Pamella Supermarket merupakan salah satu toko penyedia kebutuhan sehari-hari yang legendaris di Jogja. Tidak banyak orang yang tahu, supermarket ini dibangun oleh perempuan muda yang awalnya terkena gangguan psikosomatik.
Kegigihan perempuan muda itu membawa toko kelontong biasa bernama Pamella, berkembang jadi swalayan, lalu meningkat jadi supermarket yang hingga 2022 punya sembilan cabang.
Di balik perkembangannya menjadi jejaring supermarket besar di Jogja, usaha ini berawal dari kegigihan seorang perempuan muda menjalankan usaha. Saat mengawali usaha, usianya masih di awal dua puluh tahun. Ia menikah di usia muda. Berjuang bersama suami dalam merintis usaha. Sembari memulihkan sebuah luka psikis yang ia alami saat remaja.
***
Senin (22/8) pagi, Noor Liesnani Pamella menyambut saya di rumahnya yang terletak tak jauh dari Kebun Binatang Gembira Loka. Perempuan berusia 67 tahun ini kini tak banyak mengurusi bisnis lagi. Beberapa tahun belakangan, usaha yang telah ia rintis sejak puluhan tahun silam lebih banyak dikelola anak-anaknya.
“Sekarang banyak di rumah. Berkawan, bersosialisasi, bakti sosial, momong cucu. Masa kerja terus, sudah dari umur 20 tahun jhe,” ujar perempuan berusia 67 tahun ini dengan ramah.
Usianya tak lagi muda, tetapi Pamella masih tampak bugar. Ia menceritakan banyak sekali hal, termasuk bagaimana awal mula merintis bisnisnya. Kenangannya terbang ke masa-masa lebih dari empat puluh tujuh tahun silam.
Tahun 1975, bagi Noor Liesnani Pamella adalah tahun yang penting. Pada 5 Juli 1975 ia menikah dengan laki-laki yang menjadi tunangannya, Sunardi Sahuri. Dua bulan setelahnya, tepatnya tanggal 13 September ia berulang tahun yang kedua puluh. Sehari kemudian, 14 September, ia membuka toko kecil yang kemudian hari berkembang jadi jejaring supermarket besar di Jogja.
Saat itu usianya memang masih muda. Namun, ia telah memikul tanggung jawab besar. Bahkan tanggung jawab itu telah ia pikul sebelum akhirnya menikah dan membuka usaha.
Sebuah pilihan, sekolah atau menyembuhkan gangguan psikosomatik
Saat masih duduk di bangku SMA, Pamella yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara sudah harus banyak membantu menjalankan usaha ibunya.
“Ayah saya meninggal tahun 1970. Sejak saat itu, saya harus banyak bantu ibu mengelola toko kelontong,” ucap ibu dari lima anak ini.
Saat itu, Pamella sedang mengenyam studi di salah satu SMA terbaik di Jogja, SMAN 3 Yogyakarta. Awalnya, studinya masih berjalan lancar. Namun, ketika urusan usaha ibunya semakin sibuk, ia mulai keteteran.
Setiap hari, sepulang sekolah ia membantu ibunya menjaga toko. Ia juga yang kerap belanja untuk kebutuhan warung di Pasar Beringharjo. Pokoknya ia terjun langsung menangani banyak hal di usaha ibunya.
Saat menginjak kelas tiga, perempuan yang seharusnya banyak fokus belajar menjelang ujian ini justru banyak bekerja. Hingga akhirnya ia gagal mengikuti ujian. Kegagalan yang membuatnya tak bisa mendapat ijazah SMA.
Namun, kegagalan itu bukan hanya karena ia sibuk bekerja. Ia mengalami sebuah permasalahan terkait kesehatan mentalnya. Hal yang membuatnya harus memilih antara sekolah dan pekerjaan.
