Alumnus Universitas Airlangga (Unair), Alfian Andhika Yudhistira, sudah kenyang dengan nyinyiran masyarakat yang menganggap difabel harus dikasihani. Sebagai difabel tunanetra, dia ingin membuktikan bahwa seorang difabel juga mampu bekerja. Oleh karena itu, dia berusaha kuliah sampai mendapatkan gelar S2. Kini, Alfian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) difabel di Kementerian Desa (Kemendes) yang berkantor pusat di Jakarta.
***
Butuh waktu lama bagi Alfian untuk menerima kondisi fisiknya sebagai penyandang disabilitas. Alfian yang mengalami buta sejak kecil harus berdamai dengan omongan masyarakat yang selalu meremehkannya.
Ingatan Alfian di masa lalu masih mengendap, saat lingkungan sekitarnya tidak mau mengakui keberadan dirinya. Misalnya, ketika salah seorang saudara mengajak Alfian pergi keluar, baik ke rumah atau sekadar bermain, orang akan berujar: Mau ngapain kamu ajak dia? Malu-maluin!
“Mungkin aku lupa sedikit kejadiannya, tapi yang namanya anak kecil akan selalu mengingat itu. Untung, jatuhnya positif,” ujar Alfian saat mengingat kenangan menyakitkannnya di masa kecil, Sabtu (16/12/2024).
Oleh karena itu, saat remaja Alfian ingin sekolah tinggi untuk membuktikan bahwa seorang difabel tidak bisa diremehkan. Hingga akhirnya dia bisa diangkat menjadi PNS difabel dan kerja di Jakarta, bahkan lulus wisuda dan mendapat gelar S2 di Unair.
Difabel sering diremehkan untuk bekerja, apalagi menjadi PNS
Bisa dibilang, Alfian sudah haus akan ilmu sejak kecil. Dia berambisi menempuh pendidikan tinggi untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa seorang tunanetra tidak perlu dikasihani, tapi harus diperlakukan selayaknya manusia biasa.
“Mama aku selalu bilang, ‘kamu itu nggak bisa lihat, tapi kamu harus buktikan ke orang bahwa kamu tetap bisa jadi orang, bisa ngapa-ngapain’. Jadi orang tuaku dari dulu tidak pernah membedakan aku dengan saudara-saudaraku yang lain,” kata Alfian.
Dia tak memungkiri bahwa masih ada stigma di masyarakat soal difabel yang tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan, mereka seringkali menjadi objek untuk dikasihani. Walaupun ada juga difabel yang biasa saja menghadapi stigma seperti itu, agar mereka mendapat bantuan.
Tak jarang, kata Alfian memisalkan, media menayangkan disabilitas sedang menjual kerupuk tapi dagangannya tidak laku. Lalu, masyarakat yang merasa iba memberikan donasi. Ada juga tunanetra yang bisa mengaji kemudian ditangisi oleh pendonasi.
“Itu ngapain? Yang ditampilin dimana-mana kan gitu. Jadi itu yang mungkin membuat masyarakat akhirnya ‘oh ya disabilitas nggak bisa apa-apa’,” ujar PNS difabel tersebut.
Namun, Alfian menolak persepsi tersebut. Dia pun meningkatkan kapasitas ilmunya agar tidak diremehkan masyarakat. Meskipun kondisi keluarganya bukan dari kalangan berada. Boro-boro kuliah di Unair, sejak kecil saja dia sudah berpikir keras untuk berhemat dan menamatkan SMA.
Keukeuh sekolah meski orang tua tak ada biaya
Ayah Alfian bekerja sebagai tukang tambal ban, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. mendidik anak-anaknya untuk mandiri, tak terkecuali Alfian. Pagi-pagi, dia sudah harus jalan kaki sendirian untuk berangkat ke Sekolah Dasar (SD). Jarak tempuhnya sekitar 1 kilometer menuju titik angkutan transportasi umum.
Dari sana, dia lanjut naik angkot dengan ongkos Rp1.500 dan berjalan kaki lagi sekitar 400 meter, baru tiba di sekolah. Bagi Alfian yang seorang difabel, perjalanan itu memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, jalanan yang rawan berlubang atau pedestarian yang tidak memilik guiding block untuk difabel.
Namun, Alfian tetap merasa bersyukur bisa bersekolah. Beruntung, dia mendapatkan beasiswa di Sekolah Luar Biasa (SLB) dari SD sampai SMP. Kalau tidak dengan beasiswa, Alfian beserta saudara-saudaranya tidak mungkin bisa menempuh pendidikan. Apalagi bermimpi menjadi PNS difabel yang kerja di Jakarta.
