Perjuangan Nenek Pedagang Pecel di Jalan Malioboro Hidupi 4 Anak dan Suami yang Stroke di Tengah Ancaman Aparat

ilustrasi penjual pecel (Ega/Mojok.co)

Seorang perempuan paruh baya berjuang dengan berdagang pecel keliling di Jalan Malioboro Jogja. Badannya yang sudah agak renta tak jadi penghalang demi hidupi empat anak dan suami dengan kondisi stroke yang menggantungkan hidup padanya.

***

Setiap hari, Titin harus bangun subuh untuk mulai menyiapkan pekerjaannya. Pagi buta ia mesti melenggang ke pasar untuk membeli bahan dagangan. Selepasnya, ia memasak. Memasak untuk dagangan juga untuk makan keluarganya hari itu.

Sekitar pukul 11, ia berangkat ke Jalan Malioboro Jogja dengan becak seharga 25 ribu. “Kalau pulangnya sih saya jalan kaki, kalo berangkat pake becak. Soalnya kalau berangkat kan bawaanya berat to, Mbak,” ucapnya.

Memang,  bahan dagangan Titin cukup banyak. Ia mesti membawa dua bakul besar berisi makanan. Satu berisi sayur, toge, sambel, sebagai bahan pecel. Satu lagi berisi aneka mie. Selain dua bakul itu, ia membawa satu keranjang berisi puluhan bungkusan lontong, kresek, juga kertas minyak wadahnya mengemas pecel untuk pembeli.

penjual pecel di jalan malioboro jogja.MOJOK.CO
Sosok penjual pecel di Jalan Malioboro Jogja (Alya/Mojok.co)

Titin berjualan dari pukul 11.00 hingga pukul 18.00. Itu pun, bila dagangannya belum habis, ia mesti berkeliling Jalan Malioboro untuk menjajakan dagangannya.

Ia punya tekad, pantang pulang apabila pecel belum habis. Di hari-hari di mana dagangan sepi, ia terpaksa pulang hingga larut malam.

Ia pulang jalan kaki menuju rumahnya yang berada di sekitar wilayah Wirobrajan Jogja, berjarak kurang lebih 3 km dari Jalan Malioboro. Namun, pulang juga tak berarti langsung istirahat. Ia mesti menggoreng kacang–bahan sambal– yang akan ia masak esok paginya sebelum bekerja. Dan melakukan persiapan-persiapan lain.

Setiap hari ia baru bisa tidur sekitar pukul 11 hingga 12 malam, dan mesti bangun subuh. Semua ini jadi siklus yang mau tak mau ia lakoni setiap hari. Ia mengaku tak punya waktu istirahat yang cukup, makan pun sesempatnya dan seingatnya.

Bekerja lesehan menjual pecel di Jalan Malioboro demi menghidupi empat anak dan satu suami yang stroke

Titin bekerja sekeras itu sebab ia adalah tulang punggung keluarga. Ia memiliki 9 orang anak. 5 di antaranya telah menikah. Titin memiliki 10 cucu dari 5 anaknya itu. Kini ia masih harus bertanggung jawab menghidupi 4 anak, juga suaminya yang sakit.

Suaminya, terkena stroke sekitar empat tahun lalu. Sebelumnya, suami Titin itu bekerja sebagai tukang becak di daerah Alun-alun Utara Jogja, sewaktu masih banyak bus yang berhenti di sana.

Semenjak sakit, suaminya sudah tidak berpenghasilan. “Suami saya nggak sembuh-sembuh tapi semakin parah. Jalannya juga semakin sulit,” terang Titin.

“Masih empat aku mbak, yang ‘mak uang mak uang’ (meminta uang) itu masih empat,” ceritanya.

Di antara empat itu, satu yang masih mengenyam bangku pendidikan. Tiga sisanya sudah bekerja, namun tetap belum mandiri secara finansial. Mereka masih bergantung pada uang Titin.

Sebagian besar pendidikan anak-anaknya tercukupi dengan sumbangsih penjualan pecel. Keluarga titin juga mengandalkan bantuan dari pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan lain sebagainya.

Mengharap bantuan dari anaknya yang telah berkeluarga adalah mustahil bagi Titin. Ia tak ingin jadi beban bagi para anak. Mereka juga belum terlalu berkecukupan. Lagi pula, menikah bukan berarti terentas dari kemiskinan begitu saja, namun kembali berjuang untuk bertahan di lembar keluarga yang baru.

Anak Titin yang sudah berkeluarga itu hanya memberi sangu kepada adik-adiknya terhitung satu tahun sekali, ketika IdulFitri. Itu pun dengan nominal seadanya.

Pernah berjualan di Pasar Beringharjo selama 10 tahun, lalu berpindah ke Jalan Malioboro karena malu bolak-balik diringkus aparat

Titin berjualan sudah selama 17 tahun. Sebelum berpindah ke Jalan Malioboro, ia berjualan di Pasar Beringharjo. Waktu itu ia masih hanya menjual mi, tanpa pecel juga lontong seperti saat ini.

Selama sepuluh tahun, ia mengelilingi sudut pasar sambil menggendong bakul berisi makanan dagangannya. Menawarkan jualannya kepada pembeli maupun penjual di pasar. Ketika Pasar Beringharjo sedang tak ramah padanya sehingga dagangannya sepi, ia melipir hingga daerah Stasiun Jogja.

Ketika saya tanyai, mengapa memutuskan pindah dari Pasar Beringharjo, ia menjawab, “Satpam di dalam sekarang jahat, galak, ini (dagangan) saya pernah dibawa.”

Selama berjualan di Pasar Beringharjo, ia kerap berhadapan dengan satpam sebab ia dianggap mengganggu ketertiban. Bolak-balik masuk kantor satpam, membuatnya merasa malu hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpindah ke Jalan Malioboro.

Setelah berpindah dan bertahan tujuh tahun di Jalan Malioboro, nyatanya Titin menghadapi tantangan serupa. Ia kerap kali “diamankan” oleh aparat dengan bermacam rupa cara.

Ketika melihat ada petugas keamanan sedang patroli, ia mesti dengan sigap membereskan seluruh dagangannya. Kemudian, ia berlari bersembunyi dengan menggendong dagangan yang tak sedikit itu. Ketika ia merasa kondisi sudah kembali aman (aman berarti tidak ada petugas keamanan), ia kembali menata dagangannya dan melanjutkan aktivitas dagangnya.

Aksi uber-uberan ini, hampir setiap hari mesti Titin hadapi. Ini bikin berdagang sama sekali nggak tenang. Pasalnya, ia selalu was-was atas “teror” yang bentuknya tak hanya sekadar kejar-kejaran, tetapi juga perampasan hingga cek-cok besar yang bikin Titin merasa tak nyaman.

Titin mengaku tak masalah bila diminta pergi, ditegur secara baik-baik. Tapi yang jadi perkara adalah ketika bahan dan alat dagangnya diambil paksa aparat. Tidak sekali dua kali itu terjadi, “Saya bawa dulu, nanti ambil di kantor harus pakai materai,” ucapnya menirukan aparat.

“Kalo dibicarakan baik-baik gitu saya nggak apa-apa, tapi kalo sudah diangkat, waduh, pusing banget mbak. Jadi mesti beli lagi, jadi keluar uang lagi to, pusing,” keluh Titin.

Berulangkali “ditertibkan” hingga terlibat cekcok dengan aparat galak, sempat diancam masuk penjara

Ia mengulang-ulang ceritanya pasal aparat ini terhadap saya. Tampak itu jadi keresahan terbesarnya selama melakoni kerja.

Selama di Jalan Malioboro, sudah dua kali barangnya dirampas aparat. Ketika perampasan pertama terjadi, ia ke kantor untuk mengambil barangnya itu.

Setiba di kantor, tak disangka ia terlibat percekcokan. Aparat memberi peringatan panjang dengan nada membentak-bentak. Mereka kepalang jengkel melihat Titin yang ngeyel berjualan. “Sekali lagi aku lihat kamu jualan, tak kunjara (penjara) ya kamu!,” ucap Titin menirukan aparat.

Mendapat ancaman serupa, ia hanya bisa menjawab, “Lha saya nggak mencuri kok dimasukkan penjara. Anak saya yang ngasih makan nanti siapa kalo saya masuk penjara.” Anak-anak adalah yang selalu jadi perhatian Titin.

“Nggak peduli saya, bukan urusan saya, kamu ngeyel sih,” tiru Titin kepada aparat yang acuh terhadapnya.

Beberapa waktu selepas itu, ia kembali tertangkap aparat. Keranjang alatnya berjualan dibawa ke kantor.

Karena malas dengan keributan kemarin, ia memilih tidak mengambil keranjangnya. “Malas saya mbak kalau dengar ‘tak kunjara kamu ya, tak kunjara kamu ya’. Saya nggak mau dimarah-marahin lagi,” ceritanya.

Sampai harus beli kerangjang baru

Akibatnya, ia mesti merogoh kocek untuk membeli keranjang baru. Pengeluaran yang sia-sia mesti ia relakan karena aparat. “Ini hasil saya beli baru, Mbak,” ucapnya sembari memperlihatkan kepada saya keranjang warna biru yang kala itu dibawanya.

Sebenarnya, yang jadi pemicu masalah Titin dengan keamanan selama di Pasar Beringharjo maupun Jalan Malioboro itu sama, yakni karena Titin dianggap penjual liar yang tak memiliki kios.

Sedangkan, kios-kios di Pasar Beringharjo pun Jalan Malioboro yang notabene adalah pusat kota, pasti mematok biaya jual atau sewa  yang mahal. Dengan pemasukan seadanya dan latar belakang keluarganya, kios bagi Titin adalah sesuatu yang mahal dan tak terbeli.

Penulis: Alya Putri

Editor: Hammam Izzuddin

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA Tak Gentar Dikejar Petugas di Malioboro, Sepasang Pengasong Air Mineral Berjuang Demi Biayai Anak Kuliah di UNY

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version