“Saya tidak kuat dengan banyak kesibukan saat itu. Kata dokter, saya mengalami psikosomatis. Dokter mengharuskan saya milih. Antara berhenti sekolah atau berhenti kerja dulu. Mengorbankan salah satu untuk mengurangi beban pikiran saya,” ucapnya.
Mengutip Alodokter, gangguan psikosomatik atau psikosomatis adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Munculnya keluhan psikosomatik pada seseorang biasanya diawali dari masalah kesehatan mental yang dialaminya, seperti takut, stres, depresi, atau cemas.
Di satu sisi, Pamella masih ingin meneruskan sekolah. Namun, saat itu ketiga adiknya masih kecil. Ia merasa perlu membantu ibunya mengurusi banyak hal. Akhirnya Pamella memilih untuk mengorbankan sekolahnya.
Pengorbanan itulah yang lantas membuat perempuan ini punya pengalaman mengelola usaha sejak muda. Ketika akhirnya membuka usaha di usia dua puluh tahun, ia sudah punya bekal pengalaman yang cukup matang.
Tiga syarat dari guru ngaji
Selain pengalaman, usaha juga berjalan berkat kekompakan pasangan muda Pamella dan Sunardi. Keduanya telah saling mengenal dua tahun, sebelum akhirnya menikah. Usia Sunardi tiga tahun lebih tua dari Pamella.
Pertemuan keduanya terjadi berkat sebuah acara pengajian. Sunardi yang kebetulang ngekos tak jauh dari tempat tinggal Pamella mengisi acara. Sedangkan sang perempuan, hadir sebagai peserta.
“Wah saya dulu itu datang dengan pakaian mini-mini. Zaman segitu kan memang masih jarang ya yang berjilbab,” ucapnya tertawa.
Sang istri mengenang Sunardi yang telah tutup usia pada 2018 lalu sebagai sosok yang penyabar. Sejak muda, laki-laki yang dikenal sebagai pendakwah ulung di Jogja ini memang sudah menyatakan niatnya untuk hidup sebagai guru ngaji.
Ketika hendak menikah, Sunardi menyodorkan tiga hal yang perlu disepakati bersama. Pamella masih ingat betul tiga hal tersebut.
“Pertama, bapak ingin kita bersama-sama menjalankan usaha. Saya tidak hanya jadi ibu rumah tangga, tapi nggolek duit bareng. Kedua, saya harus mau ditinggal ngisi pengajian. Ketiga, saya disuruh pakai jilbab,” kenangnya.
Dua hal pertama bisa disepakati dengan mudah. Namun, untuk yang ketiga, Pamella awalnya merasa cukup berat. Tapi sang suami memaklumi dan tidak serta merta memaksanya untuk berjilbab. Setidaknya butuh tiga tahun sejak menikah sampai akhirnya ia meniatkan diri untuk konsisten berjilbab.
Selain itu, Pamella juga mengenang Sunardi sebagai sosok yang sabar mendampinginya saat kondisi psikologis sedang tak baik. Saat awal menikah, Pamella masih mengalami psikosomatik. Namun, hal itu berangsur membaik seiring berjalannya waktu.
“Suami saya suami paling sabar dan baik sedunia,” kenangnya. Ada sedikit keharuan setiap ia membahas mendiang sang suami.
Mereka menjalankan usaha pertamanya, Toko Pamella yang terletak di Jalan Kusumanegara. Toko itu berdampingan dengan Toko Flora, usaha milik orang tua Pamella. Saat itu, keduanya sama-sama berjualan kelontong.
“Jadi toko itu pemberian orang tua. Mertua saya menyiapkan rumah yang di Timoho dan ibu saya menyiapkan toko ini,” kenangnya.
Hari pertama buka, Pamella masih ingat, omzet yang ia dapatkan berjumlah Rp3.300. Ia sisihkan Rp50 untuk ditabung. Ia ingin bisa berkurban saat IdulAdha melalui tabungannya tadi.