Pasalnya, Alfian pernah terpaksa bolos berulang kali karena orang tuanya tidak ada biaya untuk membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan alias SPP. Dia pun merengek ke orang tuanya agar bisa sekolah.
“Aku nggak minta uang saku. Pokoknya aku bisa sekolah. Kadang-kadang harus menahan lapar, karena nggak sarapan juga,” ucapnya.
Sebab bagi Alfian, pendidikan adalah satu-satunya cara agar dia bisa bertahan hidup. Pendidikan, kata dia, adalah kesempatan untuk memperbaiki diri maupun mengubah hidupnya. Oleh karena itu, Alfian mengejar mimpi sampai lulus S2.
Berhemat hingga lulus kuliah
Ketika SMP, Alfian tinggal di asrama dengan uang saku Rp10 ribu. Entah bagaimana caranya, uang itu harus cukup untuk satu minggu. Itu pun jika orang tuanya memberi, kalau tidak ada pun dia tak akan minta.
Naik tingkat di SMA, uang jajannya justru lebih berkurang yakni Rp5 ribu. Oleh karena itu, Alfian mencari cara untuk menambah uang jajan. Berbagai pekerjaan pun dia lakoni seperti menjual pulsa dan token, menjadi master of ceremony (MC), belajar musik, masuk anggota band, dan tampil di kafe-kafe.
Tamat dari SMA, Alfian memutuskan untuk kuliah S1 Jurusan Antropologi di Universitas Airlangga. Dia berhasil lulus tepat waktu dengan IPK 3,4. Mojok pernah mewawancarai perjuangan Alfian kuliah dalam liputan Pernah Pamit ke Rektor Unesa buat Kuliah di Unair, Kini Jadi Wisudawan S1 Tunanetra Pertama dan Jadi PNS di Jakarta.
Setelah lulus kuliah, Alfian mulai mencari kerja di masa Covid-19. Berbagai pekerjaan dia coba, mulai dari kerja remote di perusahan NGO asing hingga mengajar tekonologi untuk para difabel yang bahkan tidak dibayar.
“Ya di saat orang lebih banyak diam di rumah, aku malah keliling-keliling. Pingin sharing ilmu,” ujar alumnus Unair tersebut.
Difabel PNS kerja di Jakarta hingga lulus S2
Tahun 2021, Alfian dinyatakan lolos CPNS dan kini bekerja di Kementerian Desa (Kemendes) yang berkantor pusat di Jakarta. Dia merasa tak ada keluhan selama tinggal di kota metropolitan tersebut, terlebih masyarakatnya.
Sebagai informasi, pemerintah pusat dan daerah menyediakan kuota paling sedikit 2 persen dari keseluruhan formasi CASN bagi penyandang disabilitas pada tahun 2021. Pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas tercantum dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2016.
Tidak seperti dulu, Alfian merasa banyak bertemu orang-orang baik yang lebih menghargainya, dan membantunya saat bekerja. Begitu juga di lingkungan sekitarnya.
“Sebelum pindah ke kontrakan, aku sering ngopi di warung dekat kos. Malah jarang bayar, karena aku memang suka ngobrol dan dianggap keluarganya sendiri,” lanjutnya.
Paling-paling yang membuatnya tidak betah sama seperti warga Jakarta lainnya: Macet! Selama orientasi CPNS, Alfian mengaku harus pulang-pergi menggunakan KRL dari Jakarta Selatan ke Jakarta Pusat.
“Belum ramenya ya, terus kalau masuk jam 08.00 WIB harus berangkat dari jam 06.00 WIB. Wah itu rasanya: ‘kok cari duit segini saja susahnya minta ampun,’” ucap difabel PNS yang kerja di Jakarta tersebut.
Namun, pekerjaan itu dia lakoni dengan sabar. Dia bahkan bisa menyelesaikan kuliah S2 Kebijakan Publik di Universitas Airlangga (Unair). Melalui ilmu tersebut, dia berharap masyarakat punya kesadaran terhadap hak-hak difabel.
“Yang saya lakukan saat ini adalah bagaimana saya menularkan isu-isu disabilitas melalui sosial media dan itu harus dilakukan dengan bahagia. Disabilitas itu harus bahagia,” ucap wisudawan S2 tersebut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Perjalanan Nur Syarif Ramadhan: Ditolak Sekolah karena Difabel dan Pembuktian pada Mereka yang Anggap Difabel Berbeda atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan