Preman pensiun, layak disematkan pada sosoknya. Semula hidup dari jatah uang keamanan, di Semarang, Jawa Tengah kini banting tulang mengelola panti asuhan untuk puluhan anak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
***
Di hadapan saya duduk seorang lelaki berambut gondrong dengan tato bermotif rantai yang melingkar di lehernya. Sangar. Tato juga menghiasi dua lengannya. Bedanya, motif tato di kedua lengan ini sudah mulai samar sebab pernah ia coba untuk hilangkan.
“Sempat saya hapus. Tapi belum hilang sepenuhnya,” katanya tenang sambil duduk bersila. Ia lalu mengebulkan asap rokok Dji Sam Soe.
Menggunakan kaos oblong berwarna kuning dengan sarung, Prianggono, akrab disapa Mas Pri, kini menikmati keseharian di rumahnya yang terletak di Dusun Prigen, Widodomartani, Ngemplak, Sleman. Rumah sekaligus tempat ia merawat puluhan anak titipan. Sejak 2013, preman pensiun ini mendirikan Panti Asuhan bernama Darul Qolbi.
Awalnya hidup dari meminta jatah uang keamanan
Jalan yang ia tempuh itu memang jauh dari lingkaran kehidupan yang Mas Pri lakoni sebelumnya. Di Semarang, tempat ia lahir dan tumbuh dewasa, ia akrab dengan kehidupan jalanan. Penuh kekerasan, mabuk-mabukan, hingga obat-obatan terlarang.
Saat masih duduk di bangku SMP, Mas Pri mengaku sudah terbiasa dengan minum minuman beralkohol bareng teman-temannya. Congyang, minuman beralkohol legendaris dari Semarang, jadi salah satu kesukaannya.
Menginjak usia bangku SMA, Pri sudah menghiasi tubuhnya dengan tato. Aktivitasnya bersama rekan-rekan, juga mulai bertambah. Ia mulai menasbihkan diri jadi preman di kawasannya tinggal.
Hidup dari meminta uang jatah keamanan beberapa pertokoan. “Keras, pokoknya ya gelut itu sudah makanan sehari-hari,” terang lelaki kelahiran 1977 ini.
Suatu ketika ia merintis usaha, membuka toko konter pulsa. Tempat dagangan itu pun, ketika gelap menjelang, menjadi tempat mabuk-mabukan para rekan. Tidak hanya barang jualan yang tersedia di sana, kios itu seakan menjadi tempat penitipan barang-barang curian teman-teman Mas Pri.
“Zaman segitu, laptop yang masih langka itu kan barang lumayan. HP juga ada. Itu teman-teman saya kalau habis nggasak barang, menitipkannya di kios saya,” ujarnya.
Kehidupan itu, terus ia jalani sampai 2003 ketika ia bertemu perempuan yang kelak menjadi istrinya. Perempuan asal Sleman bernama Hesti itu tersenyum saat Mas Pri menceritakan kisah pertemuan mereka berdua. Hesti, sedang menyiapkan puluhan bungkus nasi sedekah yang akan diletakkan di masjid terdekat saat salat Jumat siang nanti.
Saat hubungan keduanya mulai merekat, Mas Pri mulai memikirkan masa depan. “Saya mulai berpikiran, apakah istri saya akan saya bawa ke kehidupan yang saya jalani saat itu?”, ujarnya.
Kendati kesadaran mulai datang, Mas Pri tidak bisa langsung meninggalkan dunia hitam. Bahkan saat keduanya akhirnya menikah pada 2004. Istrinya saat itu pun, memahami bahwa sang suami tidak bisa secepat itu meninggalkan kehidupannya sebagai preman.
Jadi preman pensiun setelah hidup yang melelahkan
Mas Pri akhirnya bisa mendapat profesi baru, tapi masih tak jauh dari masa lalunya. Ia mulai bekerja sebagai debt collector (DC) untuk sebuah bank. Pekerjaan itu menurutnya, tak bisa lepas dari kekerasan.
“Ya orang hutang itu macam-macam. Ada yang cukup diperlakukan halus tapi ada juga yang perlu agak sedikit keras,” kenangnya.
Menurutnya pekerjaan itu cukup bisa mendatangkan banyak pundi-pundi uang baginya. Namun, uang yang datang sepadan dengan biaya melepas penat yang harus ia keluarkan. Menagih utang baginya adalah pekerjaan yang melelahkan.
“Saya karaoke seminggu paling nggak tiga kali. Saking stresnya,” ujarnya.
Karaoke dan mabuk-mabukan adalah caranya melepas penat kerja. Mas Pri mengaku selalu pamit kepada sang istri saat hendak pergi karaoke bersama rekan kerjanya tengah malam. Sang istri pun ternyata memberinya izin.
