Mojok berkunjung ke SMA Internasional Budi Mulia Dua (BMD) yang terletak di Panjen, Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Kami berbincang mengenai alasan sekolah berbasis nilai-nilai Islam yang tak mewajibkan siswinya berjilbab.
***
Di ruang Informasi SMA Internasional Budi Mulia Dua (BMD), terpajang beberapa pigura foto wisuda siswa dan siswi beberapa tahun lalu. Setelan berwarna hitam tampak mereka kenakan. Puluhan peserta didik diluluskan setiap tahun dari sekolah ini.
Sebagian mengenakan jilbab saat sesi foto kelulusan tersebut. Namun, sebagian siswi lainnya tampak tak mengenakan penutup kepala yang dianggap kewajiban sekaligus identitas perempuan muslim ini. Rambut tergerai dan ada yang dicat warna.
Jumat (19/8) sekitar pukul sepuluh pagi suasana halaman sekolah sepi. Di dalam kelas, para peserta didik sedang serius mengikuti kegiatan belajar.
Di sebuah kelas yang saya masuki, para peserta didik sedang sibuk mengerjakan soal-soal fisika yang ada di tablet pembelajaran. Satu kelas itu berisi belasan anak saja dengan formasi tempat duduk membentuk huruf U. Ditemani alunan lagu Versace on The Floor dari Bruno Mars, pelajaran fisika yang kerap menyusahkan itu tampak santai dan mengasyikkan.
Hari ini siswa dan siswi mengenakan seragam yang berbeda-beda motifnya. Ada yang mengenakan batik dan ada pula yang berkemeja formal. Namun, semua siswi menggunakan jilbab.
“Memang, hari Jumat ini kita khususkan. Siswi kami wajibkan menggunakan jilbab. Namun, khusus di hari ini saja,” kata Kepala Sekolah SMA Budi Mulia Dua, Panji Dewantoro.
Saat para siswa sedang melaksanakan salat Jumat, para siswi akan dipandu menjalani aktivitas keputrian. Hari Jumat memang akan banyak kegiatan keagamaan di SMA ini. Sehingga, masalah jilbab yang biasanya dibebaskan jadi pengecualian.
Islam jadi landasan utama sekolah
Cikal bakal sekolah ini berawal dari TK Budi Mulia Dua yang digagas oleh tokoh Muhammadiyah, Amien Rais dan istrinya, Kusnasriyati Sri Rahayu pada tahun 1987. TK itu didirikan di sebuah musala kecil di sudut kediaman Amien Rais kala itu.
Waktu berjalan, BMD berkembang melebarkan sayap yayasan pendidikannya ke berbagai jenjang. Dari TK, SD, SMP, hingga akhirnya mendirikan SMA BMD pada tahun 2007. Bukan itu saja, yayasan juga mendirkan SMK dan Budi Mulia Dua Boarding Home, dan Sekolah Kuliner Budi Mulia Dua.
Yayasan ini punya lima pilar utama yakni faith in Allah, honesty, respect, responsibility, dan cleanliness.
Pilar pertama tentang ketauhidan, membuat sekolah menjalankan beragam kegiatan belajar mengajar dengan mengedepankan nilai-nilai keislaman. Islam menjadi landasan utama sekolah ini.
“Jadi arahan dari Bapak Amien Rais, Islam menjadi asas sekolah ini. Islam yang bersifat universal, artinya tidak harus monoton. Kita mengemas Islam yang harus berkiprah kepada semua alam, tidak hanya manusia saja tapi seluruh alam,” papar Panji.
Sebagai sekolah berlabel internasional, SMA BMD juga punya beragam kegiatan dan kerja sama dengan instansi pendidikan mancanegara. Para peserta didiknya kerap berkegiatan di luar negeri dalam berbagai ajang. Misalnya Japan Super Science Fair (JSSF), International Student Science Fair (ISSC), dan beragam kegiatan lain baik dalam bentuk riset maupun program pertukaran budaya.
Di SMA BMD, sejak kelas 10 para peserta didik diarahkan untuk segera menentukan rencana studi lanjut mereka. Nantinya pada kelas 11 dan 12, mereka akan mendapat pendampingan khusus agar nantinya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang mereka inginkan.
“Nanti kelas 11 dan 12 ada Student Learning Center (SLC). Itu nanti memusatkan mereka mau ke perguruan tinggi negeri atau luar negeri. Nanti sudah ada pendalaman materinya. Konsentrasi ke luar negeri ya nanti disiapkan, mulai portofolio, motivation letter, hingga cv,” paparnya.
Alasan tidak mewajibkan siswinya berjilbab
Menjadi sekolah berbasis internasional yang mengedepankan nilai-nilai Islam dalam pembelajarannya, SMA BMD memilih untuk tidak mewajibkan siswinya untuk berjilbab. Hal ini sudah diterapkan sekolah sejak awal berdiri.
“Kami coba menanamkan bahwa jilbab atau tidak berjilbab, itu ya memang utamanya akhlak yang perlu terus diasah dan ditonjolkan,” jelas Panji yang sudah sejak 2020 menjadi Kepala Sekolah.
Namun, hal itu tidak membuat pihak sekolah mengenyampingkan kegiatan berbasis keislaman. Setiap hari, menurut Panji, para peserta didik diarahkan untuk tadarus. Salat berjemaah diwajibkan saat di jam pembelajaran.
Mengenai pilihan untuk berjilbab, sekolah tetap melakukan pendekatan-pendekatan melalui imbauan maupun saran dalam sesi-sesi tertentu. Namun, tidak memaksakan melalui aturan untuk mengenakannya setiap hari.