Setelah berhasil berkurban, ia niatkan lagi untuk menyisihkan lebih banyak. Kali ini targetnya agar bisa naik haji.
“Omzet bertambah, naik jadi Rp75 ribu, suami saya ganti kaleng (tabungan) lebih besar untuk haji. Saya sisihkan Rp500 perhari,” ucapnya.
Momentum yang membuat Toko Pamella berkembang
Lambat laun usahanya berkembang jadi lebih besar. Tapi ada satu momentum yang menjadi lonjakan awal. Hal itu terjadi di tahun 1978 kala Bank Indonesia memberlakukan kurs tengah baru terhadap mata uang asing. Kebijakan ini ditetapkan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada 1978. Kebijakan yang diumumkan pemerintah ini dikenal dengan KNOP 15 yang diumumkan pada 15 November 1978.
Saat itu terjadi lonjakan harga barang-barang pokok. Harga emas pun meroket tajam. Namun, Pamella mengalami keberuntungan.
Saat mengetahui kebijakan itu, dengan sisa uang yang ia miliki, Pamella datang ke Toko Srimpi. Toko milik orang Tionghoa ini memang jadi tempat kulakan barang dagangan. Namun, saat ia datang, ternyata toko itu sudah tutup.
“Saya ketuk, ‘iki aku Pamella’. Kok ya dibuka itu loh. Padahal orang lain sebelumnya nggak dikasih, saya sampai heran. Saya dikasih harga sebelum naik. Mereka itu baik sekali sama saya,” ucapnya dengan antusias.
Selepas mendapat stok barang dengan harga normal, Pamella dan Sunardi menutup tokonya sejenak. Sembari menunggu rilis harga pasar barang terbaru. Ketika buka kembali, mereka bisa mendapatkan untung lebih karena harganya melonjak.
Selain itu, mereka berdua juga punya tabungan berupa emas. Harga emas yang juga melonjak membuat mereka langsung menjualnya. Dua hal ini membuat mereka akhirnya bisa menunaikan haji untuk pertama kalinya.
“Kami memang sudah niatkan nabung untuk haji. Tapi tentu tidak menyangka secepat ini,” ujarnya.
Transformasi Toko Pamella
Di tahun 1978, Toko Pamella yang semula hanya dikelola berdua juga mulai punya karyawan. Bisnis terus berkembang dan tiga tahun kemudian pasangan suami istri ini memberanikan diri membuka cabang Pamella Dua di Jalan Pandean.
Di dekade 1990-an, Pamella benar-benar melesat. Dari yang semula dua cabang, pada tahun 1999 sudah membuka cabang yang keenam. Cabang terakhir yang letaknya di Jalan Raya Candi Gebang, Sleman ini buat Pamella cukup besar.
Ada sebuah cerita unik tentang bagaimana mereka mendapatkan lahan untuk cabang keenam tersebut. Saat itu, Pamella dan Sunardi sedang jalan-jalan sore menggunakan motornya. Di Jalan Candi gebang mereka berhenti ketika melihat sepetak tanah strategis yang letaknya di kiri jalan dari arah selatan.
“Saat berhenti di situ. Pak Nardi bilang kalau ini tanah strategis. Tapi saat itu di tidak ada informasi tanah itu dijual,” ujarnya.
Tanah tersebut strategis karena letaknya di sisi kiri. Saat sore hari, para pekerja yang pulang akan melalui jalan tersebut dari arah selatan. Kala itu Sunardi terbayang, betapa ramainya para pekerja yang mampir belanja setiap sore. Namun, itu hanya sekadar angan-angan saja sebab tanah itu belum dijual.
Beberapa waktu setelahnya Sunardi pergi haji. Saat sang suami pergi ke Mekah, tiba-tiba sebuah tawaran datang ke Pamella. Tanah yang didambakan sang suami ternyata dijual. Tanpa pikir panjang ia sambut tawaran itu.