Tapi akhirnya siklus hidup itu membuatnya lelah. Saat kejenuhan semakin memuncak, Mas Pri mulai terpikir untuk memulai hidup baru. Jauh dari lingkaran lama yang membuatnya jauh mengubah kehidupan.
“Hampir semua teman saya itu dunianya seperti itu. Banyak yang dipenjara bahkan saudara-saudara sendiri. Tetangga ada juga yang di Nusakambangan. Kalau tetap di Semarang, saya tidak bisa berubah,” paparnya.
Akhirnya, pada 2012 ia memutuskan benar-benar jadi preman pensiun dengan hijrah ke tanah kelahiran sang istri. Ia mantap mengubah dirinya. Jimat-jimat yang ia simpan, jimat yang menurutnya digunakan untuk melindungi saat berkelahi, ia bakar.
“Itu sebagai bentuk komitmen. Mengalahkan setan,” ujarnya tertawa.
Preman pensiun yang jualan soto di Jogja
Saat kami berbincang, beberapa anak-anak hilir mudik. Beberapa anak asuh yang masih duduk di bangku TK dan SD, baru pulang sekolah. Mereka yang baru datang akan menyalami dan mencium tangan Mas Pri. Saat ini, ada 30 anak yang tinggal di panti asuhan yang ia kelola.
Keinginan untuk mengelola panti asuhan ini datang saat masa awal Mas Pri datang ke Jogja. Begitu sampai, meski mertuanya tinggal di Sleman, tak jauh dari lokasi panti asuhan, Mas Pri dan Mba Hesti memilih tinggal di sebuah kos. Mereka membuka usaha soto di daerah Deresan, Catur Tunggal, Sleman.
Di kos itu, ia mulai punya mimpi untuk mendirikan sebuah panti asuhan. Ia ingin bisa merawat banyak anak yang kurang mampu. Menjaga asa dan harapan mereka. Juga sebagai langkah penebusan dosanya di masa lalu.
“Di kos itu, saya gambar rumah bayangan, rumah yang bisa jadi panti asuhan. Bersama istri, kalau malam saya suka bicarakan mimpi itu,” ujarnya. Matanya lalu menatap sang istri yang sedari tadi masih sibuk membungkus nasi.
Keinginan itu juga ia sampaikan ke beberapa teman dekatnya. Beberapa teman yang mulai ia kenal di Jogja. Waktu berjalan, ujarannya itu tersebar getok tular ke beberapa relasi rekannya. Sampai suatu ketika, tiba-tiba ada orang yang menghubungi dan hendak menitipkan anak.
Padahal saat itu, ia masih belum punya rumah sendiri. Akhirnya, ia putuskan untuk menetap di rumah mertua. Membawa anak yang dititipkan padanya. Awalnya satu, menjadi dua, hingga total delapan anak yang ia asuh di rumah mertuanya.
“Dulu itu anak-anak tidur di ruang tamu. Kalau pagi, kasurnya dibereskan. Begitu sampai saya mulai beli tanah,” katanya.
“Bahkan belum selesai bangun rumah, sudah ada yang datang mau beri sumbangan. Dia tanya di mana pantinya? Saya jawab baru ada pondasinya,” sambungnya terbahak.
Teman dan congyang yang datang menggoda
Setelah mulai mengasuh anak, suatu ketika teman-teman lamanya di Semarang memberi kabar hendak berkunjung ke Jogja. Mereka berencana silaturahmi sekaligus menawari Mas Pri untuk bekerja sebagai DC kembali.
Mereka datang berombongan menggunakan mobil. Sesampainya di kediaman Mas Pri, teman-teman itu kaget.
“Oalah, jebul koe tenanan ngurusi panti asuhan saiki,” ujar Pri, menirukan keheranan teman lamanya.
Teman-teman yang sudah membawa satu krat congyang di mobil, lantas membatalkan agenda mabuk-mabukan. Mereka sungkan, tak mengira bahwa Mas Pri betul-betul sudah menjadi preman pensiun yang berubah 180 derajat dari yang mereka kenal sebelumnya.
Waktu berjalan, setelah modal terkumpul, bangunan tempat panti asuhan ini pun berdiri. Anak-anak yang diasuh juga bertambah. Delapan menjadi belasan, hingga akhirnya sekarang ada tiga puluh anak beragam usia dalam asuhan Mas Pri dan istrinya.
Beratnya mengasuh anak
Saat awal mengasuh, Mas Pri merasakan keterikatan yang mendalam dengan anak. Suatu ketika ada seorang ibu muda yang menitipkan anak bayinya ke panti. Dengan senang hati, Mas Pri menerima anak tersebut.