Guru mata pelajaran agama SMA BMD, Kurniawan juga menjelaskan bahwa pihak sekolah tetap menyarankan penggunaan jilbab. Namun, ia berprinsip agar para siswi mengambil pilihan sendiri berdasarkan keyakinannya. Ketika menggunakan jilbab, siswi memang melakukannya berdasarkan hasil pencarian dan keyakinan yang terbentuk secara pribadi.
“Biasanya ketika kita tahu sesuatu karena benar-benar mencari alasannya sendiri, langsung tertanam dan terasa keyakinannya. Kita nggak mewajibkan tapi tetap ngasih motivasi dan imbauan. Kalau mereka nanti menemukan alasannya, pasti lebih dapat,” terangnya.
“Dipaksa di sekolah toh belum tentu diterapkan di luar. Wajib di sekolah tapi kan di luar pagar mereka bisa buka jilbab. Jadi bagaimana ketika ingin berjilbab itu memang datang dari keinginan dan kesadaran mereka. Tugas kami memandu,” sambungnya.
Kurniawan melanjutkan, ada beberapa siswinya yang justru tanpa paksaan akhirnya menggunakan jilbab dengan sendirinya. Dan itu membuat jilbab digunakan dengan lebih konsisten.
“Memang banyak kisah yang sebelumnya belum makai, kita bimbing, ya akhirnya pakai juga. Sampai betah dan seterusnya. Jadi memang nggak kita wajibkan. Kalau pun belum ya kita maklumi,” tambahnya.
Mojok menghubungi salah satu alumni SMA BMD. Anggun Yurna (24) menjadi siswi BMD sejak masih playgroup, SMP, hingga SMA. Salah satu yang menjadi daya tariknya dan orang tua karena dulu BMD lebih menekankan pengembangan minat dari murid-muridnya. Ia yang hobi renang bisa mengembangkan minatnya hingga menjadi atlet renang dan polo air.
Soal jilbab memang tidak diwajibkan. Bahkan di angkatannya ada beberapa siswa yang beragama non-muslim. “Penekanannya saat itu lebih pada mengembangkan minat dari masing-masing siswanya. Kalau dulu prestasi akademik ya biasa-biasa saja,” kata Yurna yang akan mengikuti wisuda di UGM, Rabu (23/8). Ia yang pernah ikut pertukaran pelajar ke Jepang mengambil Jurusan Gizi dan Kesehatan di UGM.
Jilbab di sekolah dan ekspresi kesalehan muslim di Indonesia
Filry Annisa, akademisi yang melakukan riset disertasi mengenai ekspresi kesalehan muslim di Indonesia mengungkapkan bahwa jilbab memang menjadi identitas yang paling mudah untuk menandai ekspresi keislaman di masyarakat Indonesia. Hal itu mulai berkembang pesat pascareformasi tahun 1998.
“Saya melihat perubahan signifikan pascaera 1998, ekspresi keislaman sangat diberi tempat. Sebelumnya di Orde Baru itu ditekan gitu ya. Itu kan karena politik juga. Ekspresi kesalehan selalu berhubungan dengan persoalan dan kondisi politik,” ujar Firly kepada Mojok, Sabtu (20/8).
Selanjutnya, perkembangan industri berbasis keislaman seperti munculnya tren busana muslim turut meramaikan perkembangan tren berjilbab. Bukan hanya sekadar bagian identitas muslimah, tapi juga sebagai tren fesyen di kelas menengah.
Menurut Firly, dalam kondisi masyarakat yang patriarkis di Indonesia, ekspresi kesalehan perempuan cenderung lebih diatur. Sehingga isu mengenai jilbab -dahulu pelarangan kini pemaksaan- terus bermunculan.
“Perempuan ini kan dalam masyarakat yang patriarki itu dianggap seolah bisa diatur-atur terus menerus,” ujarnya.
Hal ini yang kemudian memunculkan kasus pemaksaan-pemaksaan penggunaan jilbab. Termasuk di instansi-instansi pendidikan negeri yang seharusnya bisa lebih toleran dalam hal seragam dan berpakaian.
Kelas bawah tak punya pilihan
Firly melanjutkan, terjadinya pemaksaan penggunaan jilbab yang terjadi di sekolah negeri memberikan dampak berarti bagi masyarakat. Menurutnya, masyarakat kelas bawah dan menengah yang kebanyakan menyekolahkan anak di sekolah negeri tak punya banyak pilihan ketika institusi pendidikan melakukan pemaksaan penggunaan atribut seperti jilbab.
“Kalau kelas bawah kan tidak punya pilihan, take it or leave it. Dia kalau nggak ambil itu tidak punya kesempatan lain. Kalau kelas atas kan, ‘kalau kamu larang anakku aku bisa pindah ke tempat lain,” jelasnya.
Firly melanjutkan, keberadaan SMA BMD menjadi gambaran bahwa masyarakat kelas menengah ke atas, memiliki lebih banyak pilihan. Pilihan bagi mereka yang menginginkan pendidikan dengan nilai Islam bagi anaknya. Namun, punya pendekatan yang berbeda dalam persoalan jilbab.
“Saya kira ini penting untuk digarisbawahi, bahwa mungkin BMD itu melihat jilbab itu signifikan terhadap keinginan orang untuk memasukkan anaknya sekolah itu. Jadi pada akhirnya mereka harus negosiasi juga dengan segmen pasar,” ujarnya.
“Sekolah ini mengedepankan Islam yang inklusif dan moderat. Meski kita tidak bisa memungkiri bahwa biaya pendidikan tentu tinggi sehingga pasarnya lebih segmented,” sambungnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Alasan Memilih Sekolah Mahal di Jogja