“Wah itu berkat doa Pak Nardi. Takut lepas kan saya, yaudah saya nego dan transaksikan,” ucapnya antusias.
Sang suami baru mengetahui hal itu setelah pulang dari Tanah Suci. Ia pun tak meragukan sedikit pun keputusan yang istrinya.
“Pas beliau pulang langsung cocok. Beliau senang,” lanjutnya.
Selain cabang yang berkembang pesat, tahun-tahun itu juga Toko Pamella bertansformasi jadi Pamella Swalayan. Berubah dari traditional trade menjadi modern trade. Perubahan ini, menurut sang pendiri, cukup meningkatkan omzet penjualan.
Memilih untuk tidak utang bank
Situasi krisis ekonomi yang mendera di tahun-tahun juga tak berpengaruh banyak pada usahanya. Bagi Pamella, kuncinya tidak utang bank. Ada dua alasan berbeda mengapa sepasang suami istri ini ogah meminjam uang ke bank.
“Kalau Bapak itu karena alasan syariat ya, riba. Tapi kalau saya bukan itu, saya ada trauma tentang utang,” ucapnya, lirih.
Trauma tentang utang jadi salah satu faktor yang membuatnya mengalami tekanan saat masih duduk di bangku SMA. Ibunya harus menanggung utang ayahnya yang meninggal dunia.
Ketika masih sehat, sang ayah mempunyai usaha yang modalnya berasal dari pinjaman bank. Semuanya berjalan baik-baik saja sampai suatu ketika setelah mengajukan pinjaman, sang ayah jatuh sakit.
“Ayah saya sakit kanker sampai berbulan bulan di rumah sakit,” ucapnya.
“Uang dari bank pas turun langsung larinya untuk biaya berobat. Kami nggak punya uang. Sampai wafat akhirnya ibu yang menanggung,” sambungnya.
Hal itu ia ketahui beberapa waktu sepeninggal ayahnya. Sejak saat itu, ia berkeinginan kuat agar sebisa mungkin tidak berhutang ke bank. Prinsip itu terus ia pegang sampai bisnisnya berkembang pesat seperti sekarang.
Komitmen bantu UKM
Dalam perjalannya usaha Pamella bukan tanpa kendala. Ada beberapa diversifikasi lini bisnis yang tak berjalan lancar. Namun baginya, itu hal biasa dalam dunia bisnis. Jika memang tidak menghasilkan laba, ia pilih menutupnya dan menggantinya dengan unit usaha lain.
Bisnisnya supermarketnya kini sudah melalui jalan panjang. Sudah memilik sembilan cabang dan yang terakhir buka tahun 2018 berada di Gunungkidul. Perjalanan panjang ini tak membuat sang pendiri lupa pada hal-hal yang telah membuat usahanya berkembang.
Ia mengenang, dulu usahanya merupakan usaha kecil yang kini sudah bisa menampung ribuan produk. Mendapat bimbingan pengelolaan bisnis dari pemerintah supaya bisa jadi swalayan modern. Kini ia pun berkomitmen untuk membantu usaha kecil menengah (UKM) agar bisa maju dan berdaya.
“Home industry saya tampung dan jual di Pamella. Saya punya target 2024 semua produk yang dijual punya sertifikat halal. Tentu proses itu tidak mudah dan murah, saya bantu carikan sarana agar bisa gratis prosesnya,” ujarnya.
Ia juga masih terus mengingat, bagaimana dulu saat awal merintis, ada kebaikan dari tengkulak yang membuatnya bisa membeli barang dengan harga terjangkau. Untuk itu, ia ingin selalu menjaga hubungan baik dan berbagi kebahagiaan. Bagi pekerja, konsumen, distributor, dan produsen barang dagang.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Warung Nasi Jaya yang Berusia 85 Tahun dan Mbah Karni yang Tak Pernah Minta Gaji Suami