“Ibunya saat itu sedang stres. Suaminya pergi meninggalkan saat dia masih hamil,” kenang bapak satu anak ini.
Setiap malam, selama sepekan, Mas Pri menimang bayi itu dengan penuh sayang. Sang bayi kerap menangis, tapi ketika berada di gendongan, ia akan tenang.
“Rasanya, senang dan sayang sekali,” terangnya.
Tapi, tepat seminggu bayi itu di rumah, ibunya kembali datang. Sang ibu hendak mengambil kembali bayi bernama Fitri itu, meski kondisi mental sang ibu belum benar-benar pulih.
“Saat itu rasanya benar-benar kehilangan. Ada rasa khawatir dengan sang anak. Tapi bagaimana pun anak itu bersama ibunya sendiri,” terangnya.
Momen itu membuatnya sadar, semua anak yang ia asuh merupakan titipan. Suatu saat orang tua atau saudara mereka akan kembali datang. Jika tidak pun, ketika anak beranjak dewasa, mereka akan menempuh hidupnya sendiri.
Di tengah perbincangan, seorang anak menggunakan seragam SD datang. Anak bernama Safa yang sudah setahun di tinggal di panti itu menyalami Mas Pri dan mencium tangannya.
“Dia sejak masuk ke sini belum pernah ditelfon sama keluarganya. Ibunya sudah meninggal,” ujar Mas Pri setelah sang anak beranjak pergi.
Separuh anak di panti ini berada di usia remaja, duduk di bangku SMA. Semuanya bersekolah yang sama. Selain itu, untuk anak-anak jenjang SMP bersekolah di dua tempat dan jenjang SD di tiga tempat. Setiap pagi, Mas Pri mengantar mereka menggunakan mobil ambulans yang sudah dimodifikasi tempat duduknya.
Tempat tinggal anak perempuan dan laki-laki di sini juga terpisah. Anak perempuan tinggal di kompleks bangunan yang menyatu dengan rumah Mas Pri. Sedangkan laki-laki, berada di sebuah pondok yang letaknya beberapa ratus meter dari rumah tersebut.
Membangun peternakan dan budidaya bonsai
Bagi Mas Pri, mengasuh anak-anak ini bukan hal mudah. Pernah ia mencoba menyambi dengan bekerja di luar. Tapi, ada saja hal yang membuatnya terpikirkan anak-anak di rumah di tengah kesibukan. Sehingga ia memilih lebih sering di rumah.
“Ya punya anak dua saja sudah banyak pikiran. Apalagi mengasuh tiga puluh,” ujarnya.
Untuk itu, sejak awal ia mencoba mengelola usaha di rumah yang bisa melibatkan para santri juga. Beberapa tahun sejak bangunan khusus panti berdiri, Mas Pri mulai memelihara kambing dan domba. Kandangnya ada di belakang rumah.
Saat ini, usaha yang ia beri nama Miracle Farm ini sudah punya lebih dari 100 ekor domba dengan beragam jenis. Ketika sedang tidak berkegiatan sekolah, anak-anak juga kerap terlibat untuk merawat ternak. Buat Pri, ini bisa jadi latihan mereka untuk hidup mandiri kelak.
Pri mengajak saya berkeliling melihat kandang ternaknya. Aura bahagia terpancar dari wajahnya saat melihat domba-domba bunting di salah satu area kandang. Setiap Idul Adha, hasil penjualan ternak ini bisa ia gunakan untuk membayar biaya-biaya sekolah anak-anak.
Setelah itu, ia juga menunjukkan tempat ia sedang membudidayakan bonsai, usaha baru yang sedang dirintisnya. Budidaya bonsai itu belum genap setahun. Tapi ia optimis ini bisa jadi jalan untuk menambah pemasukan untuk menutup operasional panti asuhan.
Sudah sepuluh tahun ia mengelola panti asuhan. Sejauh ini, ia mengaku belum pernah mengirim proposal untuk pengumpulan dana. Untuk memenuhi kebutuhan, selain lewat usaha-usaha yang ia jalankan, terkadang ada bantuan yang datang tanpa ia minta.
Ia punya prinsip bahwa dirinya tak punya kontribusi apa-apa bagi kehidupan anak-anak di sini. Ia hanyalah perantara dari rezeki yang sudah Tuhan gariskan.
“Apa yang kita hasilkan ini sejatinya semua dari Gusti Allah,” pungkas preman pensiun dari Semarang yang menghidupi puluhan anak panti asuhan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Di Balik Pengelolaan Sampah Desa Terbaik di Jogja, Kisah Begal Tobat hingga Sampah Jadi Emas dan kisah menarik lainnya di kanal Liputan.