor yang dekat dengan mahasiswa. Bukan hanya dekat secara fisik, tapi secara emosional.
“Hebatnya, siapa saja merasa dekat dan disentuh oleh beliau. Terutama anak-anak gelanggang UGM,” kata lelaki yang sekarang jadi Komandan Satpam UGM ini pada Senin (05/02/2024).
Namun, alih-alih meneruskan penjelasannya kepada Mojok, Arif menyarankan untuk bertanya pada seorang lelaki bernama Marjana Hari Santosa (61). “Dia kalau cerita soal Pak Koes nggak ada habisnya. Ngapusi Pak Koes berkali-kali,” kelakar sosok yang akrab disapa Yoyok ini.
Singkat cerita, Mojok akhirnya tersambung dengan Marjana. Lelaki yang dulu kuliah di Fakultas Hukum UGM angkatan 1985. Kakak tingkat Ganjar Pranowo.
Saat Prof Koesnadi Hardjosoemantri wafat di usia 80 tahun pada sebuah insiden pesawat di Bandara Adisutjipto 2007 silam, Marjana mengaku menangis di rumah duka. Ia merasa banyak melakukan “dosa” selama aktif jadi mahasiswa UGM.
“Aku itu sudah kepikiran mau ketemu beliau, minta maaf tapi nggak kesampaian sampai akhirnya melihat di rumah duka,” kenangnya.
Rektor UGM yang tak berjarak dengan mahasiswa
Marjana yang aktif di Gelanggang UGM, sebuah tempat berkumpulnya berbagai organisasi, jadi saksi kedekatan dan keberpihakan Prof Koesnadi kepada mahasiswa. Baik dari kalangan mahasiswa gemar diskusi, aksi, hingga yang tidak suka ikut dua aliran tersebut.
“Era itu di antara mahasiswa itu ada friksi. Ada yang lebih suka diskusi dan ada yang mengedepankan aksi. Keduanya saling merasa benar sendiri,” kelakarnya.
Saat Marjana dan sejumlah rekannya menggagas sebuah gerakan bertajuk Forum Cemara Tujuh, Koesnadi berinisiatif memberi bantuan moral dan materiil. Padahal forum itu kerap menggelar agenda mengundang beberapa tokoh yang dianggap berseberangan dengan orde baru.
“Pak Koes ikut nyumbang padahal itu bukan unit resmi di bawah naungan UGM. Ibaratnya ini unit liar,” kenangnya.
Baginya, Koesnadi adalah sosok pemimpin yang radikal dalam urusan keberpihakan terhadap mahasiswa. “Dia berani ambil keputusan yang kadang berseberangan dengan para birokrat kampus,” katanya.
“Sangat berpihak kepada mahasiswa sehingga saat itu gerakan-gerakan mahasiswa di dalam kampus bisa berjalan. Aku ingat petuah beliau bahwa dalam hidup ini yang terpenting adalah teman,” kenang lelaki ini.
Koesnadi, bagi Marjana, adalah Rektor UGM yang tak pernah perhitungan soal mendukung kegiatan mahasiswa. Mau ada kegiatan apa pun asal positif maka akan mengusahakan pendanaan.
“Beliau cuma pesan agar jangan arogan. Aku pernah kena marah karena bikin acara dengan arogansi, pasang baliho besar-besar,” kelakarnya.
Sosok Rektor UGM satu ini membuatnya menyesal pernah melakukan banyak “kenakalan” di kampus. Tangis tak tertahankan saat Marjana melihat sosok Koesnadi untuk terakhir kalinya sebelum dikebumikan.
Baca halaman selanjutnya…
Kesan mendalam Anies Baswedan kepada sosok Prof Koesnadi
Bagaimana Anies mengenang sosok pencetus kegiatan KKN ini
Saat Prof Koesnadi tutup usia, Anies Baswedan membuat obituari panjang di Majalah Tempo. Anies mengenang sosok rektor UGM tersebut sebagai aktivis, pendidik, peneliti, perwira pejuang revoluasi, pakar hukum, pecinta lingkungan hidup, penari, dan seniman. Kelengkapan atribusi ini jadi salah satu modalnya dekat dengan mahasiswa.
Anies mengenang bagaimana Prof Koesnadi memimpin kegiatan Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) pada awal 1950-an. Pada 1951, Rektor UGM yang saat itu menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UGM mengajar di sekolah lanjutan di Kupang, NTT.
“Pak Koes mengurusi proyek PTM ini selama enam tahun, hingga berhasil mengirim 1.400 mahasiswa mengajar di 161 SMA di seluruh Indonesia,” tulis Anies dalam obituarinya.
Selai PTM yang kemudian menjadi cikal bakal KKN, seperti Marjana, Anies juga mengenang sosok Koesnadi sebagai Rektor UGM yang memberikan dukungan penuh bagi gerakan mahasiswa. Menurutnya, Koesnadi adalah sosok yang justru bersahabat dengan idealisme mahasiswa di saat tekanan Orde Baru terhadap pergerakan mereka begitu kuat.
Atas jasa besarnya terhadap UGM, nama Koesnadi sempat diabadikan menjadi salah satu gedung yakni Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Meski gedung itu sudah dirobohkan untuk membangun Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM, nama Prof Koesnadi Hardjosoemantri terus terkenang. Terutama di ingatan para mahasiswa UGM pada eranya menjadi rektor.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News